Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan yang ingin terus menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha menuliskan apa saja yang bermanfaat, untuk sendiri, semoga juga untuk yang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Delman Mang Dule

25 Agustus 2020   14:29 Diperbarui: 25 Agustus 2020   14:53 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya desa, jauh dari kota, jadi kondisi jalan pun masih jauh dikatakan mulus. Sepertinya sudah lama tidak pernah ada pengaspalan ulang. Dimana-mana jalan berlubang, sisa-sisa aspal hanya di beberapa tempat, kebanyakan jalan berbatu yang mereka lewati. Hujan yang turun seharian menyisakan genangan dimana-mana, bahkan sebagian ada yang sampai se-tumit. Berjalan dengan harus menghindari genangan, ditambah sorot senter dari HP yang tidak optimal, membuat mereka malas berbicang saat berjalan. Semua diam, larut dengan pikiran masing-masing.

"Ndi, ini hutan ya?" Iwan memecah keheningan perjalanan mereka.

"Kan sudah kubilang, kita akan melewati hutan. Desa terdekat jaraknya sekilo lebih, ini kita baru jalan paling setengah kilo," bisik Andi.

"Duh ... serem juga ya," ujar Iwan.

"Makanya diem, sudah jalan saja," timpal Kelik.

"Kamu tuh ...." Iwan memonyongkan mulutnya. tidak suka dengan komentar Kelik.

Hampir setengah jam mereka berjalan, menelusuri jalan berbatu di tengah hutan, ringkik suara jangkrik bersahutan dengan suara kodok yang kasmaran, diselingi suara burung hantu, membuat suasana yang sunyi semakin mencekam. Mereka semakin berdiam diri, seolah takut kalau mengeluarkan suara, akan ada yang terbangun karena terganggu.

"Kok bulu kudukku merinding ya," lirih Agus.

"Husss ... kamu tuh nambah-nambahin serem saja," Iwan menepuk pundak Agus yang berjalan di depannya.

"Lho, emang iya, merinding emang kamu tidak?"

"Sudah ah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun