Mohon tunggu...
Romy Roys
Romy Roys Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Muhammadiyah 2 Depok

Demi menghemat kertas, maka ku pilih kompasiana untuk mencurahkan isi pikiran dan hatiku...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

My First Love My Late Love

24 November 2014   16:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:00 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14177420051748815269

Siapa yang bisa tahu kapan kita jatuh cinta. Kurasa tak ada satu manusia pun yang mengetahui hal itu. Cinta itu sesuatu yang gila dan tak bisa direncanakan. Itulah yang terjadi padaku. Setelah sekian tahun hidup dalam pengembaraan, tak pernah sedikitpun kurasakan getaran dalam hatiku. Atau mungkin diri ini terlalu sibuk bekerja. Sibuk dengan berbagai gambar rencana pembangunan jembatan yang selalu memforsir pikiran. Hingga aku melupakan bahwa hidup ini indah ketika hati digetarkan oleh seorang dewi.

Kini getar hati itu kurasa. Sampai menggoyangkan lututku ketika berjumpa dengan Sang Dewi. Malu bercampur aduk dengan keinginan mengungkapkan rasa terpendam. Apakah ini yang namanya jatuh hati? Aku belum paham meski usiaku sudah kepala empat. Rasa ini baru kualami. Baru sekali seumur hidupku. Dan aku dibuatnya tak bisa tidur. Tak sanggup kunyatakan bahwa aku telah jatuh cinta karena aku tak mengerti jatuh cinta itu seperti apa. Kubiarkan tubuh ini bagai orang sakau, bergetar, mual, dan berasa berantakan.

Sang Dewi itu telah mengusik hatiku. Tapi kutakut untuk melanjutkan rasa yang muncul. Aku tahu semua telah terlambat. Mungkin dia sudah menikah. Dan aku tinggal beberapa meter lagi menuju pelaminan dengan seorang gadis yang entah bagaimana bisa aku melamarnya. Padahal aku tak pernah merasakan hal yang kini kualami. Rasa kegilaan selalu ingin berjumpa meski hanya ngobrol dan melihat Sang Dewi.

Usiaku sudah tak lagi muda. Orang tuaku meminta agar aku segera menikah. Tanpa berpikir panjang, wanita yang kuingat adalah Dias. Teman KKNku. Kurasa dia wanita baik dan bisa kujadikan istri. Aku sama sekali tak paham, mengapa aku melakukan ini.

Bangun jam empat pagi, kuambil air wudu. Aku pun salat subuh. Setengah jam kemudian aku mandi dan bersiap-siap hendak bekerja. Ibuku heran melihat perubahanku yang spektakuler. Bagaimana bisa aku serajin ini. Aku hanya tersenyum ketika ibu menegurku.

"Pradi, tumben kamu. Ini masih pukul setengah lima pagi. Kok sudah siap-siap, mau kemana?" tanya ibu.

"Ke tempat kerja Ibu. Ada yang harus Pradi selesaikan."jawabku agak gugup.

"Sepagi ini, Nak? Semangat sekali."

Aku hanya tersenyum, mengambil sisir dan menyisir rambut sambil merapikan baju. Aku harus terlihat rapi dan ganteng di mata Sang Dewi. Kupandangi diri di cermin, aku sedikit gila rupanya. Kulihat jam dinding sambil kupandang suasana pagi lewat tirai jendela yang sedikit terbuka. Benar kata ibu, ini masih pagi sekali. Mana ada kantor buka sepagi ini. Aku tertawa sendiri, tapi aku harus keluar pagi ini. Rencanaku sudah sederet bilangan aritmatika. Pertama aku ke bengkel. Ada beberapa mobil pelanggan yang harus ku cek. Baru kemudian aku melihat proyek tempat Sang Dewiku bekerja.

Sang Dewi kutemukan tak sengaja di sebuah sekolah dasar. Dia mengajar anak-anak SD yang masih lugu dan lucu. Sering aku mencuri pandang ketika Sang Dewi bermain-main dengan murid-murid kala istirahat. Dia tampak gembira dan sangat cantik. Rona wajah penuh kasih selalu muncul aura cinta di kisaran Sang Dewi. Entah mengapa aku senang sekali melihat dan menyapa dia. Hatiku begitu tenang dan damai saat berada satu lokasi dengan dia. Rasa ini belum pernah ada sebelumnya. Bahkan dengan Dias sekali pun, belum pernah kurasakan. Padahal Dias adalah calon istriku yang sebentar lagi akan mendampingi hidupku.

"Selamat pagi, Bu!" Sapaku ketika berjumpa Sang Dewi pujaan hatiku.

"Pagi, Pak! Bagaimana kabar Bapak?" jawabnya sembari menanyakan kabarku.

"Alhamdulillah baik, Ibu sehat juga?" lanjutku.

"Alhamdulillah sehat, Bapak. Pekerjaan Bapak di SD ini hampir selesai rupanya?"

"Oh, masih lama Bu. Gedung perpustakaan ini baru 30%, masih banyak yang harus diselesaikan. Ibu sudah tidak sabar ya?" jelasku.

"Tidak juga Bapak. Saya hanya bertanya saja, daripada tidak ada yang harus saya tanyakan he he he." Jawab Sang Dewi cantik sambil tertawa.

Ternyata wanita ini lucu juga dan tampak apa adanya. Suka bercanda, alami serta enak didengar. Entah karena aku tertarik padanya atau memang dia lucu. Ah, yang terpenting adalah aku bisa ngobrol dan melihat wajah manis Sang Dewi.

"Maaf Pak, saya masuk kelas dulu. Kepala Sekolah ada lho Pak. Silakan ke kantor jika hendak bertemu!" Sang Dewi membuyarkan lamunan singkatku dan aku begitu grogi.

"Eeh...iya Bu terima kasih. Saya belum ingin bertemu. Nanti saja, saya akan mengecek para pegawai dulu."

"Baik, mari Bapak." Sang Dewi pun berlalu sambil tersenyum damai.

Jantungku serasa lepas dari sarangnya. Aku harus memegangi dadaku, takut jika benar-benar jantung ini melompat dari tempatnya. Tuhan, kenapa aku ini. Lututku kutahan agar tidak bergetar. Malu jika orang lain tahu bahwa aku sedang jatuh cinta dan tak bisa menahan diri dengan kekalutan hati.

Para pegawai mulai memasang genting gedung perpustakaan. Ada satu genting yang tidak rapi. Kuminta mereka mencopot kembali dan merapikan. Pekerjaan harus sempurna agar pelanggan puas. Bagiku kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Mereka harus selalu diawasi agar tak sembarangan bekerja. Apalagi proyek di SD ini. SD spesial bagiku. SD yang wajib kukunjungi setiap hari. Berbeda dengan proyek lain. Paling-paling seminggu sekali aku mengecek pekerjaan pegawaiku. SD ini harus tiap hari aku datangi. Ada magnet yang menarikku untuk selalu datang ke SD ini.

***

Drrtttt....handphone ku bergetar. Kuambil dari saku celana dan kubuka. Ada SMS dari Dias. Pradi, bisa ke rumah malam ini? Ada banyak hal yang harus kita persiapkan. Kita harus memilih baju untuk prewedding. Catering juga menunggu kepastian. Kepalaku terasa terhimpit batu besar. Aku tidak ingin bertemu Dias apalagi membicarakan persiapan menikah. Tuhan, aku bingung.

SMS Dias tidak kubalas. Jemari ini tak ingin memencet tuts-tuts di HP. Serasa tiada daya untuk menekan tuts tersebut. HP pun kumatikan agar ada alasan aku tidak menerima SMS dari Dias.

Hal yang paling kutunggu adalah esok pagi. Pagi selalu membawa keceriaan dalam hidupku. Keceriaan yang ditebarkan oleh Sang Dewi dari sekolah dasar. Malam ini pikiranku melayang dan merencanakan banyak hal untuk esok pagi. Saat-saat bertemu Sang Dewi yang selalu mengusik hati dan pikiranku. Dia sedang apa malam ini. Mungkinkah dia memikirkan aku. Ah, aku selalu mengkhayalkan Sang Dewi.

Sang Dewi telah membuat hatiku meradang setiap waktu. Dia bernama Yulia. Wanita berkerudung yang selalu tampil rapi dan menawan. Berkulit putih dengan mata indah. Suaranya pun membuat telingaku selalu ingin kembali mendengar lantunan keindahan lagu-lagu nada yang keluar dari bibirnya.

"Assalamualaikum, Bu Yulia... apa kabar?"  pagi ini kuberanikan diri datang lebih pagi sebelum Sang Dewi masuk kelas. Kusapa dia dan hatiku serasa hendak meledak.

"Wa'alaikumsalam, Pak Pradi. Alhamdulillah sehat. Pagi sekali Pak... mau ketemu Kepala Sekolah?" jawabnya merdu dan mengusik.

"Oh tidak, hanya ingin ngecek kebutuhan yang hampir habis. Saya lihat semen dan pasir harus saya stok kembali, Bu. Tidak ngajar Bu Yulia?"

"Sebentar lagi Pak. Saya masuk jam ke tiga. Mari Pak, saya masuk kantor dulu."

"Oh iya, silakan Bu!" jawabku sambil nyengir sedikit kecewa. Dia harus lenyap lagi dari hadapanku. Sedangkan aku masih ingin berbicara dengan dia.

Usiaku sudah tak muda lagi. 40 tahun sudah aku hidup dan belum juga menikah. Dias adalah pelarian cinta karena keterpaksaan menyenangkan ibu. Kini, hatiku terpaut pada Yulia. Bingung dan kacau bercampur di hatiku. Haruskah aku jujur pada Dias. Sedangkan undangan sudah akan dicetak. Tentu Dias akan hancur jika aku mengatakan sejujurnya. Dan aku menjadi lelaki pecundang.

***

"Pradi, sampai dimana perkembangan undangan pernikahanmu? Ini daftar teman Bapak dan Ibu yang kami undang. Ingat ya, jaga kesehatanmu. Di hari bahagiamu, kamu harus tampil luar biasa." Ibu memulai perbincangan yang sebenarnya tak kuharapkan.

"Iya Bu, pasti Pradi ingat pesan Ibu. Ibu perhatian sekali. Love you Bu. He he he..." aku tertawa padahal hatiku kecut sekali.

Hari H semakin dekat. Apa yang harus kulakukan? Seribu kegalauan menghampiri pikiranku. Kenapa Yulia. Kenapa kau hadir di saat tak tepat. Andaikan kita bertemu setahun lalu. Tentu hari ini kita bahagia. Apakah Yulia menyukai aku? Ah aku terlalu percaya diri. Belum tentu juga Yulia mau menikah dengan aku. Aku belum bisa mendekatinya. Meski kekagumanku akan kehalusan bahasa dan kecantikannya semakin dalam.

***

"Maaf Bu Yulia, kepala sekolah bilang Ibu ditunjuk sebagai penanggung jawab pembangunan Perpustakaan ya?"

"Benar Pak. Saya tidak tahu menahu tentang pembangunan gedung. Gimana ya Pak?"

"Oh, gampang Bu. Kan ada saya. Nanti Ibu saya ajari."

"Baik Pak Pradi. Terima kasih."

"Jadi kalau saya membutuhkan apa-apa yang berkaitan dengan pembangunan, saya menghubungi Ibu kan?"

"Ya begitulah Pak Pradi."

Ini mungkin jalan Tuhan untukku. Pucuk dicinta ulam tiba. Dari kemarin berpikir keras, bagaimana meski mendekati Yulia. Nah, ada kesempatan tanpa terduga. Terima kasih Tuhan. Kau selalu memberiku jalan terindah. Paling tidak ada jalan meski sedikit mendekati Yulia. Aku ingin tahu lebih jauh tentang Yulia.

"Bu Yulia ada keturunan Timur Tengah ya?" tanyaku melanjutkan pembicaraan.

"Wah, tidak Pak. Saya Jawa tulen. Kenapa Pak?"

"Hidung dan mata ibu, mirip dengan orang Timur Tengah he he he..." jawabku sedikit malu tertahan. "Ibu asli dari Yogya?" lanjutku.

"Bukan Pak, saya dari Semarang. Kalau Bapak, dari mana?"

"Saya lahir di Jember Bu. Besar di Jogjakarta. Asli mana ya jadinya? Saya juga bingung Bu." Jawabku agak ngawur.

