Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (114): Sebuah Pembalasan

3 Desember 2024   05:23 Diperbarui: 3 Desember 2024   06:19 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

Seperti biasanya, Kanjeng Wotwesi tampak seolah-olah memotivasi Kencanawati untuk kerja keras membesarkan usaha. Sebagai kosekuensinya, penambahan modal adalah kewajiban. Sesuai perjanjian kedua belah pihak, mereka harus Kembali melakukan setor modal.

Kanjeng Wotwesi menemui Kencana di taman. "Kakek punya rencana untuk memperbesar usaha. Kali ini kita perlu modal seribu kilogram emas. Kamu sanggup setor berapa?"

Dengan gugup Kencana menjawab, "Maaf, Kek, saat ini saya cuma punya seratus kilogram."

"Tidak apa-apa. Jangan terlalu khawatir, sementara itu dulu tidak apa-apa dan sisanya saya pinjami. Ingat lho, ini pinjam!"

"Baik! Terima kasih, Kek!"

"Dan ada bunganya. Yaa.., bisnis tetap bisnis kan!"

"Tapi apa tidak sebaiknya saya diskusikan dulu masalah ini sama Kangmas Klebat?"

"Tidak perlu. Cucuku itu tidak pernah tertarik dengan persoalan bisnis! Dia bahkan sepertinya tidak tertarik dengan uang!"

Ketika Kencana di lain waktu menceritakan hal itu kepada ayahnya, dan ayahnya tidak mempersoalkan. Semua urusan bisnis perkapalan memang sepenuhnya telah diserahkan untuk dikendalikan olehnya.

"Kencana, andaikata hal terburuk terjadi," pesan Abah Kastari, "Kamu adalah seorang istri dari cucu tunggal kanjeng. Kamu dan suamimu yang nantinya tetap bakal mewarisi semua harta kekayaan kanjeng!"

Kencana tahu betul itu, tapi pesan ayahnya sangat membantunya menenangkan hati. Meskipun naluri sebagai pengusaha untuk selalu waspada harus tetap ada.

Beberapa bulan kemudian, kanjeng kembali mendatangi Kencana dan mengatakan, "Sepertinya kita harus setor modal lagi. Kapal-kapal kita butuh peremajaan. Kamu ada uang berapa?"

"Waduh maaf, Kek, saat ini belum ada!"

"Ya sudah, tidak apa-apa. Saya akan pinjami kamu untuk menutup kekurangan modal. Soalnya peremajaan kapal itu suatu keharusan, tentu kalau kita tidak ingin terjadi apa-apa dengan kapal-kapal kita! Setuju tidak?"

"Se..setuju, Kek!"

"Tapi ingat ya, ini pinjaman yang ada bunganya lho. Ya namanya bisnis tetap bisnis! Kita harus professional!"

Tanpa disadari kejadian seperti itu terus berulang hingga hutang-hutang itu telah menumpuk. Hutang yang sangat besar membuat pihak Kencana semakin tak berdaya. Lambat laun, seperti yang sudah bisa ditebak, seiring kesehatan Abah Kastari yang semakin memburuk, pemilik bisnis perkapalan itu telah berpindah tangan. Abah Kastari telah kehilangan segalanya. Tapi secara menjijikan, Kanjeng Wotwesi masih terus menampilkan muka tak berdosa.

***

Semua kejadian itu tidak terlepas dari pengamatan Ki Renggo. Rangkaian peristiwa berikutnya yang ia khawatirkan adalah tahap menyingkirkan Kencanawati. Sama seperti yang terjadi dengan kakaknya, Raden Ajeng Semi.

Ia pun berpikir keras untuk mencari cara menyelamatkan wanita itu. Satu-satunya cara adalah menyampaikannya secara langsung. Tapi kesempatan untuk itu hampir tidak ada, dan kalau pun ada hampir mustahil bisa dilakukan. Puri Intijiwo adalah tempat yang mendapat penjagaan paling ketat.

Yang bisa menyelamatkan nyawa Kencana hanya Klebat, suaminya. Karena kanjeng pasti tidak ingin melihat cucunya bersedih hati akibat kehilangan orang yang dicintainya. Tapi itu pun jika Klebat memang benar-benar mencintai istrinya. Akan tetapi, Mbok Cipluk yang dicintai Klebat pun bisa disingkirkan oleh kanjeng dengan mudah.

Menyadari kenyataan bahwa dia kini berada di dalam sarang musuh yang sangat berbahaya, membuatnya menyerah. Ia menyesali ketakberdayaannya. Ia memang tidak seberani Ki Suro, si penyusup bodoh itu. Andaikata ia sanggup melawan murid yang begitu banyaknya, belum tentu ia akan sanggup menghadapi Kanjeng Wotwesi, apalagi menghadapi pendekar andalan kanjeng yang bergelar Iblis Muka Gedeg. Ia sendiri belum pernah melihat pendekar yang terkenal raja tega itu, hanya sering mendengar cerita mengenai sepak terjangnya saja.

Biarlah bersabar sambil menunggu saatnya tiba, saat datangnya kesempatan baik untuk turun tangan memberantas kemungkaran, tapi entah kapan.

'Ya, selama ini orang begitu hebatnya menggunakan retorika bahwa mereka peduli dengan ketidakadilan. Tapi tidak berbuat banyak ketika ketidakadilan itu hadir di tengah mereka!' keluh Ki Renggo kepada dirinya sendiri, 'Retorika indah tapi hampa makna!'

Sebagai seorang pengamat yang cermat, ia bukannya tidak tahu rasa kesepian yang dialami Kebo Klebat. Ia diam-diam menyebarkan hal itu di tengah masyarakat. "Pernikahan itu hanya sandiwara. Rasa sepi itu tetap menyelinap abadi dalam hati Raden Klebat. Rasa kesepian itulah yang membuat hidupnya menjadi kisah yang memilukan."

Rumor hangat yang menimbulkan rasa penasaran banyak orang itu langsung dilahap. Berbagai pertanyaan pun bermunculan. Apa yang terjadi dengannya? Bukankah ia memiliki segalanya, istri cantik dan kekayaan melimpah? Mengapa kesaktian luar biasa yang ia miliki, yang oleh dunia persilatan disebut lebih hebat dibanding Kebokicak, Topo Surantanu, Ki Blandotan Kobra, Ki Kalong Wesi, kok sampai menderita kesepian?

Jawabannya, satu penyebab utama dari banyak penyebab lain, yaitu hubungan buruk Klebat dengan kakeknya. Kanjeng Wotwesi itu hanya memanfaatkan cucunya demi memenuhi ambisi pribadinya.

Kanjeng Wotwesi menggerutu sambil berharap dunia memahami. "Akulah, kakeknya, yang membesarkan Klebat. Aku yang mencetaknya dari anak desa pemalu menjadi pendekar paling hebat. Keterlaluan sekali orang-orang itu, menuduh aku sebagai kakek yang tidak tahu diri karena memanfaatkan cucu!"

"Tidak perlu dihiraukan, Kanjeng!" sahut Ki Dewan.

"Apa istilah yang mereka bilang, 'Menunggang kuda', artinya aku menumpang pada cucuku yang lebih sukses untuk mempercepat kesuksesanku!"

"Ha..ha.., itu omongan ngawur! Mereka itu hanya orang melarat yang membenci orang sukses dan kaya raya!"

"Cari siapa orang yang membuat karangan ngawur itu? Tidak mungkin dari orang luar, pasti orang dalam! Karena dia tahu banyak hal tentang kehidupanku!"

"Jangan-jangan orang tingkat tujuh. Siapa lagi? Mereka yang paling tahu seluk beluk Kanjeng dan puri!"

"Cari penyusup bangsat itu sampai ketemu!"

Dengan merebaknya rumor itu, untuk sementara Kanjeng Wotwesi menunda rencana menjadikan Kencanawati sebagai tumbal. Ia tidak ingin masyarakat semakin percaya bahwa perkawinan cucunya itu memang sandiwara.

Kanjeng sendiri menyebut dirinya sebagai seorang yang ahli memperdayai. Ia bisa memperdayai orang agar percaya hal yang biasa menjadi luar biasa. Ia bisa memperdayai siapapun agar percaya bahwa berita-berita buruk mengenai dirinya dan Intijiwo itu pasti salah. Ia bangga karena berhasil membuat masyarakat luas terpedaya.

"Itu fitnah yang jahat. Mana katanya Kencana akan dijadikan tumbal? Buktinya sampai sekarang dia masih baik-baik saja!"

