Malam ini mirip sekali dengan malam itu. Tempatnya memang beda. Tapi suasana batinku sama. Gamang. Seperti ada ancaman tapi tanpa kutahu apa. Remang yang seakan memelukku, menghangatkan rindu akan sesuatu yang wujudnya tak terlihat tapi terasa akrab.
Itu malam kedua di tahun 1943. Aku baru saja tamat Sekolah Rakyat. Belum genap 12 tahun umurku. Itu membuat banyak guru menyayangiku. Tapi juga membuat banyak kawan membenciku. Karena aku keturunan Tionghoa. Mereka semua pribumi. Kata mereka, aku membuat mereka semakin kelihatan bodoh. Aku membuat orang-orang pribumi makin tidak ada arti di mata Jepang. Memang, seharusnya aku tidak masuk SR. Mestinya aku masuk sekolah khusus orang Tionghoa. Itu anjuran keluarga besarku. Tapi tidak dengan Papa.
Tidak seperti kebanyakan pria Tionghoa, Papa lebih memilih menjadi guru ketimbang berdagang. Itu pun di Sekolah Rakyat tempatku juga bersekolah, bukan di sekolah Tionghoa. Itu yang membuat Mama selalu gusar. Karena pendapatan keluarga jelas jadinya hanya pas-pasan. Hanya cukup untuk makan dan kebutuhan rutin. Tidak bisa bermewah-mewah. Tidak bisa pelesiran. Padahal, gaya hidup Mama dan dua kokoku termasuk boros. Mereka gemar beli makanan di restoran, pergi ke tempat dansa, dan menonton bioskop.
Tapi yang paling membuat Mama dan keluarga besar gerah adalah pergaulan Papa. Ia jarang berkumpul dengan sesama Tionghoa. Menghadiri pertemuan keluarga besar kami saja hanya kadang-kadang. Malah hampir seluruh waktu luangnya dihabiskan bersama orang-orang pribumi. Buat keluarga, itu aib. Keluargaku seperti juga keluarga Tionghoa kebanyakan, menganggap golongan Tionghoa dan orang-orang dari Asia seperti orang Arab, India, apalagi Jepang, lebih tinggi derajatnya ketimbang pribumi, walau memang lebih rendah dibanding bangsa kulit putih.
Juga malam itu. Biasanya, paling telat jam 9 Papa sudah di rumah. Tapi kala itu sudah jam 11 belum juga pulang. Mama mengoceh terus. Sampai menggemeresek gendang telingaku. Tidak ada kesan kuatir. Yang ada cuma kekesalan yang terus-terusan diomelkannya. Hanya satu detik, aku geli melihatnya. Dia menyerocos sendiri sambil mondar-mandir, sedangkan aku di kamar, dan koko-kokoku asyik gila-gilaan dengan kartu domino mereka di bangku depan. Tapi detik berikutnya, aku kembali dirundung gelisah.
Gelisah itu yang tak kumengerti, apa pasalnya....
Tapi itu tidak sempat menekan lebih lama lagi. Sebab, beberapa menit kemudian, pintu depan digedor keras sekali. Aku terlonjak. Bahkan sampai terpekik pelan. Keributan pecah di ruang tamu. Aku takut sekali. Air mata berhamburan. Dengan sangat gemetar, aku mengintip.
Papa?! Tapi... kenapa ia ngos-ngosan hebat begitu...? Kenapa ia terlihat ketakutan seperti habis melihat setan...??
Di luar terdengar suara berteriak-teriak. Jepang...!! Celaka! Ada apa ini?! Pintu kembali digedor sangat keras. Aku membeku! Tapi masih sempat ada rasa puas melihat muka Mama yang bagai mayat saking ketakutan.
Tahu-tahu, daun pintu hancur dan pecah ke dalam. Mereka mendobraknya!... Seorang prajurit Jepang bertubuh besar masuk. Dia berteriak-teriak dalam bahasa Jepang sambil menodong-nodongkan senapan. Koko-kokoku menunduk ketakutan dan menangis. Mama juga meraung-raung. Marah-marahnya tidak berbekas, diganti tangis kengerian yang hebat, dan dia jatuh bersimpuh di kaki si prajurit. Sejurus berikutnya, menyerbu masuklah teman-teman si tentara. Semua bertampang sangar.
Seorang dari mereka mendekati Papa, yang saat itu terlihat tetap tenang, sekalipun wajahnya memucat. Orang itu tampak beda dengan kawan-kawannya. Seragamnya berbeda. Dia tidak membawa senapan. Hanya pistol di genggamannya. Wajahnya juga tidak sesangar yang lain. Malah tampak halus seperti wajah orang-orang ningrat.
Orang itu berbicara bahasa Indonesia. Aku kaget, karena suaranya terdengar merdu dan lembut. Ia menyebutkan sebuah nama, lalu bertanya apakah Papa orang yang dimaksud. Itu memang nama Papa. Dan Papa mengakuinya.
Sedang ia berbicara dengan Papa, serdadu-serdadu yang lain tidak bergerak dan tidak bersuara. Mereka amat menghormatinya.
Selesai dengan Papa, dia memberi perintah dalam bahasa Jepang. Beberapa dengan kasar mengikat tangan dan kaki Papa, Mama, dan Koko-koko. Sementara yang lainnya menggeledah ke sana-kemari.
Aku benar-benar ngeri.... Pandanganku berkabut saking derasnya air mata....
Tiba-tiba, tanpa sempat aku menutup pintu kembali sehabis mengintip, tiga orang prajurit menghambur masuk kamarku. Ketika melihatku, pandangan mereka seperti kucing melihat ikan asin. Refleks, aku menarik selimut dari atas kasur, hendak menutupi tubuhku yang serasa digerayangi oleh pandangan bernafsu mereka.
Mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa Jepang. Kemudian terkekeh-kekeh. Salah seorang menyelendangkan senapannya. Lalu mendekatiku. Aku menarik selimut lebih tinggi dan lebih rapat. Tapi secepat kilat ia merenggut selimutku. Seorang temannya bersiul sambil mengatakan sesuatu. Ketiganya terbahak-bahak. Aku menengkurap di atas kasur.
Mendadak si penarik selimutku menjatuhkan diri ke atasku!... Aku menjerit keras-keras.... Dia membekam mulutku dengan satu tangan, tangan lainnya menggerayangi tubuhku.... Dia menciumi leherku secara membabi-buta....
Aku jijik sekali! Aku dicekam takut yang luar biasa, tapi reaksiku justru bisa lebih membahayakan. Kugigit kuat-kuat tangannya yang menutup mulutku....
Tamparan yang begitu keras mendarat di pipi kiriku.... Telingaku berdenging kencang sekali.... Pandanganku berkunang-kunang.... Asin darah terasa mengalir di bibir....
Dari sudut mata, kulihat orang itu cepat-cepat menurunkan senapannya sembari berteriak-teriak. Dua temannya mengokang senapan mereka juga.
Aku terpaku.... Ujung bayonet senapan itu mengarah ke mukaku!... Dia mau menusukku, entah di sebelah mana...!
Aku hanya mampu memejam dalam-dalam.... Matilah aku!!!...
Hardikan keras menggema. Kubuka mata. Si tentara yang mencoba memperkosaku tiba-tiba saja berubah total, mengerut menjadi seperti anjing yang dibentak majikannya, sembari buru-buru melepaskanku dan bangkit dari kasur!... Dua yang lainnya sama juga, merunduk rendah-rendah, bahu mereka mendadak kuyu.
Aku menoleh ke arah datangnya suara hardikan. Ternyata orang tadi, yang berbicara dengan Papa!
Dia menanyakan dalam bahasa Indonesia apakah aku tidak apa-apa. Aku hanya bisa mengangguk. Dia mengeluarkan saputangan, menyekakannya lembut ke bibirku yang berdarah.
Saat itu, matanya beradu dengan mataku.... Beberapa detik aku terpana.... Ada suasana "hijau" di sana.... Menyejukkan.... Tenteram dan aman seolah terjanji....
Aku tersadar. Kualihkan pandangan ke arah lain.
Sembari tetap membersihkan lukaku, dia mengatakan sesuatu kepada ketiga serdadu tadi. Nadanya tegas, tajam memerintah. Ketiganya terbirit-birit keluar.
Dia berkata kepadaku bahwa dia harus membawaku. Lalu aku dibimbingnya dengan sikap lembut. Dia bertanya, apa aku sanggup berjalan sendiri. Aku kembali hanya mengangguk.
Dia menuntun tanganku. Tangannya tetap menggenggamku sepanjang perjalanan. Juga waktu kami digiring menaiki truk. Keluargaku disuruh duduk di belakang. Sedangkan aku ditempatkan di kabin, di tengah-tengah antara dirinya dan tentara yang menyupir.
Sejak itu, hidupku tak pernah sama lagi. Aku harus rela meninggalkan sekolah. Rencananya, Papa akan memasukkanku ke sekolah menengah. Mimpiku sederhana. Hanya ingin menjadi guru, seperti papaku. Jadi aku sudah minta Papa untuk mendaftarkanku. Tapi setelah penawanan itu, aku tidak tahu apakah itu bisa kesampaian atau tidak.
Truk menyusuri gelapnya malam. Udara Jakarta tidak biasanya, kali itu agak dingin. Apakah ia bersimpati pada pikiranku yang kusut bukan main?
Dalam hati aku berdoa, kiranya kami semua tidak diapa-apakan. Tapi Tuhan pasti tahu, doaku bisa dibilang hanya setengah jalan. Tak ada kepastian dalam hatiku apakah doaku didengar apa tidak. Apalagi dijawab....
Di markas, Papa langsung digiring ke belakang, yang kemudian baru kutahu adalah tempat tahanan khusus untuk tawanan perang atau pemberontak. Mama dan kedua kokoku dibawa masuk ke gedung utama. Aku tak sempat tahu mereka selanjutnya diapakan. Karena kemudian, aku dibawa orang Jepang yang tadi menyelamatkanku dengan sebuah sedan ke Cipanas. Di situ ada rumah, yang belakangan kutahu merupakan bekas tempat peristirahatan seorang Belanda mandor perkebunan teh.
