Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan yang ingin terus menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha menuliskan apa saja yang bermanfaat, untuk sendiri, semoga juga untuk yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Delman Mang Dule

25 Agustus 2020   14:29 Diperbarui: 25 Agustus 2020   14:53 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan menjelang maghrib melengkapi penderitaan Andi dan empat kawannya. Gara-gara mobil yang mereka tumpangi mogok, mereka telat sampai dua jam dari rencana.

"Gimana nih Ndi?" kata Iwan sambil membetulkan topinya.

"Ya mau bagaimana lagi, terlanjur kesorean," sahut Andi.

"Jadi bener kalau sudah jam segini ga ada angkutan ke desamu?" tanya Kelik.

"Iya. Makanya aku ngajak kalian tadi berangkat setelah dzuhur, supaya kita sampai di sini jam empatan. Biasanya sampai setengah lima masih ada angkutan." Andi menarik resleting jaketnya lebih ke atas.

"Udah, kita ke warung sana saja tuh, kita ngobrolnya sambil ngopi-ngopi," timpal Joko. Joko memang orangnya selalu optimis, selalu tenang menghadapi situasi apapun. Setenang kalau dia berjalan. Sangat kontras dengan Iwan yang selalu grusa-grusu.

"Oke, kita ke sana!" ajak Andi.

Mereka pun berlari kecil menuju warung yang ada di pojok terminal. Ada beberapa warung yang buka sore itu, terlihat dari nyala lampunya, walaupun lebih banyak lagi yang tutup. 

Terminal itu memang terminal kecil, hanya terminal kecamatan, tempat mobil-mobil angkutan dari kota menurunkan penumpang dan kemudian para penumpang berganti kendaraan, angkutan pedesaan, untuk melanjutkan perjalanan ke desa. 

Walaupun ada delapan desa di kecamatan itu, tapi angkutan pedesaan yang ada hanya tiga jurusan, satu angkutan pedesaan mempunyai trayek tujuan dua atau tiga desa. Salah satunya ke desa dimana Andi tinggal, desa Sukamiskin, yang jaraknya empat kilometer dari terminal.

Karena terminal kecil, kendaraan dari kota yang terakhir datang jam empat sore, sehingga angkutan pedesaan pun mengikuti, terakhir mereka menarik penumpang jam empat sore atau setengah lima. Dan ini Andi sudah tahu. Terakhir Andi pulang enam bulan yang lalu.

Dari kota Cianjur Andi dan kawan-kawan berangkat tadi siang, biasanya jam tiga sudah sampai di terminal kecamatan ini. Tapi, karena mogok, hampir dua jam, sehingga mereka sampai jam lima sore lebih.

"Mau pada ngopi atau makan nih?" Ibu warung menawarkan setelah Andi dan kawan-kawannya masuk dan duduk.

"Bu, ada mie rebus ga?" tanya Kelik.

"Ada! Mau berapa?"

"Ada yang mau mie juga?" Kelik mengedarkan pandangan.

"Aku mau!" sahut Iwan.

Joko hanya mengacungkan telunjuknya.

"Kamu mau Gus, Ndi?" tanya Kelik lagi.

"Aku kopi saja," jawab Andi sambil mengambil bala-bala.

"Aku juga kopi," ujar Agus

"Yaa ... kalau kopi mah semua saja," timpal Iwan.

"Iya ding, aku juga mau," Kelik nyengir lalu ke arah ibu warung, "Bu, mie rebusnya tiga, pake telor ya. Kopinya lima, kopi hitam."

"Baik de, ditunggu ya," sahut ibu warung.

Sepuluh menit, mie rebus yang mengepulkan asap beraroma berlomba dengan aroma kopi segera terhidang di hadapan masing-masing.

"Ade-ade ini pada mau kemana?" tanya ibu warung.

"Kita mau ke Sukamiskin bu," jawab Andi, "tapi kita kesorean ini, tadi mobilnya mogok. Sudah ga ada lagi ya bu, angdes?"

(Angdes maksudnya angkutan pedesaan)

"Ya sudah ga ada de, terakhir jam empat tadi."

"Apa ga ada alternatif kendaraan Ndi? Ojek atau delman gitu?" Iwan seperti biasa suka paling heboh.

"Ada, tapi nanti di desa Sukajaya. Di sana biasanya ada ojek yang mangkal, delman juga kadang-kadang ada."

"Kenapa ga dari terminal sini?"

"Masalahnya, dari terminal ini jarak desa yang pertama itu satu setengah kilo, melewati hutan dan perkebunan. Jadi ojek atau andong ga ada yang mau mangkal di sini."

"Terus kita gimana nih, mana hujan belum berhenti," keluh Agus.

"Sudaaah ... kita nikmati dulu nih mie sama kopi, kita tunggu hujan berhenti dulu, baru kita ngobrol," Joko ngasih saran, "lagian, ga enak lho makan sambil panik."

"Aku bukan panik Jok," timpal Iwan.

"Iya cuma kalut hahaha ...," sahut Kelik.

Iwan hanya merengut.

Lima belas menit mereka selesai menghabiskan mie dan kopi plus gorengan; bala-bala, pisang goreng, comro, dan ulen goreng. Hujan pun sudah berhenti, menyisakan gerimis.

"Naahh ... perut sudah kenyang, hujan sudah berhenti, sekarang mari kita diskusi, bagaimana baiknya," Joko mengelap mulutnya dengan tisu.

"Bagaimana Ndi?" Kelik menoleh ke Andi.

"Hanya ada dua pilihan. Kita nunggu sampai besok pagi, sampai ada angdes, atau kita jalan sekarang juga," Andi memberi pilihan.

"Kalau nunggu, kita tidur dimana Ndi?" tanya Iwan.

"Kita bisa tidur di mushola terminal. Eh bu! Kalau mushola terminal yang dipojok sana masih dipakai ga bu?" Andi menoleh ke ibu warung.

"Waah ... itu sudah lama ga dipakai, emang ade-ade ini mau tidur di sana? Bisa sih kalau mau tidur, tapi pasti kotor, terus kamar mandinya juga, ga keluar airnya," jelas si ibu warung.

"Oke! Jadi tinggal satu pilihan nih," sahut Agus.

"Ke desamu, berapa kilo Ndi dari sini?" tanya Kelik.

"Kira-kira empat kilo lah," jawab Andi.

"Haahh ... empat kilo?! Jadi kita jalan empat kilo, malam-malam gini, gerimis lagi?" Iwan tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.

"Engga laahh ... nanti dari desa Sukajaya, biasanya ada ojek yang mangkal atau delman. Nanti kita lanjut ke Sukamiskin naik ojek atau delman," papar Andi.

"Lha, dari sini ke desa Sukajaya berapa kilo?" kejar Iwan.

"Paling juga sekilo lebih."

"Halaaahhh ... kita jalan empat kilo juga ga apa-apa, itung-itung nostalgia waktu kita naik Ciremai malam-malam," kata Joko.

"Iya nih si Iwan, heboh mulu. Kita jalan santai saja kali. Ga usah buru-buru. Ga akan cape jalan malam mah," papar Kelik.

"Kita berdo'a saja semoga ada delman di Sukajaya," kata Andi lagi.

"Sekarang karena gerimisnya masih cukup rapat, kita sholat maghrib dulu saja sambil nunggu reda," usul Iwan.

"Bu, kita bisa ikut sholat ga di sini?" Tanya Andi ke ibu warung.

"Oh boleh ... boleh de, tapi musholanya kecil, paling cukup untuk tiga."

"Ya gapapa bu, kita gantian saja."

Satu jam hujan sudah benar-benar reda. Arloji di tangan Andi menunjukkan jam 18.45.

"Oke, gimana Wan, siap jalan?" tanya Andi.

"Kalau ga siap mah kita tinggal saja," jawab Kelik tersenyum, sebelum Iwan menjawab.

"Mau mu!" ketus Iwan.

"Oke kita berangkat. Bu, pamit ya bu, terima kasih semuanya," kata Andi.

"jadinya mau pergi sekarang saja de? Hati-hati saja."

Mereka pun kemudian berjalan menelusuri jalan kampung menuju desa Sukamiskin. Beruntung mereka tadi mampir di warung terminal cukup lama, sehingga bisa men-charge HP, karena HP mereka sekarang sangat bermanfaat, sebagai senter.

Namanya desa, jauh dari kota, jadi kondisi jalan pun masih jauh dikatakan mulus. Sepertinya sudah lama tidak pernah ada pengaspalan ulang. Dimana-mana jalan berlubang, sisa-sisa aspal hanya di beberapa tempat, kebanyakan jalan berbatu yang mereka lewati. Hujan yang turun seharian menyisakan genangan dimana-mana, bahkan sebagian ada yang sampai se-tumit. Berjalan dengan harus menghindari genangan, ditambah sorot senter dari HP yang tidak optimal, membuat mereka malas berbicang saat berjalan. Semua diam, larut dengan pikiran masing-masing.

"Ndi, ini hutan ya?" Iwan memecah keheningan perjalanan mereka.

"Kan sudah kubilang, kita akan melewati hutan. Desa terdekat jaraknya sekilo lebih, ini kita baru jalan paling setengah kilo," bisik Andi.

"Duh ... serem juga ya," ujar Iwan.

"Makanya diem, sudah jalan saja," timpal Kelik.

"Kamu tuh ...." Iwan memonyongkan mulutnya. tidak suka dengan komentar Kelik.

Hampir setengah jam mereka berjalan, menelusuri jalan berbatu di tengah hutan, ringkik suara jangkrik bersahutan dengan suara kodok yang kasmaran, diselingi suara burung hantu, membuat suasana yang sunyi semakin mencekam. Mereka semakin berdiam diri, seolah takut kalau mengeluarkan suara, akan ada yang terbangun karena terganggu.

"Kok bulu kudukku merinding ya," lirih Agus.

"Husss ... kamu tuh nambah-nambahin serem saja," Iwan menepuk pundak Agus yang berjalan di depannya.

"Lho, emang iya, merinding emang kamu tidak?"

"Sudah ah!"

"Ini wangi apa ya?" Kelik senyum, sengaja.

"Iiihhh ... disuruh diem juga," Iwan makin keki.

Sekitar setengah jam lagi mereka akan sampai di desa Sukajaya, ketika tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara lonceng. Suaranya berirama, suara lonceng-lonceng kecil.

"Ndi, itu suara apa ya?" Kelik menghentikan jalannya kemudian megang Pundak Andi, menyuruh berhenti juga.

"Sudah ah, kalian nakut-nakutin terus," kata Iwan.

"Eehhh ... bukan nakut-nakutin, ini serius. Coba aja dengerin," timpal Kelik.

"Betul Lik, itu suara lonceng. Perasaan aku pernah dengar suara seperti itu. Apa ya ...? Eh, itu, itu suara delman. Betul itu delman. Syukurlah ada delman yang lewat." Andi girang.

Andi memang tahu persis, delman-delman di situ dihiasi lonceng-lonceng kecil di tiang-tiangnya. Dan suaranya yang khas membuat Andi tidak ragu lagi. Itu memang delman yang akan lewat.

"Kamu serius Ndi, itu delman?" Iwan seperti ingin penegasan.

"Serius! Aku tahu betul suara delman di sini, dulu aku sering naik kok," jawab Andi.

"Syukurlah, kakiku udah pegal-pegal nih."

Suara lonceng dari delman itu makin nyaring terdengar. Suaranya khas, berirama, seolah keempat lonceng yang nempel di tiang delman berbunyi bergantian, membentuk harmoni yang kontras dengan suasana hutan yang sunyi. Keheningan malam menambah kencang terdengar suaranya oleh mereka.

"Tuh kan, apa ku bilang, itu emang delman, aku tahu sorot lampunya. Sudah kita berhenti, kita tunggu saja," ujar Andi.

"Syukurlah ...," Iwan makin cerah wajahnya.

Dan delman itu makin lama makin terlihat bentuknya, tidak hanya terlihat sorot lampunya yang juga khas, dan suara loncengnya yang makin kencang.

Semakin dekat semakin jelas.

"Ada penumpangnya Ndi," kata Kelik, "seorang."

"Berarti pas, delman muat penumpangnya enam orang, tujuh sama saisnya."

"Oalah ... beruntungnya kita, ga jadi jalan empat kilo."

Delman semakin dekat. Wajah sais nya semakin tampak.

"Lho! Itu kan mang Dule?!" Andi memperhatikan sais yang membawa delman, sampai memanjangkan leher ke arah delman mendekat.

"Kau kenal Ndi?" tanya Kelik.

"Kenal lah, itu emang mang Dule, tetanggaku, dia emang sais delman."

"Duuhhh ... makin beruntung kita," Iwan nampak sekali makin senang.

"Iya betul, itu mang Dule." Andi seperti ingin menegaskan pada kawan-kawannya. Karena makin dekat. Wajah sais makin jelas.

"Heh ... kepinggir kalian." Andi merentangkan tangan kanannya. Menyuruh kawan-kawannya ke tepi jalan.

Delman semakin mendekat. Suara loncengnya semakin kencang berirama.

Andi sudah memasang wajah gembira, dan kemudian berteriak, walau delman masih sekitar lima meteran dari mereka.

"Hai, mang Dule. Saya Andi," teriak Andi sambil melambaikan tangan.

Yang dipanggil, mang Dule, tidak merespon, terus menggerak-gerakkan tali kuda. Delman makin dekat, makin jelas terlihat, penumpangnya seorang perempuan, duduk persis di belakang mang Dule, menghadap ke sisi kiri delman.

"Mang Dule! Hai! Saya andi, dari Sukamiskin." Andi sekarang melambaikan kedua tangannya.

"Ndi, kok diem saja ya?" Kelik heran.

Andi terus melambaikan tangan. Baru menurunkan tangannya ketika delman lewat di depan mereka.

"Mang, mang Dule, kita bisa ikut ga?" teriak Andi.

Delman terus berjalan, melewati mereka. Jangankan berhenti, mengurangi kecepatan pun tidak. Bahkan saisnya, yang dipanggil mang Dule, menoleh pun tidak.

"Hei mang Dule, heiii ...." Kali ini bukan hanya Andi yang manggil.

Semua memanggil, "mang Dulee, kita ikut!"

Delman terus berjalan. Sais dan penumpangnya menengok ke arah mereka pun tidak. Terus berjalan. Andi dan kawan-kawannya hanya bengong.

Setelah sekian menit.

"Ndi, itu mungkin bukan mang Dule," kata Joko.

"Aku ga mungkin salah. Terakhir aku ke sini masih numpang delmannya kok. Aku yakin itu mang Dule," Andi meyakinkan.

"Tapi kenapa doi diam saja?" Iwan penasaran.

"Ya ga tahu," balas Andi.

"Aneh, kalaupun bukan mang Dule, harusnya berhenti kan, kita ini penumpang kan?" Iwan makin keheranan.

"Mungkin ga dengar. Atau mungkin kita-kita ini dikira makhluk yang akan mengganggu dia. Sudah kita kejar saja. Mumpung belum jauh." Joko ngasih saran.

"Mungkin juga. Yuk, kita kejar."

Mereka pun berlari mengejar delman.

Lima menit mereka berlari, delman itu tidak kelihatan.

"Gila, masak sudah jauh sih. Perasaan belum lama dia lewat," kata Kelik terengah-engah.

"Kayaknya delman itu belok," sahut Agus juga terengah-engah.

"Aneh, kenapa Mang Dule tidak mengenalku ya?" gumam Andi.

"Dia sepertinya ketakutan. Kayaknya dia nyangka kita ini makhluk yang mau mengganggu," timpal Kelik.

"Ya sudah, kita lanjut jalan saja," kata Andi.

"Yaaa ...." Iwan kecewa.

Setengah jam kemudian mereka masuk desa Sukajaya. Andi melihat arlojinya, jam 19.50.

"Mana Ndi, katanya ada ojek?" tanya Iwan.

Andi nengok kiri-kanan. Merasa heran, suasana desa Sukajaya tidak seperti biasanya. Sepi. Sunyi.

"Aneh, perasaan belum malam-malam amat, tapi kok sepi sekali. Ga ada satupun warung yang buka."

"Bener Ndi, sepi sekali," balas Agus.

"Kayak-kayaknya ga ada ojek yang mangkal nih," gerutu Iwan.

"Udah ga usah lama-lama, kita lanjut jalan saja," timpal Joko, "sudah jelas, ga akan ada ojek."

"Ayo, lets go!" seru Kelik.

Muka Iwan makin berlipat.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Ada rasa aneh dirasakan Andi, desa Sukajaya yang biasanya rame, kali ini sepi, begitu juga ketika memasuki desa Sukasenang. Suasananya tidak berbeda dengan desa Sukajaya.

Dua jam kemudian mereka sampai di gerbang desa Sukamiskin.

"Ini kampungmu Ndi? Sepi amat," kata Joko.

"Memang sudah malam." Andi melihat arlojinya. Jam 21.10. "Tapi biasanya ga seperti ini sepinya, satu dua orang biasanya ada yang ngeronda."

"Rumahmu yang mana Ndi?" Iwan sudah tidak sabar ingin segera sampai.

"Rumahku di tengah."

"Alhamdulillah akhirnya sampai juga," lanjut Iwan.

Sampai di rumah Andi. Andi langsung mengetuk pintu. "Assalamu'alaikum."

Lama juga menunggu jawaban dari dalam rumah.

"Assalamu'alaikum," Andi mengulang salam.

Hening.

Beberapa saat kemudian baru ada jawaban, "wa'alaikum salam, siapa ya?"