"Raden Klebat sangat mencintai istrinya, dan mereka tampak sebagai pasangan yang sangat bahagia!"

"Iya, hanya fitnah! Ciri-ciri orang baik itu tidak akan pernah luput dari panah-panah fitnah!"

"Berarti Kanjeng Wotwesi itu memang orang baik!"

***

Baru tiga tahun bergabung dengan padepokan Benteng Nusa, Joko Lahar mendapat sebuah kesempatan menjadi pelatih. Sama sekali tidak pernah terpikirkan.

Ia memang tampak menonjol di antara teman-teman seangkatannya, tapi ia sadar sebetulnya belum cukup memiliki kemampuan untuk itu, dan bukan karena benar-benar diberikan kesempatan, ia menduga itu dikarenakan memang kekurangan pelatih.

"Tugas ini dimaksudkan agar kamu bisa belajar memimpin orang!" pesan Guru Lintang sesaat setelah pengesahan.

"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya, Guru!" jawab Lahar dengan wajah dipenuhi rasa bangga.

Ia senang mendapat beberapa fasilitas sebagai seorang pelatih, termasuk kamar tidur pribadi, juga kini lebih dihormati oleh teman-teman seangkatan.

Sejak menjadi pelatih, komunikasinya lebih banyak dengan Ki Wisang. Di padepokan, Ki Wisang menduduki posisi ketiga setelah Guru Lintang dan Putri Arum. Cukup tinggi.

Selama itu juga, Lahar mulai sering mendapat teguran dari Ki Wisang. Banyak sekali kesalahan-kesalahan yang harus ia benahi. Semua gerakan jurus yang dulunya bisa dimaklumi, kini salah dan menjadi persoalan yang serius.

Saat itu ia baru menginjak usia sembilan belas tahun. Rentang masa belajar selama tiga tahun di situ adalah durasi paling minim dibanding pelatih-pelatih lain, yang rata-rata melatih setelah menempuh latihan di atas lima tahun. Ia pelatih berusia termuda.

Yang menyedihkan, Guru Lintang terasa mendiamkan, tak pernah membelanya. Lahar merasa telah ditelantarkan begitu saja.

Suatu saat Ki Wisang, lelaki tua yang terkenal ceriwis itu, menghardiknya dengan keras, "Kamu jangan asal melatih! Kamu sadar nggak kalau gerakan-gerakanmu banyak yang keliru?"

Lahar merasa Ki Wisang selalu mencari-cari kesalahan agar bisa memarahinya.

"Ingat satu hal lagi, kenapa kau bermalas-malasan di sini? Siapa yang memberimu hak bersantai, makan minum, dan istirahat seenaknya? Apa itu yang kau sebut pengabdian?"

Tulang-belulangnya seperti remuk. Dia merasa gagal menjadi pelatih. Setelah cukup lama mempertimbangkan, ia pun membuat keputusan untuk keluar dari padepokan. Ia tidak peduli jika nantinya dianggap sebagai pecundang.

"Assalamualaikum!"

Guru Lintang berlagak sedikit kaget. "Waalaikum salam..! Ayo masuk, ada apa?"

Lahar diterima di ruang tamu puri. Cukup bingung, karena di kesempatan itu sikap Guru Lintang begitu ramah dan sangat bersahabat. Padahal sebelumnya jangankan mengajak bicara, bahkan seolah-olah menghindari untuk bertemu.

"Kadang aku itu membayangkan seandainya bisa bertemu dengan guru-guru yang telah tiada!" kata Guru Kicak memulai percakapan. "Mpu Naga Neraka, Pendekar Kebokicak, Paman Kelabang Karang..! Mereka pendekar-pendekar yang perkasa dan tegar!"

Mendengar nama-nama itu disebut rasanya berdebar jantung Lahar. Semua yang disebut itu tokoh-tokoh yang sangat dikaguminya.

"Oh iya, kamu ada perlu apa?"

"Saya ijin mau berhenti jadi pelatih, Guru?" Akhirnya dengan susah payah Lahar berhasil memaksa mulutnya berbicara. Wajahnya menunduk, tak sanggup menerima tatapan gurunya.

"Kamu kan sedang belajar. Selesaikan dulu itu. Masih banyak yang harus kamu pelajari di sini!"