Orang Jepang itu menjelaskan, dia sengaja membawaku bersembunyi supaya terhindar dari amukan nafsu para serdadunya. Dia tidak bisa menjamin keselamatanku kalau aku di markas, sebab dia tidak selalu ada di sana.
Padahal, aku sendiri sudah bersiap-siap, karena siapa tahu, dia sendiri yang hendak melampiaskan nafsunya padaku....
Tapi selama beberapa hari di sana, ternyata dia tidak juga menyentuhku. Namun aku tak mengurangi kewaspadaan. Apa pun bisa terjadi sewaktu-waktu.
Tapi yang lebih aneh justru perasaanku sendiri. Lega ada, kesucianku tak ternoda. Tapi juga marah! Terhina.... Aku kembali merasakan penolakan.... Lagi-lagi aku disakiti rasa tak berharga.... Tidak dianggap.... Seperti sampah, aku merasa diriku ini!...
Namanya Yurihiro Matsuda. Dia marah sewaktu aku memanggilnya 'Tuan'. Itu panggilan untuk orang kulit putih, katanya. Untuknya, dia ingin disapa secara Jepang. Matsuda-san. Dia seorang Kempei Tai. Dinas rahasia Jepang. Ia menjelaskan, Kempei Tai punya kekuasaan yang jauh melebihi angkatan perang. Pangkatnya sendiri mayor. Tapi seorang jenderal angkatan darat atau laksamana angkatan laut akan membungkuk-bungkuk jika berhadapan dengannya.
Pantas saja, para serdadu itu takut sekali padanya....
Aku tak tahan. Sebenarnya aku tidak berani. Tapi hatiku mendorongku terus. Akhirnya, kutanyakan juga nasib keluargaku pada Matsuda-san. Dia bilang, mereka aman. Pengaruh Matsuda-san yang begitu besar dipakainya untuk melindungi Papa, Mama, dan Koko-koko dari ancaman hukuman berat.
Lalu aku makin nekad. Kutanyakan, apa sebenarnya kesalahan kami. Dia tersenyum. Kesalahanku memang tidak ada, jelasnya. Tepatnya, Papa-lah yang dianggap berbahaya oleh Jepang. Kempei Tai sudah lama mengincar Papa. Aku hampir tak percaya mendengar cerita Matsuda-san. Ternyata, Papa aktif dalam gerakan bawah tanah. Bahkan, dia adalah salah seorang pemimpin paling berpengaruh bagi para pejuang Indonesia.
Aku ngeri mendengarnya...! Tapi sekaligus teramat kagum! Papa?! Pemimpin pergerakan pejuang orang Indonesia?? Seorang Tionghoa memimpin pemberontakan kaum pribumi?!...
Rupanya, malam itu, Papa sedang mengadakan pertemuan dengan para pemimpin pejuang. Namun dalam perjalanan pulang, dia akhirnya berhasil ditemukan regu yang dipimpin Matsuda-san, yang memang tengah mengintainya. Papa bersama dua rekannya nyaris bisa ditangkap. Tapi mereka berhasil lolos juga. Namun, saat Papa mengira para pemburunya sudah tidak bisa lagi mendeteksinya, dia lengah. Sesudah sampai di halaman rumah, dia baru sadar, para pemburunya berhasil mencium jejaknya. Dugaanku, mungkin saat Papa menggedor pintu, dia bermaksud menyuruh kami buru-buru lari. Tapi terlambat.
Tapi Matsuda-san menjelaskan lagi, dia tidak bisa selamanya membela Papa. Kalau bukan karena aku, dia takkan membiarkan nyawa Papa bertahan barang sejam saja setelah tiba di markas malam itu. Bahkan, Matsuda-san bilang, dia sendirilah yang punya hak untuk membunuh Papa...!
Aku bergidik.... Tapi aku tak rela papaku dibunuh...! Tidak!! Jadi kutanyakan lagi, mengapa tidak dilakukannya. Ia menjawab dengan jawaban yang sama. Dia memandangku. Saat kutanya apa maksudnya, dia tidak mau menjawab. Malah kelihatannya dia mulai marah. Aku pun menunda penasaranku. Mungkin pada saatnya nanti, aku harus cari tahu, aku bertekad....
Beberapa hari kemudian, kutanyakan lagi. Cuma, kali itu dengan pendekatan berbeda. Kutanya, kalau selain dia tidak ada lagi yang berhak membunuh pemberontak, kenapa nyawa papaku masih terancam. Dia tertawa. Katanya, dia tahu arah pertanyaanku. Ternyata dia sangat cerdas dan cerdik...! Dari cerita-ceritanya, aku maklum, seorang Kempai Tai jelas harus orang istimewa. Kepandaian, kemampuan, dan segalanya harus ada di atas rata-rata tentara biasa.
Akhirnya dia berterus-terang. Selain dirinya, yang berhak membunuh tawanannya cuma dua orang. Yang satu kaisar. Satu lagi adalah komandan tertingginya, Kepala Kempei Tai. Di luar itu, tidak ada. Bahkan orang selevel perdana menteri pun tidak!
Masalahnya, dalam beberapa hari mendatang, Kepala Kempei Tai akan tiba di Jakarta. Saat itu dia masih dalam perjalanan, tertahan di Formosa.