***

Kukendarai Honda Fortunerku menuju Kali Kuning. Aku harus mengecek pekerjaan karyawan yang sedang mengoperasikan eskalatorku. Tentu puluhan truk sudah mengantri panjang. Langgananku semakin melimpah. Sempilan karyawanku pun semakin kuwalahan.

Kuparkir mobil satu kilo dari tempat penambangan pasir. Teriknya matahari siang ini, lumayan membuatku kepanasan. Wah bisa-bisa aku jadi hitam karena sinarnya. Ah, aku kan laki-laki biar saja. Kaki kulangkahkan menuju Kali Kuning. Kujumpai operator. Aku mengecek semua sparepart eskalatorku. Semua baik. Aku pun melangkahkan kaki menuju rumah Pak Lurah. Di rumah Pak Lurah ku tempatkan 9 karyawanku untuk menginap.

"Siang Pak Lurah!" sapaku.

"Hai Pak Pradi. Gimana kabarnya? Wah kebetulan, hari ini ada pesta kecil. Mari-mari kita langsung makan siang saja." Pak Lurah mengajakku ke ruang makan. Kebetulan cacing di perutku mulai sedikit berontak.

Kubuka tudung saji di meja makan. Setumpuk ikan lele berjajar dengan bumbu kuning membuatku lari tunggang langgang. Aku keluar ruang makan dan nafsu makan pun lenyap.

"Maaf Pak Lurah, saya tidak suka lele. Saya takut Pak."

"Wo iya to Pak Pradi. Lele itu istimewa lho. Enak sekali. Kok bisa Pak Pradi takut lele. Ayo dicoba, kan belum mencoba masakan istri saya." Pak Lurah tetap memaksa.

"Tidak Pak Lurah terima kasih. Saya sudah kenyang melihat lele sebanyak itu. Makan siang itu diberikan ke karyawan saya saja Pak. Tentu mereka senang. Boleh kan Pak?"

"Ya ya ya...tentu boleh Pak Pradi."

Geli bercampur takut melihat ikan lele segunung. Namun, bagi mereka itu menu istimewa. Sejak kecil aku tidak mau makan lele. Bagiku binatang satu ini memang menakutkan. Melihat kepala lele aku membayangkan sesuatu yang menakutkan. Lebih baik aku makan tempe goreng, sambel, dan kerupuk. Menu ini lebih laik menurutku daripada ikan lele.

***

Handphoneku bergetar. Dias memanggilku.

"Assalamualaikum, gimana Dias?"

"Mas, kemarin aku sms, kok tidak dibalas? Kita harus foto prewedding kan. Kapan kamu ada waktu?"

"Oh ya, aku tidak menerima SMS kamu. Waduh, kapan ya? Aku masih sibuk. Sekarang aku sedang di Kali Kuning. Sebentar lagi ke bengkel ngecek mobil-mobil yang harus diperbaiki. Kemudian aku ke Griya Molek, ngecek para tukang yang merenovasi rumah." Jawabku panjang penuh alasan.

"Kalau begitu malam hari juga tidak apa-apa kan? Toh foto kita di studio. Nanti malam ya. Aku tunggu kamu pukul 20.00. oke Mas!" desak Dias.

Tuhan, aku harus bagaimana? Aku tidak ingin melanjutkan pernikahan itu. Aku tidak mencintai Dias. Aku mencintai Yulia meski terlambat.

***

Kulihat kalender, sekarang sudah tanggal 10 Oktober. Padahal rencana pernikahan ku dengan Dias tanggal 2 Desember. Dua bulan lagi adalah hari bahagia Dias dan hari burukku. Bukan salah Dias. Akulah yang mendekatinya untuk kujadikan istri. Tapi itu kulakukan karena ibu mendesakku menikah. Usiaku sudah 40 tahun. Belum beristri adalah sebuah hal tak lazim bagi ibu.

Saat ibu mendesak, wanita yang kukenal pertama adalah Dias. Kukira semua wanita sama saja. Ternyata, setelah aku kenal Yulia, hatiku pun goyah dan tak lagi hendak menikahi Dias. Andaikan ada cara untuk menghindari pernikahan ini. Dan kupastikan aku menyakiti Dias. Wanita yang baik dan sangat baik. Aku sayang Dias meski tak mencintai dia. Kukira dengan rasa sayang saja aku bisa menikah. Ternyata tak cukup. Kini kugoyah.

***

Hampir sebulan aku mengerjakan gedung perpustakaan SD Sang Dewi. Rasanya ingin kubuat satu tahun lamanya, jika tak melihat batas waktu yang diberikan Kepala Sekolah. Biar aku punya alasan bertemu Yulia.

"Pagi Bu Yulia, maaf Bu, ada yang mau saya tanyakan. Nanti sore Ibu ada waktu tidak ya?" aku memulai pembicaraan ketika berjumpa dengan Yulia.

"Ada yang bisa saya bantu Pak Pradi? Bisa saja." Jawabnya lembut.

"Begini Bu, saya ingin mengajak Ibu untuk mengecek kekurangan gedung perpustakaan. Mungkin ada yang harus dibenahi atau ada permintaan lain untuk kelengkapan gedung perpustakaan." Jelasku.

"Oh begitu, baik Pak. Nanti sore jam tiga ya Pak."

"Baik Bu, kalau begitu saya pamit dulu. Nanti jam tiga saya ke sini lagi Bu Yulia. Selamat pagi Bu. Selamat mengajar." Aku pamit sambil berdebar-debar. Aku membalik badan, segera menuju parkir. Aku harus menyelesaikan pekerjaan di Kali Kuning, bengkel dan rehab rumah. Aku tak ingin melewatkan kencanku dengan Yulia.

***

Segera kutancap gas menuju SD Sang Dewi. Tak sabar diri ini menatap wajah manisnya. Aku merasa sebagai orang tak waras. Padahal aku sudah seusia ini. Ternyata usia tak membedakan rasa ketika ada ketertarikan dengan lawan jenis. Aku seperti tokoh dalam FTV yang sedang dilanda asmara. Bedanya tokoh FTV masih muda dan aku sudah berumur.

Kulihat dari kejauhan Sang Dewi berada di masjid sekolah. Tampaknya dia baru saja menyelesaikan salat ashar. Ya Tuhan, berilah jalan terindah untukku. Untuk rasa hatiku yang selalu bergetar karena Yulia. Dia menghampiri aku. Dan sudah pasti, jantungku berdebar keras.

"Sore Pak Pradi. Tepat waktu juga ya Bapak." Sapanya.

"Iya dong Bu. Saya gitu lho he he he... Gimana Bu, jadi ya kita ngecek gedung perpustakaan. Mari Bu." Kami berdua pun melangkahkan kaki menuju gedung perpustakaan yang baru 50% jadi. Aku jelaskan berbagai hal agar Yulia mengerti dan paham. Kulihat dia manggut-manggut tanda paham. Meskin dia guru SD yang tak berkutat pada pembangunan gedung, tapi dia tampak cerdas.

Banyak hal dia tanyakan. Dan aku semakin menikmati wajahnya. Semakin dia sering bertanya, maka semakin sering aku memandangnya.

"Bu Yulia sudah menikah?" tanyaku memulai pembicaraan sedikit pribadi. "Maaf Bu, kalau pertanyaan saya lancang."

"Oh, belum Pak. Kenapa Pak? Saya tampak seperti wanita sudah menikah ya, he he he.."

"Bukan begitu Bu Yulia. Saya hanya tidak enak saja. Siapa tahu Ibu harus mengurus putra Ibu di rumah. Ini kan sudah sore. Takut mengganggu aktivitas Ibu di rumah." Jawabku sambil ingin teriak MERDEKA. Aku begitu bahagia mendengar jawaban Yulia. Ingin kukatakan padanya bahwa aku suka dia. Tapi masih kutahan.

"Kalau Bapak sendiri, apakah sudah menikah?" dia balik bertanya. Aku harus jawab apa ya, bingung. Tapi aku harus jujur.

"Hampir Bu. Rencananya tanggal 2 Desember."

"Oh begitu." Kulihat wajah Yulia sedikit meredup. Entah apa yang ia pikirkan.

"Kenapa Bu?" tanyaku segera.

"Ah tidak apa-apa Pak Pradi. Ikut senang saja, Bapak sebentar lagi mengakhiri masa lajang."

"Kenapa Ibu belum menikah? Usia Ibu berapa?" tanyaku lancang sedikit menyelidik.

"Saya belum ketemu jodoh Pak. Usia saya 30 tahun. Sudah tua ya Pak. Malu saya." Ungkapnya.

"Tidak apa-apa Bu. Memangnya pria seperti apa yang menjadi idaman Ibu?"

"Ah Bapak mau tau saja. Sudah kita bicara tema lain saja. Suatu saat Bapak pasti tahu tipe pria idaman saya. Pasti saya cerita ke Bapak he he he...kalau tidak lupa." Jawab Yulia dengan bercanda.

Perbincangan yang cukup menambah pengetahuanku. Lumayan bisa membuatku lega bahwa dia belum memiliki jodoh apalagi menikah. Masih ada kesempatan, pikirku nakal. Uuppss...Dias... terlintas dibenakku wajahnya yang sederhana. Dias, kenapa kau hadir di hidupku sebelum aku menemukan jantung hatiku.

***

Adzan maghrib berkumandang. Kuambil air wudlu, kubasuh muka betapa sejuk dan segar kulit wajahku. Kuselesaikan sesuai urutan hingga doa setelah wudlu. Begini-begini aku tetap ingat ajaran ustad Solihin. Ustad bilang ketika berwudhu sebaiknya sambil doa karena setiap anggota tubuh kita bisa jadi melakukan dosa. Mulut bisa jadi berbicara tidak baik. Telinga bisa jadi mendengar hal tidak baik.

Tanpa kusadari, aku salat begitu khusyuk. Tak seperti biasanya. Selesai salat, wajah Yulia terbayang. Senyumnya dan binar matanya mengusik hatiku. Kulantunkan doa, andaikan Yulia bisa mendampingi hidupku. Tuhan berilah keajaiban untuk ku. Aku ingin Yulia bukan Dias.

***

"Bu, Ibu sibuk nggak? Pradi mau ngobrol sama Ibu."

"Untuk anak Ibu, apa sih yang tidak Ibu berikan? Ada apa Pradi? Meski kamu sudah 40 tahun, tetap saja kamu itu anak Ibu yang harus Ibu perhatikan." Jawab Ibu menentramkan hatiku. Berada di dekat Yulia setentram berada di dekat Ibu. Kedua wanita ini sungguh istimewa di hatiku. Meski aku tidak tahu perasaan Yulia terhadapku. Aku harus mencari tahu.

"Bu, waktu Ibu menikah dengan Bapak, Ibu bahagia?" tanyaku membuka pembicaraan serius.

"Ibu dan Bapak hidup di jaman yang berbeda dengan kamu. Ibu tidak tahu apa itu cinta. Kalau kamu dan Dias, tentu ada rasa cinta sehingga kamu memutuskan menikahi Dias." jelas Ibu.

"Maksud Ibu, Ibu dan Bapak dijodohkan ya?"

"Iya, kami dijodohkan oleh Eyangmu. Jaman dulu tidak ada masa pacaran Pradi. Semua diatur kedua orang tua. Dan Ibu bahagia. Bapak juga. Ketika dua insan menikah yang ada adalah saling menghormati, tidak menyakiti, dan saling menjaga." Kata-kata Ibu menyesakkan dadaku.

"Bu, Pradi jatuh cinta pada seorang wanita, tapi bukan Dias." Ucapku jujur. Kulihat mata Ibu terbelalak kaget. Kulihat mata ibu hendak menangis. Aku bergetar. Aku menyesal menyampaikan isi hatiku kepada Ibu. Aku tak bermaksud menyakiti Ibu.

"Maafkan Pradi Ibu. Pradi lelaki yang jahat ya Bu?" kulihat Ibu masih tertegun.

"Nak, menikah itu sekali untuk selamanya. Tentukan dengan benar, wanita yang kamu cintai dan bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu dan menjadi istri yang baik untuk suaminya." Ibu menjawab dengan sangat indah dan menentramkan.

"Jadi, Pradi masih boleh memilih?"

"Semua belum terlambat, Nak. Kamu belum menikah. Kalian baru berencana. Ibu tidak ingin anak Ibu menderita. Ibu ingin kamu bahagia dengan wanita yang kamu cintai. Dan Ibu tidak akan bertanya mengapa kamu hendak menikahi Dias, karena Ibu sudah tahu jawabannya." Ibu adalah wanita pengertian dan sangat baik. Tak tampak kekecewaan dalam wajah Ibu. Selalu Ibu memikirkan aku.