Lahar tidak paham maksud dari ucapan itu. Waktunya tidak ia habiskan untuk belajar apapun, selain hanya sibuk melatih.

"Maaf, saya merasa tidak mampu menjalankan tugas sebagai pelatih dengan baik, Guru!"

"Ya, namanya saja masih tahap belajar!" kata Guru Lintang dengan nada datar dan mimik wajah tenang. "Namanya melatih itu ya memang harus belajar lebih keras dari orang-orang yang kamu latih. Tidak cukup keras fisik, tapi juga mental. Harus dengan kesabaran dan ketelatenan. Nah itu belajarnya kamu!"

Lahar mulai berani mengangkat wajah. Ia mulai paham.

"Sebenarnya kamu punya bakat dan semangat, tapi kamu kurang memiliki mental yang kuat. Nah, Guru Wisang itu sedang menggembleng mentalmu!"

Joko Lahar menunduk, bagaikan seorang terdakwa di kursi pengadilan. Gugurlah semua kalimat-kalimat yang telah dipersiapkannya untuk berhenti. Ia menghela nafas panjang karena merasa berdosa telah berburuk sangka kepada guru-gurunya. Setelah itu ia seperti kembali dihidupkan. Hatinya telah siap menerima berbagai tugas berat, dan berjanji akan menerima dengan lapang dada.

***

"Kangmas Klebat, apa kamu punya simpanan uang?"

"Tidak."

"Kamu sama sekali tidak menyimpan uang?"

"Tidak. Kalau butuh uang aku tinggal minta sama kakek. Kenapa? Kamu butuh uang?"

Kencana mengangguk pelan.

"Nanti aku bisa mintakan ke kakek!"

Kencana menarik nafas panjang. Kepribadian misterius suaminya itu sudah seperti sahabat karib yang selalu setia menemani. Sakit. Tapi lama-lama menjadi biasa.

Sisa-sisa sinar matahari senja menerobos tipis dan condong ke arah mereka, lewat daun-daun Asam Kranji. Di bawah pohon yang teduh itu mereka berdua duduk di kursi malas.

Klebat mendadak beranjak dari kursi, dengan suara tanpa dosa dia mendekati tanaman melati yang menyemak. "Kencana, sini! Banyak capung di sini!"

Kencana pun menjawab dengan malas, "Di sini juga banyak!" Ia lalu mencoba menggali lebih dalam sisi misterius suaminya, "Kangmas, apa yang menjadi keinginanmu dalam hidup ini?"

"Maksudnya?"

"Ya.., seperti cita-cita?"

"Cita-cita? Ya, ada cita-citaku yang sejak kecil belum terwujud!"

"Apa itu?"

"Membunuh orang yang telah membunuh ayahku!"

"Belum terwujud?"

"Belum. Gara-gara aku ketemu seorang gadis yang membuatku jatuh cinta setengah mati!"

"Apa hubungannya?"

"Gadis itu membuat aku malu. Dia bilang aku orang jahat! Itu yang membuat aku akhirnya menunda rencana untuk menghabisi musuh besarku itu! Barangkali gadis itu seperti mbok, yang tidak mau aku jadi orang jahat!"

"Aku juga gak mau kamu jadi orang jahat!"

Dengan rasa penuh kegembiraan yang mustahil bisa terjadi pada seorang pendekar besar, ia memanggil istrinya. "Kencana, aku tangkap capung buat kamu!" Seolah telah menyelesaikan sebuah tugas berat. Wajahnya berbinar saat menyerahkan capung malang itu.

"Siapa namanya?"

"Siapa?"

"Gadis yang kamu sukai itu!"

"Oh.., namanya Alya!"

"Apa kamu masih mencintainya?"

"Iya masih!"

"Lalu kenapa kamu mau menikah dengan aku?"

"Demi sebuah pengakuan agar aku disebut sebagai anak yang patuh dan bisa membahagiakan orang tua!" jawabnya ringan tanpa sikap yang dibuat-buat.

"Berarti kamu tidak mencintai aku?"

"Hm.., Aku suka kamu!"

"Ya..lepas!" Kencana sengaja melepas capung yang tadi diterimanya dan pura-pura merasa kehilangan. "Lebih cantik mana aku dibanding Alya?"

"Kalian sama-sama cantik. Tapi dia lain. Aneh! Ada sesuatu yang membuat aku selalu merasa damai ketika melihatnya!"