Tidak ada masalah bagi Matsuda-san kalau sang kepala tahu penundaan hukuman mati itu. Bahkan juga tidak bagiku, Mama, dan koko-kokoku. Tapi yang pasti, Papa akan dibunuhnya di tempat dia mendengar berita itu, dan saat itu juga!...
Tangisku meledak. Pandanganku akan hari depan mendadak gelap.... Apa jadinya aku tanpa Papa??... Aku tak bisa kehilangannya!! Dia satu-satunya yang kumiliki...!
Matsuda-san menenangkanku. Katanya, dia sudah menyusun rencana untuk menyelamatkan papaku. Tapi dia bilang lagi, untuk itu, dia perlu bantuanku. Malah, apa yang akan kulakukan nantilah yang menentukan apakah Papa masih mungkin ia selamatkan atau tidak.
Aku langsung bertanya apa itu. Matsuda-san berkata, dia akan menceritakannya nanti. Sekarang, katanya, pertama-tama dia harus tahu dulu apakah aku yakin dan bersedia melakukan rencananya atau tidak. Jelas aku langsung mengiyakan tanpa ragu! Dia berkata, aku harus bersiap-siap saat itu juga, karena jam 2 tengah malam nanti kami sudah harus berangkat ke Karawang. Di sanalah Matsuda-san akan memaparkan seluruh rencananya.
Di Karawang, dalam sebuah rumah rahasia Matsuda-san yang lain, ia mulai menjelaskan. Aku mendengarkan dengan seksama.
Tanggal 9 Maret, sudah semenjak jam 5 sore aku menunggu dengan tak sabar di rumah Karawang. Akhirnya, menjelang jam 8 malam, mobil Matsuda-san masuk. Aku langsung berdiri di pintu, menanti.... Matsuda-san keluar dari sedannya. Pintu mobil di sisi yang berlawanan membuka. Seseorang turun....
Papa...!!!
Aku langsung turun dari teras, menghambur ke pelukan Papa. Kutumpahkan seluruh rindu dan cemasku dalam banjir air mata di dada Papa yang menjadi lebih tipis dari sebelumnya akibat berat badannya yang tampak jelas menurun drastis....
Aku puas...!! Rencana Matsuda-san berjalan mulus. Dia memang sudah profesional sekali dalam bidangnya. Dan aku puas juga karena berhasil melakukan tugasku, sehingga sekarang Papa bebas.
Setelah beberapa jenak, barulah aku lega. Tapi aku tertegun.... Mana Mama dan Koko-koko??...
Matsuda-san langsung menjelaskan, Mama dan kedua kokoku sudah diamankan di suatu tempat, masih di dekat-dekat Karawang juga. Dan dia segera menambahkan, Papa pun harus buru-buru ia bawa ke suatu tempat persembunyian, langsung saat itu juga, tidak boleh menunggu, sebab keadaannya sedang genting.
Kupeluk erat lagi Papa. Kucium kedua pipinya. Papa mencium keningku lalu mengingatkanku untuk hati-hati.
Setelah itu, Matsuda-san kembali membawa mobilnya pergi. Bersama Papa.
Inilah yang sebenarnya terjadi. Matsuda-san berencana akan melakukan penangkapan besar terhadap segerombolan pemberontak pribumi. Mereka bukan dari kalangan bawah tanah seperti Papa. Mereka kaum ulama dan santri yang bermarkas di Karawang. Jumlah mereka besar. Sekitar seribu orang. Karena ini adalah operasi penangkapan, bukan operasi pembasmian, maka diperlukan tentara dalam jumlah yang besar. Jadi, Matsuda-san bersiasat, hendak mengerahkan seluruh tentara dari markas di Jakarta, tempat keluargaku dipenjarakan. Saat markas sedang kosong itulah Papa, Mama, dan Koko-koko akan dibebaskan.
Tugasku ialah menyamar sebagai pedagang pakaian di sebuah pasar yang berada tak jauh dari tempat para santri dan ulama itu berkumpul. Pasar itu memang banyak diisi pedagang Tionghoa. Di situ dalam waktu singkat aku harus dapat menjalin hubungan yang lumayan akrab dengan para perempuan yang notabene adalah isteri para santri dan ulama tersebut. Kemudian, aku harus menghembuskan desas-desus akan adanya pengerahan orang-orang pribumi lagi untuk dijadikan tenaga romusha dan milisi cadangan.
Tugas yang sepertinya mudah dan sederhana, tapi Matsuda-san menegaskan, sesungguhnya itu sangat berbahaya. Sedikit saja para isteri curiga, mereka akan langsung menghubungkanku dengan Jepang. Sebab memang sudah banyak mata-mata Jepang yang terungkap identitasnya di sana. Dan nasib mereka bisa dikatakan sangat mengenaskan, dihakimi oleh massa yang mengamuk, tanpa peduli mata-mata itu laki-laki atau perempuan....
Sebelumnya, aku mendapat didikan kilat dari Matsuda-san. Dia menggemblengku dalam banyak bidang, seperti metode persuasi, cara mengenali mata-mata lawan, cara mengenali pembuntut, dan cara menghindarkan diri dari si pembuntut. Dan masih banyak lagi. Malah Matsuda-san juga sempat selama 3 hari memberi latihan fisik seperlunya padaku.
