Dan suatu saat, aku terheran-heran kembali. Dia pergi masih dalam kondisi suram. Tapi pulangnya, dia mendadak kembali pulih: tegap, berwibawa, bersinar-sinar!
Aku bertanya, apakah ada kabar yang sangat menggembirakan. Apakah Jepang terbebas dari serangan Amerika? Atau meraih kemenangan entah di medan mana? Dia hanya tersenyum, namun tak menjawab.
Kulihat dia mengambil sake. Dia selalu mengambilnya sendiri, tidak pernah satu kali pun dia menyuruhku. Dalam hal apa pun. Dia pernah bilang, wanita yang boleh melayani lelaki Jepang itu hanya 3: isteri atau selir, budak atau pembantu, dan anak. Karena aku bukan selirnya, bukan isterinya, dan bukan anaknya, dan dia juga tidak menganggapku pembantu, maka dia melarangku melayaninya. Tak pantas, katanya. Mengurangi kehormatan wanita, tambahnya lagi.
Lalu dia masuk kamar. Tapi naluriku langsung awas! Pengalamanku selama 2 tahun menjadi mata-matanya membuat kepekaan indera bahayaku terlatih. Perlahan, kudekati kamarnya. Kusingkap gorden sedikit.
Aku terbelalak...!
Matsuda-san duduk di lantai membelakangi pintu. Dia memakai kimono. Ia memandangi sejenak pisau di genggamannya. Dia menggenggam pisau itu dengan dua tangan, kemudian mengangkatnya di atas kepala. Saat itu aku tersadar, dia mau bunuh diri!
Aku berteriak.... Menghambur masuk ke dalam.... Kutahan dua tangannya semampuku....
Dia berteriak-teriak dalam bahasa Jepang. Dia meronta. Aku terlontar. Kepalaku terbanting di lantai. Pusing terasa. Tapi sebenarnya tidak apa-apa. Namun, Matsuda-san menjadi tersadar. Dia segera menghampiriku. Memapahku. Lalu membawaku ke kamar. Sesudah itu dia keluar. Kembali dengan mangkok dan handuk. Mengompres belakang kepalaku. Aku sudah bilang tidak apa-apa, tapi dia bersikeras menyuruhku untuk tidak banyak bergerak.
Setelah melihat aku sudah tidak apa-apa, dia minta maaf berulang kali. Lalu menangis....
Kupeluk dia erat-erat. Kutanya kenapa dia sampai nekad mau melakukan itu. Dia melepas pelukanku. Menatapku sembari tersenyum.
Benar-benar keindahan yang dalam seolah terpancar keluar dari bening matanya...! Sebening air hujan yang menetes ke bumi, yang menumbuhkan harapan tunas akan adanya masa depan bagi dunia.... Aku dapat melihat derita yang amat dalam.... Tapi itu derita yang begitu cantik!... Pernahkah lara akan sanggup menjadi seelok itu?...