Ketika ada pendaftaran caleg, dia sebenarnya tidak berminat sama sekali. Dunianya yang keras nan hitam kelam memang bertolak belakang dengan profil ideal seorang wakil rakyat yang dituntut serba sempurna. Namun, begitu mendengar suara warga desanya yang mengi-nginkan Pak Tejo yang macung sebagai caleg dari Desa Ringin Anom, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri, hatinya terusik. Dendamnya yang terpendam belasan tahun silam tiba-tiba membara kembali dan siap membakar serta menghabisi orang terpandang di desanya itu dengan cara apapun.
Rohimah, istri Pak Tejo sekarang, dulu adalah pacarnya. Sebagai bunga Desa Ringin Anom, dia memang jadi rebutan para pemuda, baik dari Desa Ringin Anom sendiri maupun dari luar. Maka, berdatanganlah para jejaka mendekati gadis Imah yang berperawakan tinggi semampai dan kulit kuning langsat. Bahkan, ada yang langsung melamarnya. Sayang, semuanya berujung pada kegagalan.
Sampai akhirnya, hati perawan jelita itu tertambat pada sosok pemuda Sarjito. Dia pemuda yang paling gagah dan perkasa se-Desa Ringin Anom. Dalam pandangan Imah, Sarjitolah nantinya yang didambakan bisa menjadi suami yang siap melindungi dan mengayomi keluarganya. Sebab, dialah anak tunggal yang dimiliki Kiai Rohmat, tokoh Islam di Desa Ringin Anom.
Ketika kedua orang tua Sarjito melamarkannya, Kiai Mat, begitu panggilan tokoh sentral agama Islam di Desa Ringin Anom itu, meminta waktu barang satu dua minggu untuk melakukan salat istikharah. Tujuan ritual salat itu untuk memperoleh isyarat langit tentang baik buruknya dua sejoli yang sedang dimabuk cinta itu menjadi pasangan suami istri.
Selama menantikan jawaban salat istikharah dari Kiai Mat itu, Sarjitolah yang paling cemas. Tiap hari, yang ada dalam benaknya hanyalah dua kata, yaitu "diterima" atau "ditolak". Pikirannya tidak bisa memusat, kecuali pada kedua kata itu saja. Itu terus berlangsung sejak hari pertama, kedua, ketiga, ... sampai kesepuluh. Ya, pada hari yang ke-10 itulah, Sarjito mendapat jawaban dari pihak keluarga Rohimah.
Apa jawaban yang akan diterima langsung dari mulut Kiai Mat ketika nanti bertandang ke rumahnya? Tenyata, jawaban negatif yang diterima Sarjito. Kiai Mat tidak bisa menerima lamaran itu karena isyarat dari atas sana mengabarkan bahwa perkawinan anaknya dengan Sarjito tak akan bahagia. Maka, menurut Kiai Mat, lebih baik Imah dan Sarjito harus mengakhiri hubungan asmara mereka sampai di sini saja.
Imah sebagai anak yang salihah tentu harus taat kepada keputusan kedua orang tuanya, apalagi abah-nya. Dia tidak berani membantahnya sedikit pun. Dia harus rela mengor-bankan cintanya yang sudah melekat di hati kepada Mas Jito, begitu dia biasa memanggil kekasihnya. Semua itu dilakukannya demi baktinya ke-pada umi serta abahnya yang juga sangat dicintai dan dihormatinya.
Sarjito malah sebaliknya. Dia marah bukan kepalang mendengar kabar penolakan itu. "Ini penghinaan bagiku! Ini tidak akan kubiarkan! Aku harus menuntut balas kepada siapa saja yang akan mengawini Dinda Imah kelak!" omel hatinya sambil kedua tangannya mengepal kuat-ku-at-kuat sampai-sampai ototnya terlihat ingin keluar semburat semua.
Kehidupan Sarjito sejak saat itu amat bertolak belakang dengan kebiasaannya sehari-hari. Dia tidak mau lagi pergi bekerja ke sawah pamannya di desa seberang. Padahal, biasanya setiap pagi hingga zuhur. Dia hampir tak pernah absen mengucurkan keringatnya di sawah pamannya itu. Dia juga tidak sudi lagi bergaul dengan teman-teman sesama pemuda di desanya. Padahal, sebelumnya dia sangat aktif bermain bola dan terkadang juga bermain bola voli de-ngan mereka. Dia merupakan striker andalan kesebelasan desanya. Dia pula spiker ganas tim bola voli desanya. Tapi, sekarang, bagi Sarjito, berkumpul dengan orang yang telah dikenalnya di desa itu berarti menjerumuskan diri dalam jurang penuh sindiran, hinaan, cercaan, cemoohan, dan olok-olokan yang menyakitkan hatinya. Nasib yang sama pernah dialami juga oleh teman sebayanya. Misalnya, Yusuf, Jauhari, Sujono, Karyono, dan lain-lain. Mereka semua korban penolakan lamaran terhadap Rohimah.
Satu-satunya pelarian Sarjito adalah ke rumah Pakde Broto di Kota Kediri. Di Kota itulah, kehidupannya berubah total dan bertolak belakang dengan Sarjito yang aslinya hanyalah pemuda desa yang lugu. Togel, judi, minuman keras, mabuk, teler, dan sejenisnya merupakan kebiasannya sehari-hari. Mulanya, itu dilakukan untuk mengurangi rasa frustasi dan stres akibat penolakan lamarannya terhadap Rohimah. Tapi, lama-lama dia jadi ketagihan. Dia terus-menerus melampiaskan kecanduan pada tindak maksiat, terutama minuman keras dan judi.
Di kota, dia bebas berbuat munkar seperti itu karena pakdenya juga memiliki kegemaran yang sama. Bude Tatik, istri Pakde Broto, malah menjadi bandar togel di kota itu meski omzetnya kecil. Jadi, klop sudah antara Pakde Broto, Bude Tatik, dan Sarjito sebagai keponakan mereka.