"Sudah mau malam," seru Kencana. "Aku mau masuk."

"Kau marah karena capungnya lepas ya?"

Kekesalan Kencana seakan menumpuk, tapi ia bisa bersabar dan memaklumi. Kepahitan hidup masa kecil suaminya itu yang membuat dia menjadi sangat dingin, nyaris kepada semua hal.

"Mau aku tangkapkan lagi?"

"Gak usah! Kangmas, apa kamu tidak ingin kita punya rumah sendiri? Hanya tinggal berdua dan dengan anak-anak kita nantinya?"

"Kamu tidak suka tinggal di sini?"

"Bukan itu inti persoalannya!"

"Kamu itu aneh!"

"Ya kamu itu yang aneh!"

"Kamu!"

"Kamu!"

"Ayo ikut aku!" Klebat meraih tangan istrinya dan mengajak ke sebuah tempat tidak jauh di belakang puri. Tempat itu bangunan tembok yang tertutup rapat tanpa jendela sama sekali, hanya ventilasi kecil yang cukup tinggi. Ia lalu membuka kunci pintu dan mengajak istrinya masuk.

Kencana tak kuasa menyembunyikan rasa takjub. Mulutnya ternganga lebar. Di dalam ruangan itu terdapat banyak emas batangan yang tertumpuk rapi. Memenuhi separuh ruangan.

'Jangan anggap perempuan itu lemah dan gampang dibodohi!' batin Kencanawati kesal.

Ia memang sedang mencari cara untuk melakukan sebuah pembalasan. Setelah melihat tumpukan emas batangan yang sangat banyak, rencana untuk melakukan itu semakin membanjiri pikirannya. Pembalasan yang tidak hanya setimpal, tapi akan jauh lebih kejam.

Terngiang ucapan kakek kanjeng, "Cucuku itu tidak pernah tertarik dengan persoalan bisnis! Dia bahkan sepertinya tidak tertarik dengan uang!"

'Bagus!' Perempuan yang sedang terluka itu tersenyum dalam hati. Ia menyadari telah menikah dengan orang kaya raya yang tidak tertarik dengan uang.

Ia pamit kepada suami dan kakek kanjeng untuk pulang menjenguk ayahnya. Mungkin sekitar sepuluh hari.

Ia akan mencari dukun santet yang sangat sakti melebihi kesaktian kanjeng. Jika bisa membunuh kanjeng, dia merasa yakin bisa menguasai Klebat. Suaminya itu akan jauh lebih mudah dibujuk untuk mengikuti semua kemauannya. Kalau tidak bisa dibujuk, akan disingkirkan sekalian.

Ia menemui seorang teman laki-laki yang dulu pernah mencintainya. Ia sebetulnya diam-diam juga jatuh hati, tapi lantaran lelaki itu hanya bekerja sebagai pegawai rendahan di kademangan, ia urung menambatkan hatinya.

"Aku sekarang sangat butuh bantuanmu!" kata Kencana serius setelah mengadukan semua penderitaan yang dialaminya.

"Kenapa kamu tidak menolak sewaktu dulu dijodohkan!"

"Demi sebuah pengakuan agar aku disebut sebagai anak yang patuh dan bisa membahagiakan orang tua!"

Prana, lelaki yang sudah menikah dan memiliki seorang anak itu bertanya dengan nada penasaran, "Kencana, bukannya aku tidak mau membantumu, tapi apa kamu sudah mempertimbangkan rencanamu itu dengan masak?"

"Pasti sudah. Lagi pula kanjeng itu orang jahat yang kejahatannya tidak boleh dibiarkan merajalela! Aku tidak ingin ada banyak korban berjatuhan seperti yang aku alami!"

"Aku dengar Kanjeng Wotwesi itu sangat sakti! Tidak mudah untuk menemukan dukun yang mau dan bisa menyantetnya! Aku mengkhawatirkan keselamatanmu jika nanti kita gagal membunuhnya! Itu masalahnya!"

"Kita cari dukun yang lebih sakti. Pasti ada! Bukankah ada langit di atas langit?"

"Baik! Aku pernah dengar ada dukun yang sangat sakti, akan aku cari informasinya! Kamu tahu, Wati, aku rela melakukan ini karena aku masih sangat mencintaimu!"

"Jangan bicarakan itu sekarang!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun