Mohon tunggu...
Hukum

Jual Beli Benda Wakaf Dalam Rangka Menarik Sumbangan Pembangunan Masjid Di Desa Palengaan Daja

31 Desember 2018   16:32 Diperbarui: 31 Desember 2018   17:57 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari analisis hukum terkait dengan pengalihan nama waqif dengan cara membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali oleh pembeli sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa dalam pandangan madzhab Syafi'i, Maliki dan Hambali tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Akan, tetapi dalam pandangan ulama madzhab Hanafi hal itu dapat dilakukan dengan keleluasaan yang diberikan mereka dalam menghukumi penjualan benda wakaf itu sendiri.

Namun dari kesimpulan pertama tersebut, perlu dikaji dari perspektif hukum muamalahnya. Di mana dalam perkara muamalah tentang jual beli, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar transaksi yang dilakukan benar-benar sah menurut hukum Islam.

Secara umum, dengan melihat praktik jual beli benda wakaf di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja sudah memenuhi rukun jual beli, yakni adanya orang yang berakad (penjual dan pembeli), adanya objek akad (benda yang diperjual belikan), shighat (ijab dan qabul), dan nilai tukar.[73]

Adapun berkaitan dengan syarat jual beli, maka dalam praktik penjualan benda wakaf yang terjadi di masjid Istiqlal perlu dikaji lebih dalam lagi.  Di mana salah satu syarat yang terdapat dalam jual beli adalah benda yang diperjual belikan harus dapat diserahkan kepada pembeli dan berada dalam kepemilikan seseorang (hak jual), sehingga jual beli dapat dikatakan sah jika memenuh syarat ini dalam praktiknya.

 Jika dilihat dalam pandangan ulama madzhab Syafi'i, Hambali dan Maliki sebagaimana dijelaskan di atas bahwa benda wakaf yang diperjual belikan di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja merupakan benda yang tidak dapat diperjual belikan, dikarenakan benda tersebut masih belum memenuhi kriteria-kriteria tertentu terkait dengan benda wakaf yang dapat diperjual belikan.

Oleh karena itu, praktik jul beli yang terjadi di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja merupakan perkara yang dilarang dalam pandangan hukum Islam menurut ulama Madzhab Syafi'i, Hambali dan Maliki. Hal ini dikarenakan kehahalan jual beli itu sendiri merupakan transaksi yang diperbolehkan apabila tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sebagaimana hal ini tertera dalam keumuman kaidah fiqih yang menyatakan:

 "Hukum asal dalam hal muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya".[74]

Oleh karena itu, dalam praktik jual beli yang terjadi di masjid Istiqlal Desa Palengan Daja merupakan transaksi yang dilarang dalam hukum Islam menurut pandangan ulama madzhab Syafi'i, Maliki dan Hambali, dikarenakan benda tersebut masih tergolong ke dalam benda yang dilarang untuk diperjual belikan karena tidak memenuhi syarat benda wakaf yang dapat diperjual belikan.

 Larangan tersebut dikembalikan pada hukum awal penjualan benda benda wakaf, bahwa pejualan benda wakaf pada asalnya merupakan perkara yang dilarang. Sebagaimana larangan ini didasarkan pada adanya dalil yang dikutip peneliti pada awal pembahasan subbab ini, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar yang menceritakan tentang wakaf umar dengan syarat bendanya tidak boleh dijual, diwariskan dan tidak boleh dihibahkan. [75]

 Terlebih lagi dalam pandangan ulama madzhab Syafi'i dan Hambali menyatakan bahwa benda yang sudah diwakafkan pada dasarnya terlepas kepemilikannya dari waqif dan menjadi milik Allah Taala. [76] Begitu juga dalam pandangan ulama madzhab Maliki yang menyatakan bahwa benda yang sudah diwakafkan untuk selamanya seperti masjid itu sendiri merupakan benda yang kepemilikannya terlepas dari waqif. [77]

Sehingga dari adanya pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa waqif tidak memilik hak untuk menjual benda wakaf itu sendiri. Begitu juga dengan nadzir wakaf, benda wakaf yang dipercayakan padanya untuk dikelola tidak menyebabkan perpindahan hak milik benda wakaf tersebut padanya. Hal ini berdasarkan UU. No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dalam Pasal 3 ayat (2) menentukan bahwa terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nadzir tidak membuktikan kepemilikan nadzir atas benda tersebut.[78]

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun