Ia memang tampak menonjol di antara teman-teman seangkatannya, tapi ia sadar sebetulnya belum cukup memiliki kemampuan untuk itu, dan bukan karena benar-benar diberikan kesempatan, ia menduga itu dikarenakan memang kekurangan pelatih.
"Tugas ini dimaksudkan agar kamu bisa belajar memimpin orang!" pesan Guru Lintang sesaat setelah pengesahan.
"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya, Guru!" jawab Lahar dengan wajah dipenuhi rasa bangga.
Ia senang mendapat beberapa fasilitas sebagai seorang pelatih, termasuk kamar tidur pribadi, juga kini lebih dihormati oleh teman-teman seangkatan.
Sejak menjadi pelatih, komunikasinya lebih banyak dengan Ki Wisang. Di padepokan, Ki Wisang menduduki posisi ketiga setelah Guru Lintang dan Putri Arum. Cukup tinggi.
Selama itu juga, Lahar mulai sering mendapat teguran dari Ki Wisang. Banyak sekali kesalahan-kesalahan yang harus ia benahi. Semua gerakan jurus yang dulunya bisa dimaklumi, kini salah dan menjadi persoalan yang serius.
Saat itu ia baru menginjak usia sembilan belas tahun. Rentang masa belajar selama tiga tahun di situ adalah durasi paling minim dibanding pelatih-pelatih lain, yang rata-rata melatih setelah menempuh latihan di atas lima tahun. Ia pelatih berusia termuda.
Yang menyedihkan, Guru Lintang terasa mendiamkan, tak pernah membelanya. Lahar merasa telah ditelantarkan begitu saja.
Suatu saat Ki Wisang, lelaki tua yang terkenal ceriwis itu, menghardiknya dengan keras, "Kamu jangan asal melatih! Kamu sadar nggak kalau gerakan-gerakanmu banyak yang keliru?"
Lahar merasa Ki Wisang selalu mencari-cari kesalahan agar bisa memarahinya.
"Ingat satu hal lagi, kenapa kau bermalas-malasan di sini? Siapa yang memberimu hak bersantai, makan minum, dan istirahat seenaknya? Apa itu yang kau sebut pengabdian?"