"Bu, benarkah tindakanku jika aku menghentikan proses menuju pelaminan dengan Dias? Bagaimana jika Dias sakit hati kemudian berbuat diluar batas?" aku khawatir.

"Lebih cepat kamu beri pengertian kepada Dias, lebih baik. Nanti Ibu dan Bapak akan berembug dengan orang tua Dias. Kamu beri pengertian ke Dias. Beri pengertian yang masuk akal tanpa harus menyakiti. Paham, Nak?"

***

Terbayang raut muka Dias. Rasanya tak sanggup aku mengatakan yang sejujurnya. Dias adalah wanita baik. Aku tidak tega menyakiti hati Dias. Harus bagaimana aku?

Mobil kuparkir tepat di depan pagar rumah Dias. Kubuka pintu mobil dengan hati berat. Aku seakan membawa batu satu ton. Punggungku terasa berat. Mulutku apakah sanggup memberi pengertian sedangkan Dias begitu antusias menyiapkan pesta pernikahan kami.

Kuketok pintu rumah Dias. Dari balik tirai jendela, terlihat Dias tersenyum manis. Tuhan, akankah senyum Dias ini akan segera berakhir dengan berita yang kubawa? Aku tak tega mengatakan hal ini kepada Dias. Aku sayang Dias, tapi aku mencintai Yulia.

"Hai, Pradi. Akhirnya kamu datang juga. Yuk, ke studio foto. Kita sudah ditunggu sejak kemarin." ajak Dias.

"Yuk, kalau begitu kita berangkat sekarang." Aku iyakan ajakan Dias. Aku punya rencana. Dias akan kuajak berputar-putar dan mencari tempat yang enak untuk ngobrol.

Kami berdua masuk mobil. Kunci ku putar dan mesin pun menyala. Kumasukkan gigi satu sambil kutekan kopling. Kulirik Dias, senyum masih menghiasi bibirnya. Dadaku pun serasa remuk. Antara tega dan tidak tega. Tetapi teringat kata Ibu bahwa menikah itu sekali untuk selamanya. Jika aku menikah karena kasihan, maka ke depan bisa jadi ada masalah yang muncul.

"Dias, kita mampir ke taman dulu ya?" aku memulai perbincangan.

"Boleh, sudah lama juga aku tidak ke taman kota, Mas. Di sana tuh banyak anak-anak kecil. Rasanya aku tidak sabar Mas, ingin menimang seorang bayi. Tentunya bayi kita." Jawab Dias panjang dan menambah sesak dadaku.

Mobil kuparkir di bawah pohon asem. Kami keluar mobil. Kulangkahkan kaki menuju kursi taman depan kolam ikan. Kucari tempat yang tenang dan bebas orang berlalu lalang. Kami duduk menghadap ke Timur. Kuambil sebuah batu dan kulempar ke kolam. Gelombang kecil muncul memutar diiringi suara batu jatuh ke air.

"Dias, eee....kamu sehat?" aku memulai pembicaraan.

"Sehat, Mas. Kok tanyanya gitu?"

"Kamu benar-benar yakin ingin menjadi istriku?" lanjutku.

"Mas, sendiri bagaimana? Yakin ingin menjadi suamiku?" Dias balik bertanya dan aku diam sejenak.

"Mas, kok diam? Kenapa pertanyaanmu seperti itu. Seharusnya kamu tidak usah bertanya. Dari kemarin aku menghubungi mu untuk foto prewedding. Tahu kan artinya?" lanjut Dias. Dan aku masih diam tak bisa menjawab.

"Mas ragu? Mas tidak yakin? Mas bimbang?" pertanyaan Dias seakan mengetahui isi kepalaku.

"Dias, aku bingung." Jawabku dengan nada rendah.

"Bingung? Bingung kenapa?"

"Aku merasa semakin dekat hari pernikahan kita, semakin aku tidak siap menjadi seorang suami. Aku takut menyakiti kamu Dias." Jelasku agak memutar. Aku tidak mungkin mengatakan dengan jujur tentang kebingunganku.

