“Menurut Ibu, berapa nilai yang akan Ibu berikan untuk teh buatan temanku ini?”
Ibu yang sibuk menyeruput tehnya jadi berhenti sejenak untuk berfikir. “Hmm...mungkin Ibu akan memberikan nilai sembilan untuk teh ini. Enak sekali.”
Aku terbelalak. “Ibu serius?!”
Ibuku mengangguk teratur. “Memangnya ada masalah? Katamu Ibu harus menilai, bukan?”
Aku tertawa kecil, lama-lama aku jadi tergelak. Kubiarkan Ibu menatapku keheranan, tetapi aku cukup puas dengan hasil tantangan kecilku satu jam yang lalu. Lagipula, aku belum pernah mendapatkan nilai sembilan dalam mata pelajaran apapun di sekolah.
***
“Nah, Kek. Aku sudah selesai membuat sketsanya. Silakan kalau Kakek mau melihatnya sementara aku akan menyiapkan kuas dan cat.”
Begitulah, sepanjang siang di hari Minggu ini aku mengayunkan pensil dan pena lukisku dan Kakek dengan setia tidak bergerak sedikitpun dalam posenya. Hari ini Kakek mengenakan busana terbaiknya sehingga terlihat gagah dan berwibawa. Sempat terbersit dalam pikiranku bahwa Kakek yang misterius dan penyendiri ini sebenarnya adalah sosok orang kaya yang kesepian. Tetapi, aku cepat-cepat menepis pikiran konyol itu. Bisa-bisa lukisanku jadi tidak sempurna kalau aku tidak segera kembali berkonsentrasi.
“Indah sekali. Kakek tidak salah menilaimu. Kau adalah seorang beraliran realis yang berbakat, Nak.”
Aku tengah mengaduk cat dengan kuas. “Terima kasih, Kek. Tapi, pujian Kakek terdengar agak berlebihan. Kadang aku merasa belum sepenuhnya bisa melukis dengan baik. Aku pernah membeli buku sketsa yang mahal dengan tabunganku sendiri, tetapi aku malah menghabiskannya dalam satu malam.”
“Kau melukis sebanyak itu?”