Aku merawat Matsuda-san dengan telaten. Ada rasa hangat di hatiku saat itu....
Malamnya, ia mau bercerita. Bom atom kembali dijatuhkan. Kali ini di Nagasaki, kota industri yang besar.
Aku menyatakan ikut prihatin. Dan memang, aku tulus merasa prihatin. Selama ini, aku menghindari jatuhnya korban jiwa saat tugasku sebagai mata-mata Matsuda-san. Terang-terangan aku mengatakan itu padanya. Jika suatu tugas kupikir dapat membahayakan satu saja nyawa, aku akan menolaknya. Aku hanya mau menjalankan spionase yang hanya mengakibatkan penangkapan saja. Tidak lebih. Dia mengerti dan bisa menerimanya.
Aku sendiri tidak pernah mengerti. Dendamku begitu membara. Tapi semakin bernafsu rasa pembalasanku, semakin besar pula hasratku untuk melihat mereka menjadi baik dan mengalami yang baik...!
Itu bukan cuma pada orang-orang pribumi dan Tionghoa. Pada Mama pun begitu.
Dia sangat kejam padaku. Dia membenciku. Aku dianggapnya anak pembawa sial. Aku selalu dikatainya anak sial. Itu karena setelah melahirkanku, rahimnya harus diangkat sehingga tidak bisa lagi punya anak. Padahal, tradisi kami mengatakan: banyak anak, banyak rejeki! Dengan kejadian itu, keluargaku jadi hanya punya 3 anak. Suatu aib buat mereka. Karena harusnya, satu keluarga paling sedikit harus punya setengah lusin anak. Enam.
Kebenciannya lebih dalam lagi manakala setelah aku besar, dia melihat rupa fisik dan sifatku semuanya mewarisi Papa. Tidak satu pun kemiripan fisik dan sifatku dengan Mama. Beda dengan kedua kokoku. Mereka berdua itu duplikat Mama habis-habisan!
Ditambah lagi, aku anak perempuan, yang dianggap tidak berarti.
Dan semua itu tidak akan terjadi jika tidak ada pemicunya. Tabiat Mama yang kasar dan tidak tahu menghargai orang itu yang justru mengolah ketidaksukaannya padaku menjadi kebencian yang sangat membuatku menderita.
Dan, jujur, aku pun membencinya! Sangat!!
Tapi ya itu! Tambah benci aku sama Mama, tambah besar keinginanku melihatnya menjadi baik dan memperoleh yang baik! Sampai saat ini, Papa dan Mama serta koko-kokoku masih di persembunyian. Tapi tidak pernah satu hari terlewat olehku untuk mencari informasi tentang kabar mereka. Juga menitipkan surat, makanan, bahan makanan, atau berbagai kebutuhan lainnya untuk mereka. Hanya Papa yang rutin memberi kabar padaku, meski sekadar surat untuk mengucapkan terimakasih. Koko-koko ada juga menyuratiku, walau jarang sekali.