"Jadi, Bapak lebih senang dicap sebagai orang gila?"
"Tentu."
"Kalau begitu, bagaimana dengan pencalonan Bapak sebagai caleg? Bisa batal lho!"
"Ah, sudah!, sudah! Saya tak sudi ditanyai orang cerewet seperti kalian!" teriak Pak Tejo lantang sekali seraya menggerakkan buku-buku tangannya maju mundur dengan cepat sekali sebagai tanda dia mau mengusir kedatangan para pemburu berita itu. Dia pun menghenyakkan pinggangnya dari kursi secara spontan menuju sel tahanan dengan kawalan ketat empat aparat kepolisian.
Para wartawan sebenarnya masih ingin mencecar Pak Tejo dengan berbagai pertanyaan. Misalnya, bagaimana senjata api itu sampai berada di tangannya, dari mana dia peroleh senjata berperedam itu, siapa yang melatih atau mengajarinya menembak, kapan biasanya dia dilatih menambak, di mana dia latihan menembak, dan seterusnya. Meski para kuli tinta itu terus mendesak-desakkan pertanyaan itu, bahkan berulang kali disampaikan dengan dengan suara yang semakin lantang, pesakitan itu tetap tutup mulut. Langkah Pak Tejo malah kian mantap menuju ke selnya.
Di ruangan ukuran 4 meter X 4 meter itu, Pak Tejo kembali tertawa ngakak sebab hatinya kian berbunga-bunga. Dia membayangkan nanti hakim akan memvonisnya dengan bebas dari hukuman karena dia dicap gila. Dia pun bisa melenggang udara bebas meski harus masuk rumah sakit jiwa nantinya. Dia juga membayangkan bagaimana uniknya orang-orang yang menyandang sakit gila. Mereka dengan mudah akan dapat dilihat dan dirasakan keberadaannya di RSJ nanti. Itu pengalaman yang baru baginya.
"Oh, sungguh betapa uniknya hidupku sekarang! Ha ha ha!" serunya sampai menggema di ruang tahanan itu.
Tidak ada yang tahu penyebab perubahan Pak Tejo yang amat drastis itu. Istri dan anaknya saja yang setiap hari hidup bersamanya hanya geleng-geleng kepala setiap kali ditanya penyebab gilanya Pak Tejo, apalagi warga desa. Sepertinya, dia menyimpan rapat-rapat sesuatu. Dia tidak ingin semua orang tahu. Rahasia itu memang hanya milik Tuhan, Pak Tejo, dan ....
***
Kasus Pak Tejo, caleg sadis penembak dokter spesialis kedokteran jiwa itu benar-benar mengguncang dunia demokrasi dan perpolitikan Indonesia. Tidak hanya Indonesia, bahkan seantero jagad raya mengikuti dengan saksama perkembangan kasus tersebut dari waktu ke waktu. Koran setiap hari mengulasnya, baik dalam bentuk berita utama, opini, features, maupun sekedar sentilan tajam di pojok kanan bawah halaman satu. Televisi pun menyajikan berbagai aspek kasus ini secara live pada malam hari dengan berbagai diskusi khusus. Narasumbernya sangat berkompeten di bidang profesi masing-masing. Ada pakar politik, profesor hukum, ahli psikiatri forensik, ahli agama, psikolog, dan pakar sosiologi. Radio juga tak ketinggalan menyajikan breaking news tiap ada perkembangan terbaru meski kecil apapun dari kasus tersebut di sela-sela acara rutinnya.
Maka, cerita pun beredar dari mulut ke mulut, dari koran ke harian lainnya, dari gelombang radio yang satu ke radio lainnya, bahkan dari satelit televisi dan internet ke semua koleganya di dunia maya. Kasus Pak Tejo benar-benar menyedot perhatian perpolitikan seluruh penjuru dunia. Selain langka, kasusnya juga tergolong sangat berat, penuh intrik, dan konspirasi politik level tinggi.