Intrik Politik

"Lalu, kenapa Bapak sampai tega membunuhnya?"

"Kamu bilang saya tega? Apa ndak salah?! Justru dia yang tega! Masak saya dikatakan gila?! Ya, saya jelas-jelas tersinggung sekali! Makanya, saya langsung menembaknya tiga sampai mampus," katanya ketus dan bersungut-sungut.

"Kalau begitu, Bapak sebenarnya waras?"

"Lha kalau sekarang ini, saya jelas gila to! Kan saya harus hormat kepada dokter ahli jiwa meskipun menurut saya dia keblinger. Saya juga harus menghormati peraturan dan hukum yang berlaku. Kalau saya sudah dinyatakan tidak sehat rohani,  itu berarti saya sekarang memang gila. Gitu lho!" kata Pak Tejo meninggi dan emosi berapi-api.

Wartawan pun bingung atas jawaban Pak Tejo. Mereka saling berpandangan untuk memastikan apa benar suara yang masuk di kedua daun telinga mereka masing-masing memang seperti itu. Tapi, bukan jawaban yang mereka dapatkan dari rekanrekan seprofesinya, malah sama-sama bingung.

Setelah sunyi sejenak, akhirnya muncul lagi pertanyaan dari salah seorang pemburu berita. "Kalau begitu, Pak Tejo cuma gila secara yuridis saat ini?"

"Apa bedanya bagi saya? Mau beneran atau hanya gila yuridis, yang jelas saya sudah divonis gila oleh dokter keblinger tadi. Titik!"

"Kalau dites dokter ahli jiwa yang lain sebagai perbandingan, apa Bapak bersedia?"

"Buat apa dites lagi?" Pak Tejo malah balik bertanya.

"Lho, barangkali nanti hasilnya berlawanan dengan yang pertama. Kan Bapak bisa lebih gembira?"

"Justru saya lebih sedih karena saya harus menjalani hukuman penjara akibat pembunuhan yang telah  saya lakukan. Lebih baik divonis  gila saja. Paling-paling saya malah dirawat di rumah sakit jiwa. Bukan dipenjara. Iya toh!"