Namanya desa, jauh dari kota, jadi kondisi jalan pun masih jauh dikatakan mulus. Sepertinya sudah lama tidak pernah ada pengaspalan ulang. Dimana-mana jalan berlubang, sisa-sisa aspal hanya di beberapa tempat, kebanyakan jalan berbatu yang mereka lewati. Hujan yang turun seharian menyisakan genangan dimana-mana, bahkan sebagian ada yang sampai se-tumit. Berjalan dengan harus menghindari genangan, ditambah sorot senter dari HP yang tidak optimal, membuat mereka malas berbicang saat berjalan. Semua diam, larut dengan pikiran masing-masing.
"Ndi, ini hutan ya?" Iwan memecah keheningan perjalanan mereka.
"Kan sudah kubilang, kita akan melewati hutan. Desa terdekat jaraknya sekilo lebih, ini kita baru jalan paling setengah kilo," bisik Andi.
"Duh ... serem juga ya," ujar Iwan.
"Makanya diem, sudah jalan saja," timpal Kelik.
"Kamu tuh ...." Iwan memonyongkan mulutnya. tidak suka dengan komentar Kelik.
Hampir setengah jam mereka berjalan, menelusuri jalan berbatu di tengah hutan, ringkik suara jangkrik bersahutan dengan suara kodok yang kasmaran, diselingi suara burung hantu, membuat suasana yang sunyi semakin mencekam. Mereka semakin berdiam diri, seolah takut kalau mengeluarkan suara, akan ada yang terbangun karena terganggu.
"Kok bulu kudukku merinding ya," lirih Agus.
"Husss ... kamu tuh nambah-nambahin serem saja," Iwan menepuk pundak Agus yang berjalan di depannya.
"Lho, emang iya, merinding emang kamu tidak?"
"Sudah ah!"