Dalam hati aku berdoa, kiranya kami semua tidak diapa-apakan. Tapi Tuhan pasti tahu, doaku bisa dibilang hanya setengah jalan. Tak ada kepastian dalam hatiku apakah doaku didengar apa tidak. Apalagi dijawab....
Di markas, Papa langsung digiring ke belakang, yang kemudian baru kutahu adalah tempat tahanan khusus untuk tawanan perang atau pemberontak. Mama dan kedua kokoku dibawa masuk ke gedung utama. Aku tak sempat tahu mereka selanjutnya diapakan. Karena kemudian, aku dibawa orang Jepang yang tadi menyelamatkanku dengan sebuah sedan ke Cipanas. Di situ ada rumah, yang belakangan kutahu merupakan bekas tempat peristirahatan seorang Belanda mandor perkebunan teh.
Orang Jepang itu menjelaskan, dia sengaja membawaku bersembunyi supaya terhindar dari amukan nafsu para serdadunya. Dia tidak bisa menjamin keselamatanku kalau aku di markas, sebab dia tidak selalu ada di sana.
Padahal, aku sendiri sudah bersiap-siap, karena siapa tahu, dia sendiri yang hendak melampiaskan nafsunya padaku....
Tapi selama beberapa hari di sana, ternyata dia tidak juga menyentuhku. Namun aku tak mengurangi kewaspadaan. Apa pun bisa terjadi sewaktu-waktu.
Tapi yang lebih aneh justru perasaanku sendiri. Lega ada, kesucianku tak ternoda. Tapi juga marah! Terhina.... Aku kembali merasakan penolakan.... Lagi-lagi aku disakiti rasa tak berharga.... Tidak dianggap.... Seperti sampah, aku merasa diriku ini!...
Namanya Yurihiro Matsuda. Dia marah sewaktu aku memanggilnya 'Tuan'. Itu panggilan untuk orang kulit putih, katanya. Untuknya, dia ingin disapa secara Jepang. Matsuda-san. Dia seorang Kempei Tai. Dinas rahasia Jepang. Ia menjelaskan, Kempei Tai punya kekuasaan yang jauh melebihi angkatan perang. Pangkatnya sendiri mayor. Tapi seorang jenderal angkatan darat atau laksamana angkatan laut akan membungkuk-bungkuk jika berhadapan dengannya.
Pantas saja, para serdadu itu takut sekali padanya....
Aku tak tahan. Sebenarnya aku tidak berani. Tapi hatiku mendorongku terus. Akhirnya, kutanyakan juga nasib keluargaku pada Matsuda-san. Dia bilang, mereka aman. Pengaruh Matsuda-san yang begitu besar dipakainya untuk melindungi Papa, Mama, dan Koko-koko dari ancaman hukuman berat.
Lalu aku makin nekad. Kutanyakan, apa sebenarnya kesalahan kami. Dia tersenyum. Kesalahanku memang tidak ada, jelasnya. Tepatnya, Papa-lah yang dianggap berbahaya oleh Jepang. Kempei Tai sudah lama mengincar Papa. Aku hampir tak percaya mendengar cerita Matsuda-san. Ternyata, Papa aktif dalam gerakan bawah tanah. Bahkan, dia adalah salah seorang pemimpin paling berpengaruh bagi para pejuang Indonesia.
Aku ngeri mendengarnya...! Tapi sekaligus teramat kagum! Papa?! Pemimpin pergerakan pejuang orang Indonesia?? Seorang Tionghoa memimpin pemberontakan kaum pribumi?!...