Bu Feni menghentikan kegiatan membacanya sembari menghela napas panjang.
“Saya sudah tahu Kamu akan menanyakan hal itu.”
Aku mengernyitkan dahi. Bu Feni kemudian bangkit dari duduknya, mengambil sebuah album foto dari lemari dan menyodorkannya padaku.
“Kakek yang selalu kau temui itu adalah ayahku, lebih tepatnya ayah kami. Kami duabelas bersaudara semuanya adalah pelanggan Kakek. Tidak ada yang tahu mengenai hal ini, karena ini memang murni skenario Kami bersama untuk menghibur Ayah. Ayah hanya memiliki satu orang pelanggan yang berasal dari luar, yaitu kamu.”
Aku bingung mendengarnya, tetapi saat kubuka album foto, aku tahu Bu Feni sama sekali tidak berbohong.
“Semenjak kepergian Ibu kami sekitar empat bulan yang lalu, Ayah seperti kehilangan semangat hidupnya. Ayah selalu berkata ingin menyusul Ibu dan membuat kami cukup prihatin dengan keadaan beliau. Lalu, kami memutuskan untuk membawa Ayah menemui psikiater dan kedai itu adalah salah satu bentuk terapinya. Kami juga banyak berterima kasih sama kamu, Adi. Berkat kesukaanmu akan melukis dan lukisan seperti mempertemukan lagi Ayah dan Ibu kami.” Bu Feni berkata dengan mata berkaca-kaca.
Aku juga jadi ikutan terharu sampai menitikkan airmata yang buru-buru kulap dengan punggung tanganku.
Rio acuh tak acuh, dia masih sibuk menerapkan teknik mewarnai terbarunya.
“Setelah selesai mengajar hari ini. Saya akan antarkan kamu ke tempat Kakek.”
“Kaakeeek…” tiba-tiba Rio berseru.
Sepanjang perjalanan aku berdebar-debar. Rasanya seperti ikut acara reality show dimana Aku adalah pelapor yang sedang mencari keberadaan orang terdekatnya. Biasanya sih, kalau sudah masuk adegan antar-mengantar begini, ujung-ujungnya pasti ke pemakaman. Tetapi, dugaanku keliru seratus delapan puluh derajat, aku malah diantar ke sebuah vila mewah yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit dari kediaman Bu Feni.