Terlebih lagi masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja yang akan direnovasi sudah sangat tua dan ditakutkan roboh, sehingga akan menyebabkan sesuatu yang dapat membayakan bagi jamaahnya. Sehingga dengan itu, perlu untuk direnovasi agar masyarakat lebih aman dalam melakukan perintah Allah Taala berupa memakmurkan masjid itu sendiri. Hal ini seagaimana hasil wawancara dengan informan:
"Dilakukannya renovasi masjid ini karena keadaan masjid yang sudah tidak layak pakai lagi, di mana sudah banyak gedung yang retak, gentengnya banyak yang bocor, dan keadaan kayu yang sudah tua membuat kami takut masjid itu roboh pada saat ada jamaah yang shalat di dalamnya." [53]
Selain itu, terkait dengan akibat berbahayanya masjid tersebut terdapat perintah agama untuk menghilangkan kemudharatan itu sendiri, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari Abu Said al-Khudri:
"Dari Abu Said al-Khudri, bahwasanya Rasulullah Shallahu Alaihi Wasallam bersabda: tidak ada modharat dan tidak boleh menimbulkan modharat". (H.R. al-Baihaqi).[54]
Di sisi lain, keberadaan dana yang cukup dalam membangun atau melakukan renovasi total masjid sangat diperlukan. Namun dalam melakukan penggalangan dana, panitia pembangunannya harus memperhatikan agar dilakukan dengan cara yang dibenarkan dalam Islam untuk mendapatkan dana yang benar-benar halal. Hal ini dikarenakan pada dasarnya Allah Taala tidak menerima sesuatu kecuali yang baik-baik. Sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
- Â
- . ( ).
- Â
- Â
- "Tidaklah shalat diterima tanpa bersuci dan shadaqah tidak diterima jika dari hasil ketidakjujuran". (H.R. Muslim).[55]
- Â
Sedangkan dalam praktik yang ada dalam pembangunan ulang masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja bahwa dana yang dihasilkan oleh panitia pembangunannya adalah dana yang sebagiannya dihasilkan dari hasil meminta di jalanan.sebagaimana hasil observai peneliti:Â - Masyarakat bergotong royong mencari dana pembangunan masjid yang dilakukan di jalanan, tepatnya di perbatasan Desa Palengaan Daja bagian timur yang dilakukan pada setiap hari Senin dan Jumat. Selain itu penggalangan dana di jalanan juga dilakukan setiap hari di Desa Palengaan Laok.[56]
- Â
Oleh karena itu hal tersebut merupakan hal yang tidak seharusnya dilakukan dalam mengumpulkan dana pembangunan sebuah masjid, dikarenakan dalam penggalangan dana pembangunan masjid yang dilakukan dengan cara meminta di jalanan memiliki beberapa sisi negatif, yang diantaranya:
Menganggu lancarnya perjalanan yang berlawanan dengan prinsip Islam dalam hal menghilangkan kemudharatan.- Meminta-minta merupakan hal yang kurang dan tidak selaras dengan hukum Islam, dimana dalam Islam ditentukan bahwa memberi lebih baik dari pada menerima.
- Menyalahi asas menjaga agama sebagai salah satu maqashid al-syariah, di mana  perbuatan tersebut terlihat bahwa Islam adalah agama yang rendah.
