Aku hanya mampu memejam dalam-dalam.... Matilah aku!!!...
Hardikan keras menggema. Kubuka mata. Si tentara yang mencoba memperkosaku tiba-tiba saja berubah total, mengerut menjadi seperti anjing yang dibentak majikannya, sembari buru-buru melepaskanku dan bangkit dari kasur!... Dua yang lainnya sama juga, merunduk rendah-rendah, bahu mereka mendadak kuyu.
Aku menoleh ke arah datangnya suara hardikan. Ternyata orang tadi, yang berbicara dengan Papa!
Dia menanyakan dalam bahasa Indonesia apakah aku tidak apa-apa. Aku hanya bisa mengangguk. Dia mengeluarkan saputangan, menyekakannya lembut ke bibirku yang berdarah.
Saat itu, matanya beradu dengan mataku.... Beberapa detik aku terpana.... Ada suasana "hijau" di sana.... Menyejukkan.... Tenteram dan aman seolah terjanji....
Aku tersadar. Kualihkan pandangan ke arah lain.
Sembari tetap membersihkan lukaku, dia mengatakan sesuatu kepada ketiga serdadu tadi. Nadanya tegas, tajam memerintah. Ketiganya terbirit-birit keluar.
Dia berkata kepadaku bahwa dia harus membawaku. Lalu aku dibimbingnya dengan sikap lembut. Dia bertanya, apa aku sanggup berjalan sendiri. Aku kembali hanya mengangguk.
Dia menuntun tanganku. Tangannya tetap menggenggamku sepanjang perjalanan. Juga waktu kami digiring menaiki truk. Keluargaku disuruh duduk di belakang. Sedangkan aku ditempatkan di kabin, di tengah-tengah antara dirinya dan tentara yang menyupir.
Sejak itu, hidupku tak pernah sama lagi. Aku harus rela meninggalkan sekolah. Rencananya, Papa akan memasukkanku ke sekolah menengah. Mimpiku sederhana. Hanya ingin menjadi guru, seperti papaku. Jadi aku sudah minta Papa untuk mendaftarkanku. Tapi setelah penawanan itu, aku tidak tahu apakah itu bisa kesampaian atau tidak.
Truk menyusuri gelapnya malam. Udara Jakarta tidak biasanya, kali itu agak dingin. Apakah ia bersimpati pada pikiranku yang kusut bukan main?