Sehingga  praktik pengalihan waqif dengan membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali sebagaimana terjadi di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam pandangan ulama madzhab Maliki. Hal ini dikarenkan benda wakaf yang diperjual belikan berupa tiang masjid yang pada dasarnya berlaku atas benda tersebut hukum-hukum masjid.Â
Sebagaimana di jelaskan bahwa hasil sumbangan yang diniatkan untuk pembangunan masjid, maka atas hasil sumbangan tersebut telah berlaku hukum masjid meskipun dilakukan tanpa adanya shighat. [69]
Adapun dalam pandangan ulama madzhab Hambali, mereka berpendapat bahwa penjulan benda wakaf dapat dilakukan jika benda terebut sudah rusak, berkurang dan tidak memenuhi fungsinya sebagai benda wakaf atau tidak dapat diambil manfaatnya lagi oleh orang yang dituju dalam wakaf. Hal tersebut dilakukan dengan dibelikan benda lain dari hasil penjualan sebagai ganti dari benda wakaf yang dijual.[70]Â
Dari adanya pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan ulama madzhab Hambali masih memberikan celah untuk melakukan pengalihan waqif dengan membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali. Di mana hal tersebut dapat dilakukan pada benda wakaf yang rusak, berkurang dan tidak dapat memenuhi fungsinya lagi sebagai benda wakaf yang mungkin diperbaiki oleh pembeli untuk diwakafkan kembali.Â
Sedangkan yang terjadi di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja, benda wakaf yang diperjual belikan berupa benda yang tidak rusak dan juga tidak berkurang. Adapun tidak adanya manfaat yang dapat diambil karena hanya sebatang tiang yang tegak adalah hal yang bersifat sementara saja, di mana benda tersebut akan digunakan sebagai penyangga utama dalam pembangunan ulang masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja itu sendiri.
Oleh karena itu, praktik pengalihan waqif dengan membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali oleh si pembeli agar menjadi wakaf penuh darinya merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan dalamhukum Islam menurut pandangan ulama madzhab Hambali.
Terlebih lagi dalam pandangan sebagian ulama madzhab Hambali menyatakan bahwa penjualan benda wakaf berupa masjid merupakan perbuatan yang dilarang secara mutlak dalam Islam. Sebagaimana perkataan Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Ali bin Abu Said bahwa penjualan benda wakaf berupa masjid adalah transaksi yang dilarang.[71].
Adapun dalam pandangan ulama madzhab Hanafi, pengalihan waqif dengan membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali atas nama orang yang membelinya adalah sesuatu yang diperbolehkan. Hal ini sebagaimana dalam mereka bahwa penjualan benda wakaf dapat dilakukan oleh siapa saja, baik bendanya rusak atau tidak tetapi ada ganti yang menjanjikan, baik disyaratkan oleh waqif atau tidak disyaratkan oleh waqif, atau waqif tidak menyinggung sama sekali.[72]
Sehingga dengan adanya pendapat tersebut, ulama madzhab Hanafi lebih memberikan keleluasaan pada seseorang untuk melakukan pengalihan nama waqif dengan cara membeli benda wakaf untuk diwakafkan kembali atas nama dirinya, baik itu benda wakaf yang dibeli rusak atau tidak rusak tetapi ada benda lain atau ganti lain yang menjanjikan.
Praktik pengalihan nama waqif yang terjadi di masjid Istiqlal Desa Palengaan Daja merupakan transaksi yang diperbolehkan dalam hukum Islam menurut pandangan ulama madzhab Hanafi.Â
Hal ini dikarenakan dijualnya benda wakaf berupa tiang masjid memiliki ganti yang menjanjikan yang bisa digunakan sebagai bahan tambahan dalam menyelesaikan pembangunan masjid Istiqlal itu sendiri. Di mana hasil dari penjualan tersebut digunakan sebagai dana untuk membeli bahan dalam melanjutkan pembangunan masjid itu sendiri, yakni meneruskan pemasangan bata, lantai atas dan lain sebagainya.