- Â
- Adanya imbalan yang diperoleh oleh para pelaku secara prosentase dari dana yang dihasilkan, yang pada dasarnya hal tersebut adalah dana yang diniatkan oleh pemiliknya untuk pembangunan masjid. [57]
- Â
- Selain itu, adanya penggalangan dana pembangunan masjid yang dilakukan dengan cara meminta di jalanan adalah pembungkusan aktivitas sosial atas nama agama. Di mana dengan adanya sisi negatif di dalamnya, terlihat baik karena dilakukan untuk mencari dana pembangunan suatu tempat ibadah yang disebut masjid. [58]
- Â Dari adanya sisi negatif tersebut, maka dalam pencarian dana pembangunan masjid agar tidak dilakukan dengan cara meminta di jalanan. Sehingga terselenggaranya pembangunan tersebut tidak ada hal yang dapat melecehkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin.Â
- Selain itu, dana yang digunakan dalam pembangunan ulang masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja adalah hasil penjualan benda wakaf berupa tiang masjid yang masih baru dibangun, yang pada dasarnya penjualan tersebut dimaksudkan agar benda yang dibeli oleh masyarakat menjadi wakaf penuh dari masyarakat yang membelinya. Hal ini sebagaimana hasil wawancara berikut:
- Â
- "Penjualan tiang masjid yang baru dibangun tersebut memang telah terjadi. Di mana dijualnya tiang tersebut untuk menambah dana dalam melanjutkan pembangunan dan semata-mata agar menjadi wakaf penuh dari orang yang membelinya. Adapun hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk membeli bahan lain untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal. Hal itu dilakukan oleh panitia pembangunan Masjid, yakni BLQ".[59]
- Â
- Pada dasarnya dari adanya hal yang demikian, praktik tersebut mengisyaratkan adanya seseorang yang membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali atas nama dirinya atau adanya sumbangan benda wakaf dari masyarakat yang membeli suatu benda, di mana pada dasarnya benda yang dibeli tersebut pada asalnya memang merupakan benda wakaf yang dihasilkan dari sumbangan masyarakat lainnya (untuk selanjutnya disebut dengan pengalihan nama waqif).Â
- Untuk mencari hukum dari adanya permasalahan tersebut, dapat dianalisis dengan cara bagaimana hukum Islam memandang transaksi yang digunakan sebagai sarana dalam pengalihan nama waqif itu sendiri. Di mana dalam hal ini transaksi yang digunakan adalah akad jual beli.
- Â
- Dalam hukum Islam, pada dasarnya penjualan benda wakaf merupakan hal yang dilarang. Hal ini didasarkan pada adanya hadist yang shahih, yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu:
- Â
"Dari Ibnu Umar, ia berkata: "Umar Radliyallahu Anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, kemudian menghadap pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya". Umar berkata: "Yaa Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang menurutku aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik dari pada itu". Rasulullah bersabda: "jika engkau mau, tahanlah asalnya dan sedekahkan hasilnya". Ibnu Umar berkata: "Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pokoknya tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan". Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkan hasilnya pada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada dijalan Allah, ibnu sabil, dan tamu". Tidak ada dosa bagi pengelolanya untuk mengambil hasilnya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat, namun dengan tidak menyimpannya."Â (H.R. Bukhori Muslim).[60]
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Umar mengartikan saran rasulullah tentang menahan benda dengan memberi syarat atas benda yang diwakafkan dilarang untuk dijual belikan, diwariskan dan dihibahkan. Sehingga dengan adanya larangan ini mengisyaratkan bahwa pengalihan nama waqif yang dilakukan dengan cara membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali oleh pembeli mutlak tidak diperbolehkan dalam Islam.
Namun dikarenakan suatu benda itu tidak selamanya akan utuh dan pasti mengalami kerusakan, maka dalam hal penjualan benda wakaf mash dipertentangkan oleh para ulama madzhab. Di mana dengan adanya pertentangan tersebut, menghasilkan banyak perbedaan pendapat antara madzhab yang satu dengan madzhab yang lainnya.[61]
Menurut pandangan jumhur ulama madzhab Syafi'i, mereka berpendapat bahwa menjual benda wakaf merupakan perkara yang dilarang dikarenakan yang diharapkan dari benda wakaf adalah kekekalannya.[62] Dimana mereka merupakan salah satu madzhab yang sangat ketat dalam menghukumi penjualan benda wakaf itu sendiri. Bahkan seperti apapun keadaan benda wakaf, tetap harus dibiarkan begitu saja sampai benar-benar habis dengan sendirinya.[63]
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan jumhur ulama madzhab Syafi'i tersebut tidak ada celah atas kebolehan untuk melakukan mengalihkan nama waqif dengan membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali atas nama dirinya.Â