Rupanya, malam itu, Papa sedang mengadakan pertemuan dengan para pemimpin pejuang. Namun dalam perjalanan pulang, dia akhirnya berhasil ditemukan regu yang dipimpin Matsuda-san, yang memang tengah mengintainya. Papa bersama dua rekannya nyaris bisa ditangkap. Tapi mereka berhasil lolos juga. Namun, saat Papa mengira para pemburunya sudah tidak bisa lagi mendeteksinya, dia lengah. Sesudah sampai di halaman rumah, dia baru sadar, para pemburunya berhasil mencium jejaknya. Dugaanku, mungkin saat Papa menggedor pintu, dia bermaksud menyuruh kami buru-buru lari. Tapi terlambat.
Tapi Matsuda-san menjelaskan lagi, dia tidak bisa selamanya membela Papa. Kalau bukan karena aku, dia takkan membiarkan nyawa Papa bertahan barang sejam saja setelah tiba di markas malam itu. Bahkan, Matsuda-san bilang, dia sendirilah yang punya hak untuk membunuh Papa...!
Aku bergidik.... Tapi aku tak rela papaku dibunuh...! Tidak!! Jadi kutanyakan lagi, mengapa tidak dilakukannya. Ia menjawab dengan jawaban yang sama. Dia memandangku. Saat kutanya apa maksudnya, dia tidak mau menjawab. Malah kelihatannya dia mulai marah. Aku pun menunda penasaranku. Mungkin pada saatnya nanti, aku harus cari tahu, aku bertekad....
Beberapa hari kemudian, kutanyakan lagi. Cuma, kali itu dengan pendekatan berbeda. Kutanya, kalau selain dia tidak ada lagi yang berhak membunuh pemberontak, kenapa nyawa papaku masih terancam. Dia tertawa. Katanya, dia tahu arah pertanyaanku. Ternyata dia sangat cerdas dan cerdik...! Dari cerita-ceritanya, aku maklum, seorang Kempai Tai jelas harus orang istimewa. Kepandaian, kemampuan, dan segalanya harus ada di atas rata-rata tentara biasa.
Akhirnya dia berterus-terang. Selain dirinya, yang berhak membunuh tawanannya cuma dua orang. Yang satu kaisar. Satu lagi adalah komandan tertingginya, Kepala Kempei Tai. Di luar itu, tidak ada. Bahkan orang selevel perdana menteri pun tidak!
Masalahnya, dalam beberapa hari mendatang, Kepala Kempei Tai akan tiba di Jakarta. Saat itu dia masih dalam perjalanan, tertahan di Formosa.
Tidak ada masalah bagi Matsuda-san kalau sang kepala tahu penundaan hukuman mati itu. Bahkan juga tidak bagiku, Mama, dan koko-kokoku. Tapi yang pasti, Papa akan dibunuhnya di tempat dia mendengar berita itu, dan saat itu juga!...
Tangisku meledak. Pandanganku akan hari depan mendadak gelap.... Apa jadinya aku tanpa Papa??... Aku tak bisa kehilangannya!! Dia satu-satunya yang kumiliki...!
Matsuda-san menenangkanku. Katanya, dia sudah menyusun rencana untuk menyelamatkan papaku. Tapi dia bilang lagi, untuk itu, dia perlu bantuanku. Malah, apa yang akan kulakukan nantilah yang menentukan apakah Papa masih mungkin ia selamatkan atau tidak.
Aku langsung bertanya apa itu. Matsuda-san berkata, dia akan menceritakannya nanti. Sekarang, katanya, pertama-tama dia harus tahu dulu apakah aku yakin dan bersedia melakukan rencananya atau tidak. Jelas aku langsung mengiyakan tanpa ragu! Dia berkata, aku harus bersiap-siap saat itu juga, karena jam 2 tengah malam nanti kami sudah harus berangkat ke Karawang. Di sanalah Matsuda-san akan memaparkan seluruh rencananya.
Di Karawang, dalam sebuah rumah rahasia Matsuda-san yang lain, ia mulai menjelaskan. Aku mendengarkan dengan seksama.