Tidak sampai satu jam, koran yang dijajakannya terjual habis di Alun-alun Kota Kediri. Masyarakat luas gempar setelah membaca berita itu. Lebih-lebih penduduk desa tempat tinggal pelaku. Bila dipersentasi, 99% penduduk desa tersebut tidak percaya sama sekali terhadap berita itu. Kabar tersebut laksana guntur di siang bolong di telinga, bahkan di dalam hati mereka.
"Tidak mungkin Pak Tejo melakukan ini!," kata Kang Narto, tetangga yang tinggal berseberangan dengan rumah Pak Tejo, "Beliau itu tetangga saya yang baik sekali!," lanjutnya penuh keyakinan.
"Iya. Aku juga sama denganmu Kang Narto. Nonsens berita ini!," timpal Kang Parman yang rumahnya terletak 20 meter sebelah timur dari rumah Kang Narto.
"Ya, benar! Mustahil ini!," sergah Kang Jamal, tetangga Kang Parman, sambil meremas-remas judul berita itu dengan penuh emosi.
Yang lain malah menumpahkan kekesalannya kepada wartawan yang membuat berita itu. "Paling-paling ini berita bohong, fitnah, dan penuh sensasi! Wartawannya menulis ini supaya korannya laku keras! Ya to, Kang?!" begitu kata Kang Jakfar yang segera diamini oleh para tetangga Pak Tejo yang berkumpul secara dadakan di pos kamling di dekat rumah Pak Tejo.
Pak Tejo memang tokoh yang fenomenal di desanya. Sebagian besar warga sudah sering mendapat uluran tangannya. Misalnya, ngutang, sumbangan kematian, donatur panti asuhan, atau infak pengajian. Masih banyak lagi bentuk kedermawanan tokoh berusia paruh baya itu untuk desanya. Kekayaan yang dimiliki figur panutan Desa Ringin Anom itu berasal dari hasil panen sawah dan ladangnya yang luasnya berhektar-hektar. Tiap selesai panen, pasti ada saja yang dibelinya. Kadang motor atau mobil, tapi yang paling sering dilakukannya adalah mendirikan toko dan warung kecil untuk penduduk di desanya yang masih menganggur. Mereka diajak kerja sama dengannya. Sistemnya maro, yaitu bagi hasil fifty-fifty atas keuntungan yang diperoleh. Maka, jika sehabis panen, warga desa juga senang karena pasti akan merasakan cipratan rezeki dari Pak Tejo. Mulai dari zakat mal plus beras hingga beraneka macam tawaran kerja sama bagi hasil yang diingini warga yang tertarik dan sedang membutuhkan bantuan modal usaha.
Rohimah, istri tercintanya, juga sering mengulurkan derma kepada orang lain yang amat membutuhkan. Pernah suatu malam, dia dimintai tolong Yu Siti. Tetangganya itu mengalami musibah berupa pendarahan saat akan melahirkan. Dibantu Kang Soim, sopir kepercayaannya, diantarkannya sendiri tetangganya itu sampai ke rumah sakit bersalin. Darah yang membasahi jok mobil, bahkan jariknya, tidak menjadi masalah baginya. Yang penting Yu Siti segera tertolong dan selamat beserta bayinya.
Alhamdulilah, usahanya berhasil. Meski begitu, dia menolak dengan halus uang yang akan diberikan oleh keluarga Yu Siti sebagai ganti carter mobil. Bagi Jeng Imah, begitu orang sekampung memanggilnya, menolong sesama itu sudah merupakan kewajiban baginya.
Sukarwo Mangku Sutejo, anak lelaki semata wayang Pak Tejo dan Jeng Imah, juga merupakan sosok pemuda ideal menurut pandangan warga desa. Mas Karwo, begitu teman-teman maupun penduduk desa memanggilannya, masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Dia sangat supel bergaul. Aktif di organisasi Karang Taruna Desa Ringan Anom, Remaja Masjid Darun Najah, dan organisasi di sekolahnya. Namun, di organisasi mana pun, dia tidak mau menjadi pengurus, apalagi ketua. Baginya, yang terpenting adalah berperan aktif di organisasi serta menunjukkan sumbangsih yang nyata. Hal itu sudah dibuktikannya secara nyata pula dalam kiprah organisasi sosial yang diikutinya. Sering kali dia menjadi tumpuan terakhir manakala ada kendala masalah dana. Secara spontan, dia sering kali menutup kekurangan dana organisasi. Besarnya mulai dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Itu pun dia tidak mau disebutkan namanya sebagai penyumbang. Biasanya, dia hanya menuliskan "Dari hamba Allah swt." di kuitansi. Maka, semua orang merasa segan, kagum, sekaligus bangga punya pemuda yang demikian salih dan dermawan seperti ayah bundanya.
Pendek kata, keluarga kecil Sutejo Mangku Kusumo merupakan keluarga teladan, ideal, serasi, dan harmonis. Hampir tak ada celah sedikit pun untuk mencela. Tiga anggota keluarga itu laksana Tiga Serangkai Ideal milik warga Desa Ringin Anom. Betapa tidak. Ketiganya telah meneladankan sikap rendah hati kepada semua warga. Dalam masalah jabatan, misalnya, entah sudah berapa kali Pak Tejo menolak tawaran penduduk desanya menjadi kepala desa. Alasannya selalu begini, "Masih ada yang lebih mampu dan lebih baik daripada saya. Jadi, biar yang lain sajalah. Bagi saya, jadi petani saja sudah cukup. Namun, saya tetap mau membantu desa demi kebaikan bersama."
Jeng Imah, istri Pak Tejo, juga tidak kalah halusnya menolak tawaran jabatan untuk menduduki sebagai pengurus organisasi ibu-ibu. Misalnya, menjadi ketua PKK kelurahan, ketua jamaah pengajian, dan organisasi sosial lainnya. Sering kali dia katakan, "Biar yang muda-muda saja yang maju. Mereka itu pikirannya lebih maju dan langkahnya lebih cepat daripada saya yang sudah setengah baya ini. Tapi, jangan khawatir, saya akan selalu membantu apa saja yang bisa saya berikan untuk kebaikan kita semua sebagai sesama warga desa." Akhirnya, yang mengusulkan pun hanya bisa pasrah atas sikap Jeng Imah yang rendah hati itu. Tapi, mereka juga gembira atas kesediaannya membantu organisasi, terutama masalah keuangan, yang memang merupakan kendala utama organisasi kemasyarakatan di desa.