Itulah titik balik hidupku. Semenjak itu, aku terus melakukan tugas spionase membantu Matsuda-san. Kalau tugasku yang pertama didorong oleh keinginan untuk membebaskan keluargaku, tugas-tugas selanjutnya dipicu oleh dendamku pada para pribumi, orang Indonesia! Mereka tidak menerimaku, bahkan memperlakukanku sangat buruk, mentang-mentang aku Tionghoa! Yang lebih parah, statusku sebagai orang Kristen lebih lagi menjadi bahan kebencian mereka, yang mayoritas adalah Islam.
Aku tidak menyangkal, lebih banyak sebenarnya orang Indonesia yang toleran dan tetap bersikap baik terhadapku. Tapi perlakuan kejam sebagian lain dari mereka yang mendiskriminasiku kurasa tidak seimbang dengan perlakuan baik yang kuterima!
Tapi bukan cuma kepada orang pribumi Indonesia saja aku mendendam. Pada sesamaku orang Tionghoa pun aku mendendam!
Aku banyak bergaul dengan orang-orang pribumi, sebetulnya. Sama dengan Papa, temanku lebih banyak yang pribumi dan Islam ketimbang yang Tionghoa dan Kristen atau Konghucu. Itu karena sekolahku di SR. Karena itulah, orang-orang Tionghoa justru lebih kejam lagi memperlakukanku! Kata-kata mereka menganiayaku!
Aku terus memata-matai orang pribumi. Banyak rencana pemberontakan yang dapat digagalkan Matsuda-san berkat bantuanku. Matsuda-san memujiku. Ia bilang, aku punya bakat alami yang luar biasa dalam bidang spionase.
Suatu hari, aku terkejut melihat Matsuda-san ketika pulang dari dinas. Saat itu, aku sedang berada di Cipanas, karena Matsuda-san memutuskan untuk memberiku libur dulu, walaupun aku sebenarnya tidak butuh libur.
Wajahnya pucat. Jalannya gontai. Dan dia tidak setegap biasanya. Padahal, paginya sewaktu pergi, dia masih tidak apa-apa....
Kutanyakan ada apa. Dia memberi isyarat tidak hendak diganggu dulu. Baik. Aku menunggu seraya menemaninya duduk.
Akhirnya, dia bercerita. Tanda-tanda kekalahan Jepang sudah makin jelas. Pulau Iwo Jima sudah jatuh ke tangan Amerika Serikat. Bahkan pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat sudah mulai berterbangan mendekati kepulauan Jepang. Itu tandanya, kapal-kapal induk Amerika sudah dekat sekali. Mereka mungkin akan menyerang langsung ke negeri Jepang.
Mulai saat itu, Matsuda-san sudah tidak seperti sebelumnya. Penampilannya tidak kembali tegap. Wajahnya selalu murung. Ia makin sensitif dan cenderung pemarah. Ia makin jarang pulang. Kalau pulang, keadaannya semakin menyedihkan. Kerap dia pulang dalam keadaan mabuk.
Dan suatu saat, aku terheran-heran kembali. Dia pergi masih dalam kondisi suram. Tapi pulangnya, dia mendadak kembali pulih: tegap, berwibawa, bersinar-sinar!
Aku bertanya, apakah ada kabar yang sangat menggembirakan. Apakah Jepang terbebas dari serangan Amerika? Atau meraih kemenangan entah di medan mana? Dia hanya tersenyum, namun tak menjawab.
Kulihat dia mengambil sake. Dia selalu mengambilnya sendiri, tidak pernah satu kali pun dia menyuruhku. Dalam hal apa pun. Dia pernah bilang, wanita yang boleh melayani lelaki Jepang itu hanya 3: isteri atau selir, budak atau pembantu, dan anak. Karena aku bukan selirnya, bukan isterinya, dan bukan anaknya, dan dia juga tidak menganggapku pembantu, maka dia melarangku melayaninya. Tak pantas, katanya. Mengurangi kehormatan wanita, tambahnya lagi.
Lalu dia masuk kamar. Tapi naluriku langsung awas! Pengalamanku selama 2 tahun menjadi mata-matanya membuat kepekaan indera bahayaku terlatih. Perlahan, kudekati kamarnya. Kusingkap gorden sedikit.
Aku terbelalak...!
Matsuda-san duduk di lantai membelakangi pintu. Dia memakai kimono. Ia memandangi sejenak pisau di genggamannya. Dia menggenggam pisau itu dengan dua tangan, kemudian mengangkatnya di atas kepala. Saat itu aku tersadar, dia mau bunuh diri!
Aku berteriak.... Menghambur masuk ke dalam.... Kutahan dua tangannya semampuku....
Dia berteriak-teriak dalam bahasa Jepang. Dia meronta. Aku terlontar. Kepalaku terbanting di lantai. Pusing terasa. Tapi sebenarnya tidak apa-apa. Namun, Matsuda-san menjadi tersadar. Dia segera menghampiriku. Memapahku. Lalu membawaku ke kamar. Sesudah itu dia keluar. Kembali dengan mangkok dan handuk. Mengompres belakang kepalaku. Aku sudah bilang tidak apa-apa, tapi dia bersikeras menyuruhku untuk tidak banyak bergerak.
Setelah melihat aku sudah tidak apa-apa, dia minta maaf berulang kali. Lalu menangis....
Kupeluk dia erat-erat. Kutanya kenapa dia sampai nekad mau melakukan itu. Dia melepas pelukanku. Menatapku sembari tersenyum.
Benar-benar keindahan yang dalam seolah terpancar keluar dari bening matanya...! Sebening air hujan yang menetes ke bumi, yang menumbuhkan harapan tunas akan adanya masa depan bagi dunia.... Aku dapat melihat derita yang amat dalam.... Tapi itu derita yang begitu cantik!... Pernahkah lara akan sanggup menjadi seelok itu?...
Aku selalu saja refleks membuang muka manakala mata itu menatapku. Tak pernah aku habis pikir, bagaimana mungkin selama dua setengah tahun seorang pria hidup seatap dengan seorang perempuan remaja tapi tahan untuk tidak menyentuhnya. Apalagi kalau mengingat laki-laki ini seorang tentara. Jepang pula!
Pernah kutanyakan itu padanya. Dan senyum seperti saat inilah yang selalu diberikannya sebagai jawab....
Pernah memang beberapa kali dia kudapati menatapku dengan pandangan lain. Pandangan laki-laki. Penuh keinginan untuk terpuaskan. Tapi tiap-tiap kali dia hanya menggertakkan gigi, kemudian bergegas berlalu.
Dengan bercanda, dia mengataiku 'gadis tolol', dengan logat Jepang-nya yang lucu. Lalu katanya lagi, dia melakukan itu bukan karena nekad. Bagi laki-laki Jepang, terutama dari kalangan bushido, pendekar, melakukan bunuh diri adalah simbol kehormatan. Aku tidak mengerti, bagaimana tindakan putus asa bisa menjadi simbol kehormatan. Kembali dia tertawa.
Kutanya lagi, apa masalahnya sampai dia mau 'mati terhormat' begitu. Wajahnya mendadak serius. Tapi dia tidak lagi murung. Dia berkata, Amerika sudah masuk sampai ke jantung Jepang. Bukan hanya itu, tambahnya, 'burung-burung' mereka melepaskan maut. Bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Aku tak tahu, apa itu bom atom. Kalau bom yang biasa dijatuhkan dari pesawat tempur, aku sudah sering melihatnya. Sangat mengerikan...! Melihat cara bercerita Matsuda-san, sepertinya bom atom itu jauh lebih dahsyat daripada bom biasa. Ia menjelaskan, bom atom itu kekuatannya seribu kali bom biasa. Saat itu, kota Hiroshima sudah rata dengan tanah. Penduduknya puluhan ribu mati.
Aku menggigil. Dia mengelus kepalaku. Kata-kata berikutnya terdengar pahit meski ia mengucapkannya sembari tersenyum. Katanya, aku saja yang bukan orang Jepang merasa begitu. Apalagi dia, yang orang Jepang. Apalagi, dia punya banyak kerabat di kota itu. Sungguh malu yang luar biasa baginya sebagai kesatria, tidak bisa mencegah malapetaka hingga menimpa tanah airnya.
Aku memintanya, apa pun yang terjadi, dia harus berjanji padaku untuk tetap hidup, jangan bunuh diri. Dia terbahak-bahak. Lega rasanya mendengar dia bisa terbahak seperti itu. Dia berjanji. Demi aku, tegasnya.
Selama tiga hari, walau mukanya suram, sikap tegapnya sudah tetap pulih. Tapi sore itu, ia kembali runtuh...! Aku kaget, dia meledak dalam tangis!... Baru kali itu aku melihatnya menangis demikian pilu. Melihatnya seperti itu, aku tak berani bertanya-tanya dulu. Duka yang dirasakannya kali ini terlihat sangat berat.
Besoknya, Matsuda-san jatuh sakit. Dia sampai mengigau gara-gara demam tinggi. Aku panggilkan dokter dari markas. Saat itu, aku sudah kembali ke Jakarta. Tapi aku tidak berkumpul dengan keluargaku karena mereka masih dalam persembunyian, takut pada Kempei Tai yang masih mengancam. Jadi, karena sudah di Jakarta, aku bisa memakai radiogram yang ada di rumah dinas untuk memanggil dokter militer.
Aku tidak terancam diganggu lagi. Para serdadu angkatan darat yang waktu malam itu bersama Matsuda-san menangkap kami sudah tewas dalam pertempuran dengan Amerika, kata Matsuda-san, saat mereka ditarik menjadi bala bantuan di Iwo Jima.
Kata dokter, Matsuda-san menderita flu berat. Dia harus beristirahat paling sedikit lima hari. Tidak boleh dinas dulu. Selain kondisi fisiknya tidak mungkin, takutnya penyakit itu juga menular pada banyak prajurit. Padahal, di saat keadaan Jepang yang kritis seperti ini, tenaga satu serdadu sangat berarti.
