Tanggal 9 Maret, sudah semenjak jam 5 sore aku menunggu dengan tak sabar di rumah Karawang. Akhirnya, menjelang jam 8 malam, mobil Matsuda-san masuk. Aku langsung berdiri di pintu, menanti.... Matsuda-san keluar dari sedannya. Pintu mobil di sisi yang berlawanan membuka. Seseorang turun....
Papa...!!!
Aku langsung turun dari teras, menghambur ke pelukan Papa. Kutumpahkan seluruh rindu dan cemasku dalam banjir air mata di dada Papa yang menjadi lebih tipis dari sebelumnya akibat berat badannya yang tampak jelas menurun drastis....
Aku puas...!! Rencana Matsuda-san berjalan mulus. Dia memang sudah profesional sekali dalam bidangnya. Dan aku puas juga karena berhasil melakukan tugasku, sehingga sekarang Papa bebas.
Setelah beberapa jenak, barulah aku lega. Tapi aku tertegun.... Mana Mama dan Koko-koko??...
Matsuda-san langsung menjelaskan, Mama dan kedua kokoku sudah diamankan di suatu tempat, masih di dekat-dekat Karawang juga. Dan dia segera menambahkan, Papa pun harus buru-buru ia bawa ke suatu tempat persembunyian, langsung saat itu juga, tidak boleh menunggu, sebab keadaannya sedang genting.
Kupeluk erat lagi Papa. Kucium kedua pipinya. Papa mencium keningku lalu mengingatkanku untuk hati-hati.
Setelah itu, Matsuda-san kembali membawa mobilnya pergi. Bersama Papa.
Inilah yang sebenarnya terjadi. Matsuda-san berencana akan melakukan penangkapan besar terhadap segerombolan pemberontak pribumi. Mereka bukan dari kalangan bawah tanah seperti Papa. Mereka kaum ulama dan santri yang bermarkas di Karawang. Jumlah mereka besar. Sekitar seribu orang. Karena ini adalah operasi penangkapan, bukan operasi pembasmian, maka diperlukan tentara dalam jumlah yang besar. Jadi, Matsuda-san bersiasat, hendak mengerahkan seluruh tentara dari markas di Jakarta, tempat keluargaku dipenjarakan. Saat markas sedang kosong itulah Papa, Mama, dan Koko-koko akan dibebaskan.
Tugasku ialah menyamar sebagai pedagang pakaian di sebuah pasar yang berada tak jauh dari tempat para santri dan ulama itu berkumpul. Pasar itu memang banyak diisi pedagang Tionghoa. Di situ dalam waktu singkat aku harus dapat menjalin hubungan yang lumayan akrab dengan para perempuan yang notabene adalah isteri para santri dan ulama tersebut. Kemudian, aku harus menghembuskan desas-desus akan adanya pengerahan orang-orang pribumi lagi untuk dijadikan tenaga romusha dan milisi cadangan.
Tugas yang sepertinya mudah dan sederhana, tapi Matsuda-san menegaskan, sesungguhnya itu sangat berbahaya. Sedikit saja para isteri curiga, mereka akan langsung menghubungkanku dengan Jepang. Sebab memang sudah banyak mata-mata Jepang yang terungkap identitasnya di sana. Dan nasib mereka bisa dikatakan sangat mengenaskan, dihakimi oleh massa yang mengamuk, tanpa peduli mata-mata itu laki-laki atau perempuan....