Hujan menjelang maghrib melengkapi penderitaan Andi dan empat kawannya. Gara-gara mobil yang mereka tumpangi mogok, mereka telat sampai dua jam dari rencana.
"Gimana nih Ndi?" kata Iwan sambil membetulkan topinya.
"Ya mau bagaimana lagi, terlanjur kesorean," sahut Andi.
"Jadi bener kalau sudah jam segini ga ada angkutan ke desamu?" tanya Kelik.
"Iya. Makanya aku ngajak kalian tadi berangkat setelah dzuhur, supaya kita sampai di sini jam empatan. Biasanya sampai setengah lima masih ada angkutan." Andi menarik resleting jaketnya lebih ke atas.
"Udah, kita ke warung sana saja tuh, kita ngobrolnya sambil ngopi-ngopi," timpal Joko. Joko memang orangnya selalu optimis, selalu tenang menghadapi situasi apapun. Setenang kalau dia berjalan. Sangat kontras dengan Iwan yang selalu grusa-grusu.
"Oke, kita ke sana!" ajak Andi.
Mereka pun berlari kecil menuju warung yang ada di pojok terminal. Ada beberapa warung yang buka sore itu, terlihat dari nyala lampunya, walaupun lebih banyak lagi yang tutup.Â
Terminal itu memang terminal kecil, hanya terminal kecamatan, tempat mobil-mobil angkutan dari kota menurunkan penumpang dan kemudian para penumpang berganti kendaraan, angkutan pedesaan, untuk melanjutkan perjalanan ke desa.Â
Walaupun ada delapan desa di kecamatan itu, tapi angkutan pedesaan yang ada hanya tiga jurusan, satu angkutan pedesaan mempunyai trayek tujuan dua atau tiga desa. Salah satunya ke desa dimana Andi tinggal, desa Sukamiskin, yang jaraknya empat kilometer dari terminal.
Karena terminal kecil, kendaraan dari kota yang terakhir datang jam empat sore, sehingga angkutan pedesaan pun mengikuti, terakhir mereka menarik penumpang jam empat sore atau setengah lima. Dan ini Andi sudah tahu. Terakhir Andi pulang enam bulan yang lalu.