“Weh.., nanti hilang loh. Nan, katanya Nindy rindu setengah mati.”
“Udah deh, bisa nggak sih? nggak usah nyangkut pautin aku sama dia?”
“Huss…, ati-ati Nin. Kamu bisa masukin kamu ke jurang.” Yosa menarik tanganku dari kecamukan mereka.
“Lagian, mereka itu rese banget. Aku nggak mau harga diriku dijatuhin di depan dia.”
“Tapi, kamu nyadar nggak? Perkataanmu tadi, bisa buat dia berfikir kalau kamu itu benci sama dia.”
“Bukannya gitu, aku juga ga mau dia malu di depan teman-temannya. Kalau emang gitu, ya bagus deh” rasanya aku kesel banget.
Tiba-tiba, Nandi lewat sebelah aku dan Yosa. Aku sempat melihat dia, tapi aku langsung buang muka. Mukanya yang dulu buat aku semangat, sekarang terlalu sakit untuk aku lihat. Tangan Yosa langsung mendarat di pundakku dengan keras.
“Apaan sih?”
“Bisa senyum, nggak sih? kamu bener menghancurkan kemauan kamu sendiri.”
“Kemauan yang mana? Aku tidak pernah suka sama dia.”
“Aku tidak mempermasalahkan kamu suka atau tidak, jangan-jangan kamu emang suka sama dia.Jangan munafik deh, sama aja nyakiti diri sendiri.”