Sebelumnya, aku mendapat didikan kilat dari Matsuda-san. Dia menggemblengku dalam banyak bidang, seperti metode persuasi, cara mengenali mata-mata lawan, cara mengenali pembuntut, dan cara menghindarkan diri dari si pembuntut. Dan masih banyak lagi. Malah Matsuda-san juga sempat selama 3 hari memberi latihan fisik seperlunya padaku.
Itulah titik balik hidupku. Semenjak itu, aku terus melakukan tugas spionase membantu Matsuda-san. Kalau tugasku yang pertama didorong oleh keinginan untuk membebaskan keluargaku, tugas-tugas selanjutnya dipicu oleh dendamku pada para pribumi, orang Indonesia! Mereka tidak menerimaku, bahkan memperlakukanku sangat buruk, mentang-mentang aku Tionghoa! Yang lebih parah, statusku sebagai orang Kristen lebih lagi menjadi bahan kebencian mereka, yang mayoritas adalah Islam.
Aku tidak menyangkal, lebih banyak sebenarnya orang Indonesia yang toleran dan tetap bersikap baik terhadapku. Tapi perlakuan kejam sebagian lain dari mereka yang mendiskriminasiku kurasa tidak seimbang dengan perlakuan baik yang kuterima!
Tapi bukan cuma kepada orang pribumi Indonesia saja aku mendendam. Pada sesamaku orang Tionghoa pun aku mendendam!
Aku banyak bergaul dengan orang-orang pribumi, sebetulnya. Sama dengan Papa, temanku lebih banyak yang pribumi dan Islam ketimbang yang Tionghoa dan Kristen atau Konghucu. Itu karena sekolahku di SR. Karena itulah, orang-orang Tionghoa justru lebih kejam lagi memperlakukanku! Kata-kata mereka menganiayaku!
Aku terus memata-matai orang pribumi. Banyak rencana pemberontakan yang dapat digagalkan Matsuda-san berkat bantuanku. Matsuda-san memujiku. Ia bilang, aku punya bakat alami yang luar biasa dalam bidang spionase.
Suatu hari, aku terkejut melihat Matsuda-san ketika pulang dari dinas. Saat itu, aku sedang berada di Cipanas, karena Matsuda-san memutuskan untuk memberiku libur dulu, walaupun aku sebenarnya tidak butuh libur.
Wajahnya pucat. Jalannya gontai. Dan dia tidak setegap biasanya. Padahal, paginya sewaktu pergi, dia masih tidak apa-apa....
Kutanyakan ada apa. Dia memberi isyarat tidak hendak diganggu dulu. Baik. Aku menunggu seraya menemaninya duduk.
Akhirnya, dia bercerita. Tanda-tanda kekalahan Jepang sudah makin jelas. Pulau Iwo Jima sudah jatuh ke tangan Amerika Serikat. Bahkan pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat sudah mulai berterbangan mendekati kepulauan Jepang. Itu tandanya, kapal-kapal induk Amerika sudah dekat sekali. Mereka mungkin akan menyerang langsung ke negeri Jepang.
Mulai saat itu, Matsuda-san sudah tidak seperti sebelumnya. Penampilannya tidak kembali tegap. Wajahnya selalu murung. Ia makin sensitif dan cenderung pemarah. Ia makin jarang pulang. Kalau pulang, keadaannya semakin menyedihkan. Kerap dia pulang dalam keadaan mabuk.