Aku dan Bu Feni mendengarkan Kakek dengan seksama sambil sesekali menyeruput teh tarik buatan Kakek.
“Kakek juga berterima kasih secara khusus untuk Adi. Kamu telah membuat Kakek kembali merasakan kenangan bersama Nenek.”
Aku menoleh ke arah Bu Feni. “Nenek adalah pelukis dan mereka bertemu saat Kakek meminta Nenek untuk melukis wajahnya.”
“Sekarang Kakek bisa kembali bekerja dan lukisan Nenek ini.” Kakek lalu mengeluarkan sesuatu dari bawah meja. “Letakkan di dalam kedai dan kamu Kakek beri amanah untuk melanjutkan mengelola kedai bersama Feni, putriku.”
“Memangnya Kakek mau pergi kemana?” tanyaku polos.
“Kakek disini hanyalah seorang pertapa tua yang meninggalkan tempat pertapaannya. Sudah waktunya Kakek kembali.”
Semenjak itu aku mulai paham tentang siapa sebenarnya sosok Kakek. Kehilangan adalah pukulan yang paling berat setelah kita mampu memiliki segalanya, begitu kata-kata terakhir Kakek sebelum kami berpisah di ruang tunggu bandara. Tetapi ternyata menghadirkan kenangan indah mampu memberikan semangat baru untuk menjalani kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H