Aku merawat Matsuda-san dengan telaten. Ada rasa hangat di hatiku saat itu....
Malamnya, ia mau bercerita. Bom atom kembali dijatuhkan. Kali ini di Nagasaki, kota industri yang besar.
Aku menyatakan ikut prihatin. Dan memang, aku tulus merasa prihatin. Selama ini, aku menghindari jatuhnya korban jiwa saat tugasku sebagai mata-mata Matsuda-san. Terang-terangan aku mengatakan itu padanya. Jika suatu tugas kupikir dapat membahayakan satu saja nyawa, aku akan menolaknya. Aku hanya mau menjalankan spionase yang hanya mengakibatkan penangkapan saja. Tidak lebih. Dia mengerti dan bisa menerimanya.
Aku sendiri tidak pernah mengerti. Dendamku begitu membara. Tapi semakin bernafsu rasa pembalasanku, semakin besar pula hasratku untuk melihat mereka menjadi baik dan mengalami yang baik...!
Itu bukan cuma pada orang-orang pribumi dan Tionghoa. Pada Mama pun begitu.
Dia sangat kejam padaku. Dia membenciku. Aku dianggapnya anak pembawa sial. Aku selalu dikatainya anak sial. Itu karena setelah melahirkanku, rahimnya harus diangkat sehingga tidak bisa lagi punya anak. Padahal, tradisi kami mengatakan: banyak anak, banyak rejeki! Dengan kejadian itu, keluargaku jadi hanya punya 3 anak. Suatu aib buat mereka. Karena harusnya, satu keluarga paling sedikit harus punya setengah lusin anak. Enam.
Kebenciannya lebih dalam lagi manakala setelah aku besar, dia melihat rupa fisik dan sifatku semuanya mewarisi Papa. Tidak satu pun kemiripan fisik dan sifatku dengan Mama. Beda dengan kedua kokoku. Mereka berdua itu duplikat Mama habis-habisan!
Ditambah lagi, aku anak perempuan, yang dianggap tidak berarti.
Dan semua itu tidak akan terjadi jika tidak ada pemicunya. Tabiat Mama yang kasar dan tidak tahu menghargai orang itu yang justru mengolah ketidaksukaannya padaku menjadi kebencian yang sangat membuatku menderita.
Dan, jujur, aku pun membencinya! Sangat!!
Tapi ya itu! Tambah benci aku sama Mama, tambah besar keinginanku melihatnya menjadi baik dan memperoleh yang baik! Sampai saat ini, Papa dan Mama serta koko-kokoku masih di persembunyian. Tapi tidak pernah satu hari terlewat olehku untuk mencari informasi tentang kabar mereka. Juga menitipkan surat, makanan, bahan makanan, atau berbagai kebutuhan lainnya untuk mereka. Hanya Papa yang rutin memberi kabar padaku, meski sekadar surat untuk mengucapkan terimakasih. Koko-koko ada juga menyuratiku, walau jarang sekali.
Tapi Mama...??! Tak pernah satu kali pun!!
Namun, justru aku makin giat dan gencar lagi memperhatikannya dan ingin memenuhi segala kebutuhannya dengan yang baik...!!
Maka, tak heran, kini pun, aku jadi makin hebat memperjuangkan kebaikan para pribumi Indonesia, dan juga orang-orang Tionghoa yang membenciku. Dan yang kubenci juga...!
Belum juga lima hari, baru 4 hari, Matsuda-san sudah bersikeras hendak berdinas juga. Aku menahannya dengan sia-sia. Semakin kutahan, malah semakin kuat tekadnya!
Tapi tiba-tiba jam 3 siang dia pulang...!
Kukira, ada yang tertinggal. Karena itu, alangkah kagetnya aku waktu dia turun dari mobil. Wajahnya makin pucat, dari yang tadinya memang masih pucat karena belum pulih benar dari flunya. Namun, yang membuat miris itu gaya jalannya. Bukan saja tidak tegap, tapi jadi bungkuk, seperti orang sakit paru-paru!
Aku bisa membaca satu berita duka lagi di wajahnya. Benar saja. Kali ini, dia langsung bercerita.
Kaisar Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu...!!!
Bisa kupahami, betapa dahsyatnya itu memukul harga diri bangsa Jepang! Sang kaisar, sang putera Amaterasu, menyatakan menyerah??!! Benar-benar tidak terbayangkan oleh mereka!
Besoknya, pagi-pagi benar, Matsuda-san memanggilku. Ada 2 hal yang ingin diutarakannya, katanya.
Pertama, dia memintaku melakukan satu misi lagi. Misi terakhir. Benar-benar terakhir, katanya. Tapi ini permintaan, bukan kewajiban seperti misi-misiku sebelumnya. Tugasku kali ini adalah mencegah kabar penyerahan Jepang itu terdengar rakyat Indonesia. Jepang takut, kalau orang Indonesia tahu Jepang sudah kalah perang, keberanian mereka akan beratus kali lipat besarnya. Sebelum Sekutu datang untuk melucuti, mereka dulu yang akan memaksa melucuti persenjataan Jepang dan memakainya untuk membalas dendam pada penjajah mereka itu. Selain itu, aku juga ia minta untuk mencari tahu apakah desas-desus akan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh para pemukanya itu benar atau tidak. Kalau benar, di mana dan kapan rencananya.
Kedua, dia mengatakan padaku bahwa dia akan pulang ke Jepang besok paginya. Dia berkata, aku tidak usah kuatir. Dalam beberapa hari, Papa, Mama, dan Koko-koko sudah bisa dibawa keluar dari persembunyian, sebab seluruh Kempei Tai akan ditarik pulang ke Jepang, yang akhirnya berakibat harus pulangnya juga Matsuda-san. Sedangkan aku bebas memilih, mau tetap tinggal di rumah yang sekarang, atau mau ikut pulang ke rumah keluargaku.
Air mataku spontan memecah!... Aku bagai ayam kehilangan induk.... Sekian lama bersama, kemudian dipisahkan, benar-benar menyakitkan...!
Ia terdiam. Tak ada tawa....
Siangnya, aku langsung pergi menuju misi terakhirku. Misi yang diminta Matsuda-san secara pribadi. Aku baru kembali ke rumah jam setengah sepuluh malam. Langsung melaporkan hasil misiku kepada Matsuda-san. Dia tampak puas.
Pagi esoknya, pagi yang tak diharap olehku maupun Matsuda-san, aku mengantarnya ke Tanjung Priok.
Perpisahan tersebut sungguh berat...! Aku tidak menangis. Sudah tidak mampu aku menangis. Tapi aku terkoyak di dalam...!!
Lambaianku terasa pahit tatkala mengantar kapal Matsuda-san berangkat....
Malam ini, 16 Agustus 1945, untuk pertama kalinya sejak 2 Januari 1943 aku tinggal di rumah sendiri.... Tanpa Matsuda-san.... Matsuda-san-ku....
Malam ini, gamang pertemuan pertamaku dengan Matsuda-san kembali menguasai. Aku merasa terancam, entah oleh apa.
Aku hanya terbaring di sini, membayangkan kembali saat-saat terakhir di dermaga, menunggu kapal Matsuda-san siap.
Kali itu, barulah dia menjawab semua tanyaku dulu....
Dia menyelamatkanku 2 tahun lalu karena aku mengingatkannya pada kekasihnya dulu sewaktu masih sekolah. Cinta pertamanya.... Sang kekasih meninggal karena kanker. Umurnya saat meninggal persis sama denganku saat Matsuda-san bertemu denganku: 11 tahun lebih 10 bulan!
Lalu, dia tidak menyentuhku karena tidak ingin menodaiku, orang yang mengingatkannya akan kesucian cinta. Dan dia juga tak ingin mengkhianati isterinya sendiri, yang menantinya di Yokohama.
Tapi saat yang tak bisa kulupa, yang amat menggangguku, yang sangat membuatku merasa bersalah adalah kata-kata terakhirnya. Dia berkata bahwa yang lebih utama dari semua, alasan mengapa dia menyelamatkanku adalah karena dia melihat kesamaan dalam mataku antara diriku dengan dirinya.
Kami berdua sama-sama cinta tanah air....
Dia mengucapkan itu dengan nada yang bagiku meninggalkan seribu tanda tanya....
Apakah dia tahu...??
Matsuda-san, maafkan aku...! Aku telah memperdayaimu. Sekali ini saja...!
Apakah kau sudah tahu, Matsuda-san? Apakah itu maksud kalimat ucapan terakhirmu, yang kauucapkan dengan pedih dan pahit itu??
Harusnya aku berterus-terang padanya. Toh, misi terakhir ini tidak menyangkut negaranya! Tapi setelah kupikir-pikir, dia ada benarnya. Kalau sampai misi ini gagal, dan perkiraannya benar, maka tragedi pembantaian akan menimpa ribuan tentara Jepang yang ada di Indonesia ini...!!
Oh, itukah penyebab malam ini menjadi sama dengan malam itu??!
Ya, aku justru membocorkan rahasia penyerahan Jepang kepada seorang sahabat dari Sukarni, salah seorang pemuda yang memimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia!
Tapi, benarkah dengan berbuat itu, tandanya aku cinta tanah air?? Bukankah aneh, karena sesungguhnya, aku tidak merasa punya tanah air??!
Oh, malam! Apakah yang akan terjadi saat kau sudah berlalu besok?
Apakah yang akan dihantarkan pagi-pagi 17 Agustus besok??!
Matsuda-san terbayang terus, menghantuiku...! Tapi dia melambai...! Menjauh...! Makin jauh...! Kian mengabur dan mengecil kelihatan sosoknya...!
Aneh!! Aku seperti ingin mengabaikan bayangan Matsuda-san itu, untuk melihat sesuatu yang berada di belakangnya ketika di dermaga.
Sebuah umbul-umbulkah?? Oh, bukan! Ternyata itu panji-panji! Atau benderakah??!
Ya! Itu bendera! Tapi, bendera lambang apa dan punya siapa itu? Atasnya merah, bawahnya putih....
Merah...dan putih....
Manis sekali! Mempesona! Menarik hatiku dari Matsuda-san....
Merah.... Putih.... Merah...putih....
Merah-Putih!
__________________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H