"Andi bu." Mendengar suaranya, Andi yakin yang menjawab salam adalah ibunya.

"Andi?! Masya Allah nak, malam-malam gini baru nyampe." teriak ibu Andi kaget.

Terdengar ibu Andi buru-buru memutar kunci pintu dan membukanya.

Begitu keluar langsung memeluk Andi.

"Masya Allah nak. Kenapa datang malam-malam?"

"Besok saja ceritanya bu, cape sekali nih."

"Kalian pasti lapar ya?"

"Tentu saja bu, kami tadi hanya makan mie rebus di terminal," jawab Andi, melihat ga ada yang menjawab pertanyaan ibunya.

"Ya sudah, ayo masuk ... masuk. Andi antar mereka langsung ke kamar belakang sekalian ke dapur. Ibu mau hangatin sayur dulu."

Mereka pun masuk. Setelah bersih-bersih dan makan. Tak satu pun yang berminat ngobrol, mereka langsung tumbang.

Mereka baru terbangun atau dibangunkan ketika adzan subuh terdengar. Andi yang pertama bangun dan membangunkan kawan-kawannya.

"Nyenyak sekali tidur kalian." Ibu Andi membereskan piring-piring bekas sarapan.

"Maklum bu, habis jalan empat kilo," kata Iwan.

"Kenapa juga datang malam-malam," ujar ibu Andi. "Kamu juga Andi, kan sudah tahu di sini kalau malam ga ada angdes."

"Rencananya sih sore bu, nyampe sini. Tapi itu dia, mobilnya mogok parah. Sampai satu jam lebih. Kesorean deh," timpal Andi.

"Iya bu, mana hujan lagi," sahut Iwan lagi.

"Tapi alhamdulillah kan kalian akhirnya nyampe juga."

"Tapi bu, kok perasaan semalam ada yang aneh deh," tanya Andi.

"Aneh bagaimana?"

"Itu, waktu tadi malam, lewat desa Sukajaya dan Sukasenang, kok sepi banget, ga ada seorang pun yang di luar rumah. Padahal belum malam-malam amat, baru jam delapanan. Kayak desa kosong saja."

Ibu Andi diam saja. Hanya mengelap-elap meja makan.

"Perasaan waktu pulang enam bulan yang lalu, ga sesepi kayak semalam."

Ibu Andi menghentikan mengelap meja, lalu menoleh kea rah Andi. "Kamu mau dengar ceritanya?"

"Lho! Emangnya ada cerita apa bu?"

Ibu Andi tidak langsung menjawab, mengedarkan pandangannya ke kawan-kawan Andi. "Sudah dua bulan belakangan ini, setiap habis isya, penduduk tiga desa, tidak ada yang berani keluar rumah."

"Emang kenapa bu?" Joko penasaran.

"Sejak kejadian dua bulan yang lalu."

"Kejadian apa bu?"

"Kalian semalam lewat jembatan kan, yang menghubungkan desa Sukajaya dengan desa Sukasenang?"

"Ooohh jembatan yang kelihatan baru diperbaiki itu ya?" balas Kelik.

"Iya itu! Itu diperbaiki karena dua bulan yang lalu jembatan itu roboh tiba-tiba."

"Roboh? Lalu apa hubungannya dengan desa jadi sepi bu?" kali Andi yang penasaran.

Ibu Andi menghela napas.

"Jembatan itu roboh pas kebetulan delman Mang Dule lewat. Waktu itu Mang Dule lagi bawa penumpang, ibu Eroh, yang suka jualan sayuran."

"Terus Mang Dule dan bu Eroh bagaimana bu?" Iwan mulai keluar paniknya.

"Ya langsung meninggal de, orang jembatan itu tingginya lima belas meter. Delman Mang Dule langsung jatuh dengan kuda-kudanya sekaligus."

"Jadi, jadi ... Mang Dule meninggal bu?" Kelik dan Joko kompak bertanya kemudian saling pandang.

"Iya, juga bu Eroh. Mereka tidak keburu diselamatkan. Kasihan sekali mereka." Kata ibu Andi sedih. "Naahh ... sejak kejadian itu, kalau malam hari, kata orang-orang sih, mereka suka melihat Mang Dule keliling-keliling desa dengan delmannya. Makanya jadi ga ada yang berani keluar rumah kalau sudah malam."

"HAAAHHHHH ...!" Kompak kelimanya teriak.

"Jadi ... jadi .... yang semalam itu benar Mang Dule?!" kata Iwan, dan langsung pingsan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun