Seluruh penduduk kampung yang hadir manggut-manggut mengikuti wejangan Kiai Ridwan yang amat mantap menancap di dalam hati mereka. Salah seorang dari mereka, yaitu Kang Jakfar, nyeletuk kepada Kang Parman, "Pak Tejo saja bisa begitu, Kang Parman, apalagi kita yang awam ini ya?"
"Kalau kita ya malah jatuh le-bih terperosok. Makanya, jangan remehkan nasihat para kiai. Lebih-lebih Kiai Ridwan. Beliau itu memiliki kelebihan berupa waskita dalam melihat peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Salah satu ajiannya ya salat istikharah itu."
Kang Jakfar mengangguk-angguk tanda setuju sekali pada pendapat Kang Parman.
***
Pak Tejo hanya bisa terpekur dan tafakur disertai rasa sesal nan mendalam atas kesalahan dan kekhilafannya. Pertama, terpedaya oleh bujuk rayu Sarjito. Lalu, mengabaikan nasihat Kiai Ridwan, penasihat spiritualnya, tentang keburukan yang akan dialaminya jika terus ikut dalam pencalegan. Terus, dia tak menggubris sama sekali ratap tangis istri dan anaknya yang memintanya mundur dari pencalegan akibat teror politik. Banyak, banyak, dan banyak lagi kesalahannya. Puncaknya, dia menembak orang tak berdosa secara amat kejam dan sadis.
"Astaghfirullaah, astaghfirullaah, astaghfirullaah,...." Hanya bacaan istighfar itu yang terus terucap dari mulut Pak Tejo di ruang tahanan Polresta Kediri sambil menunggu proses hukum berikutnya. Hanya doa mohon ampunan kepada Allah swt. itu yang dia ingat dari nasihat Kiai Ridwan. Dia selalu mengucapkannya tiap jam, menit, bahkan tiap saat. Baginya, permohonan itu wajib diucapkannya terus-menerus demi menebus dosa besarnya membunuh satu makhluk Allah yang berjenis manusia yang bernama Budi Susetyo. Dia berjanji akan mengucapkan istighfar itu sampai akhir hayatnya. Tidak hanya terbatas pada saat hukumannya selesai.
"Rasulullah saw. saja masih sudi beristighfar sehari paling tidak 100 kali meski sudah dijamin oleh Allah swt. masuk surga. Masak kita yang hanya berstatus sebagai umatnya dan berlumuran dosa ini malah enggan mengucapkan istighfar sebagai pemohonan ampun atas dosa kita kepada-Nya."
Wejangan Kiai Ridwan terakhir inilah yang saat ini menancap dan memenuhi relung kalbu Pak Tejo. Siang dan malam yang dia ingat hanya istighfar. Tiada kalimat yang terindah bagi Pak Tejo saat ini selain kalimat istighfar tersebut. Suaranya kian terbata-bata melantunkan istighfar itu manakala dia ingat bagaimana dia mencabut pistol, menodongkan ke jidat dokter gadungan Budi, menarik pelatuknya, hingga peluru itu menembus jidat korban. Tidak puas sampai di situ, dia tembakkan lagi ke mata kiri. Masih belum puas juga, lalu dia tembakkan lagi ke mata kanannya.
"Duh Gusti, betapa kejam dan sadisnya hamba-Mu ini, ya Allah! Astaghfirullaah, astaghfirullaah, astaghfirullaah, ...."
***
Kontras dengan Pak Tejo, di sel tahanan sebelahnya, terdengar teriakan kepuasan, "Aku menang! Tejo kalah! Tejo sekarang disel seperti diriku. Rasakan Tejo! Ini pembalasanku atas perampasan Rohimah, pacarku. Ha, ha, ha ...!"