***
Drrtttt....handphone ku bergetar. Kuambil dari saku celana dan kubuka. Ada SMS dari Dias. Pradi, bisa ke rumah malam ini? Ada banyak hal yang harus kita persiapkan. Kita harus memilih baju untuk prewedding. Catering juga menunggu kepastian. Kepalaku terasa terhimpit batu besar. Aku tidak ingin bertemu Dias apalagi membicarakan persiapan menikah. Tuhan, aku bingung.
SMS Dias tidak kubalas. Jemari ini tak ingin memencet tuts-tuts di HP. Serasa tiada daya untuk menekan tuts tersebut. HP pun kumatikan agar ada alasan aku tidak menerima SMS dari Dias.
Hal yang paling kutunggu adalah esok pagi. Pagi selalu membawa keceriaan dalam hidupku. Keceriaan yang ditebarkan oleh Sang Dewi dari sekolah dasar. Malam ini pikiranku melayang dan merencanakan banyak hal untuk esok pagi. Saat-saat bertemu Sang Dewi yang selalu mengusik hati dan pikiranku. Dia sedang apa malam ini. Mungkinkah dia memikirkan aku. Ah, aku selalu mengkhayalkan Sang Dewi.
Sang Dewi telah membuat hatiku meradang setiap waktu. Dia bernama Yulia. Wanita berkerudung yang selalu tampil rapi dan menawan. Berkulit putih dengan mata indah. Suaranya pun membuat telingaku selalu ingin kembali mendengar lantunan keindahan lagu-lagu nada yang keluar dari bibirnya.
"Assalamualaikum, Bu Yulia... apa kabar?"Â pagi ini kuberanikan diri datang lebih pagi sebelum Sang Dewi masuk kelas. Kusapa dia dan hatiku serasa hendak meledak.
"Wa'alaikumsalam, Pak Pradi. Alhamdulillah sehat. Pagi sekali Pak... mau ketemu Kepala Sekolah?" jawabnya merdu dan mengusik.
"Oh tidak, hanya ingin ngecek kebutuhan yang hampir habis. Saya lihat semen dan pasir harus saya stok kembali, Bu. Tidak ngajar Bu Yulia?"
"Sebentar lagi Pak. Saya masuk jam ke tiga. Mari Pak, saya masuk kantor dulu."
"Oh iya, silakan Bu!" jawabku sambil nyengir sedikit kecewa. Dia harus lenyap lagi dari hadapanku. Sedangkan aku masih ingin berbicara dengan dia.
Usiaku sudah tak muda lagi. 40 tahun sudah aku hidup dan belum juga menikah. Dias adalah pelarian cinta karena keterpaksaan menyenangkan ibu. Kini, hatiku terpaut pada Yulia. Bingung dan kacau bercampur di hatiku. Haruskah aku jujur pada Dias. Sedangkan undangan sudah akan dicetak. Tentu Dias akan hancur jika aku mengatakan sejujurnya. Dan aku menjadi lelaki pecundang.