"Apakah saat itu Pak RT tidak melihat wajahnya tegang?"
"Tidak. Sangat ramah sekali."
"Tidak tampak menahan amarah?"
"Sama sekali tidak. Bahkan, giginya tampak ketika berpamitan. Juga menganggukkan kepala dan badannya sebagaimana biasanya."
"Dengan siapa dia saat itu?"
"Hanya dengan sopirnya. Ya begitulah kesehariannya."
Lagi-lagi, yang dia dapat hanya angka nol besar. Nihil. Tidak ada satu pun informasi yang layak dan berharga untuk mengungkap kasus ini. Bahkan, ketika dia telusuri semua tetangga dan keluarga Pak Tejo, yang dia dapatkan malah tumpukan kebaikan hati, keluhuran budi, dan aneka macam nilai positif dari sosok pribadi Pak Tejo. Di sana, penyelidikannya malah terkabur dan terkubur gunungan kebaikan dan pahala yang telah ditanam oleh Pak Tejo kepada hampir seluruh warga desa. Mulai dari zakat fitrah, zakat mal, ajakan kerja sama bagi hasil dengan mendirikan toko pracangan yang menjual sembako, bantuan sepeda untuk anak SD di desanya yang kurang mampu, dan seterusnya, dan lain-lain. Pendek kata, tidak ada celah untuk mencela kepribadian Pak Tejo. Begitu pula keluarganya.
"Aneh! Benar-benar aneh! Padahal, mestinya ada sesuatu yang tak beres dalam kasus pembunuhan ini," keluhnya setengah mati dalam hati. Dia makin frustrasi karena tak mampu mengungkap kematian orang yang amat dicintainya itu. Rasanya ada beban nan amat berat di pundaknya. Beban yang berat sekali itu baru benar-benar sirna jika kasus itu terungkap, baik modus operandinya maupun motif pelakunya. Inilah yang masih menjadi teka-teki besar, bahkan terbesar, selama dia menyandang gelar dr. plus Sp.K.J.
"Maafkan aku, dik. Aku masih gagal mengungkap tuntas kasus yang menimpamu. Aku berjanji akan terus berusaha maksimal dan optimal untuk menguak kasusmu ini. Percayalah pada janjiku. Yakinlah, kebenaran pasti akan terkuak," kata Rudi seraya kedua belah tangannya memegang pusara makam Budi. Dengan langkah gontai, dia tinggalkan TPU (tempat pemakaman umum) Ngadisimo. Begitulah cara pamitan Rudi kepada adik kandungnya yang sekarang sudah berada di alam baka. Dia harus segera kembali ke Jakarta lagi karena ujian doktornya sudah di ambang pintu.
Selama dalam perjalanan balik ke ibukota, dia berpikir keras menyusun dan menghimpun kekuatan demi mengungkap kembali kasus pembunuhan adik kandungnya itu. Dia bahkan rela jika harus mengemis-ngemis sekali pun atas metode penyelidikan psikiatri forensik kepada para guru besar pembimbingnya di Universitas Indonesia untuk membongkar kasus penembakan adiknya itu secara tuntas.
Sekali lagi terbukti bahwa rahasia kasus Pak Tejo memang benar-benar milik Tuhan, Pak Tejo, dan ....