"Kencana, andaikata hal terburuk terjadi," pesan Abah Kastari, "Kamu adalah seorang istri dari cucu tunggal kanjeng. Kamu dan suamimu yang nantinya tetap bakal mewarisi semua harta kekayaan kanjeng!"
Kencana tahu betul itu, tapi pesan ayahnya sangat membantunya menenangkan hati. Meskipun naluri sebagai pengusaha untuk selalu waspada harus tetap ada.
Beberapa bulan kemudian, kanjeng kembali mendatangi Kencana dan mengatakan, "Sepertinya kita harus setor modal lagi. Kapal-kapal kita butuh peremajaan. Kamu ada uang berapa?"
"Waduh maaf, Kek, saat ini belum ada!"
"Ya sudah, tidak apa-apa. Saya akan pinjami kamu untuk menutup kekurangan modal. Soalnya peremajaan kapal itu suatu keharusan, tentu kalau kita tidak ingin terjadi apa-apa dengan kapal-kapal kita! Setuju tidak?"
"Se..setuju, Kek!"
"Tapi ingat ya, ini pinjaman yang ada bunganya lho. Ya namanya bisnis tetap bisnis! Kita harus professional!"
Tanpa disadari kejadian seperti itu terus berulang hingga hutang-hutang itu telah menumpuk. Hutang yang sangat besar membuat pihak Kencana semakin tak berdaya. Lambat laun, seperti yang sudah bisa ditebak, seiring kesehatan Abah Kastari yang semakin memburuk, pemilik bisnis perkapalan itu telah berpindah tangan. Abah Kastari telah kehilangan segalanya. Tapi secara menjijikan, Kanjeng Wotwesi masih terus menampilkan muka tak berdosa.
***
Semua kejadian itu tidak terlepas dari pengamatan Ki Renggo. Rangkaian peristiwa berikutnya yang ia khawatirkan adalah tahap menyingkirkan Kencanawati. Sama seperti yang terjadi dengan kakaknya, Raden Ajeng Semi.
Ia pun berpikir keras untuk mencari cara menyelamatkan wanita itu. Satu-satunya cara adalah menyampaikannya secara langsung. Tapi kesempatan untuk itu hampir tidak ada, dan kalau pun ada hampir mustahil bisa dilakukan. Puri Intijiwo adalah tempat yang mendapat penjagaan paling ketat.