"Trus, kita harus bagaimana?" Jawab Dias.

"Menurut kamu bagaimana?" aku balik bertanya karena aku benar-benar tidak mau mengutarakan hal sebenarnya.

"Mas, menikah itu sekali seumur hidup. Jika kamu ragu, lebih baik kita tunda pernikahan ini. Toh semua belum terlanjur. Aku tidak apa-apa kok Mas. Meski aku sedih, tapi aku pikir daripada setelah menikah ada masalah dalam rumah tangga kita, lebih baik kita tunda saja." Dias menjawab dengan bijak. Aku benar-benar kaget dengan jawaban Dias. Tidak kusangka dia akan menjawab seperti itu. Dadaku yang dari tadi sesak mau meledak kini agak lega dan bisa bernafas.

"Menurutmu itu yang terbaik?" aku bertanya kembali untuk meyakinkan kata-kata Dias.

"Iya Mas. Bagiku sebuah pernikahan itu bukan mainan. Kamu sudah 40 tahun dan aku 37 tahun. Kita sama-sama sudah dewasa. Bukan anak remaja. Meski aku sudah tidak muda lagi, namun aku tidak akan terburu-buru menikah. Apalagi hanya beralasan usia sudah tua." Dias menambah penjelasannya.

"Begitu ya. Aku juga berpikir demikian Dias. Trus, apa yang harus kita sampaikan kepada orang tuamu?"

"Mudah saja Mas, nanti Dias yang akan menjelaskan. Kamu cukup mendampingi aku saja. Jika mereka bertanya jawablah dengan jawaban masuk akal."

"Kapan kita sampaikan ini ke orang tua kamu?"

"Sekarang kita pulang ke rumah dan kita jelaskan kepada orang tuaku." Dias tampak tabah.

"Dias, kamu tidak sakit hati dengan keraguanku?"

"Lebih baik ditunda daripada kita sudah menikah tetapi masalah semakin banyak. Mas, bagiku menikah itu bukanlah mainan." Jawaban Dias menambah semangat di dadaku. Kami pun menuju mobil dan kembali ke rumah Dias.

***

Kami masuk rumah. Kami menghampiri ayah dan ibu Dias yang sedang bersantai di ruang keluarga.

"Lho, cepat sekali foto preweddingnya? Sini-sini calon menantu Bapak. Wah, sebentar lagi kamu adalah anggota keluarga kami." Sambut ayah Dias.

"Ayah, ibu Dias dan Mas Pradi mau bicara." Dias membuka pembicaraan serius.

"Ada apa Dias? Bicara saja, bukankah kita selama ini selalu demokratis. Kita bebas bicara selama sopan dan santun tetap kita jaga." Jawab ayah Dias.

"Ayah, Ibu sebelumnya Dias dan Mas Pradi minta maaf. Tadi kami tidak jadi ke studio. Kami ngobrol di taman kota."

"Lalu?"

"Kami berdua sepakat untuk menunda pernihakan ini."

"Dias, berapa usiamu sekarang? Usia mu sudah begitu terlambat untuk menikah. Sebulan lagi kamu sudah akan menikah, kenapa ditunda? Ayah dan ibu tidak habis pikir." Ayah Dias tampak kurang berkenan.

"Maaf Pak, perkenankanlah saya menjelaskan." Aku mencoba membantu Dias menjelaskan.

"Cukup Nak Pradi. Kamu tidak usah menjelaskan. Kamu itu lelaki macam apa? Apa yang membuat kalian menunda pernikahan sedangkan usia kalian sudah sepantasnya tidak melajang." Ayah Dias tampak begitu berang. Aku tidak berani menatap mata lelaki tua itu. Dias mencoba menenangkan aku dengan memegang tanganku.

"Siapa yang punya ide untuk menunda pernikahan kalian? Kamu Dias atau kamu Nak Pradi?" ayah Dias benar-benar marah. Sambil menunjuk dia bertanya kepada kami berdua.

"Dias ayah. Dias yang menunda pernikahan ini." Dias menjawab tidak jujur untuk melindungi ku.

"Jelaskan kepada Ayah. Sejelas-jelasnya, alasan kamu menunda pernikahan."

"Maafkan Dias. Ayah, menurut Dias, menikah itu sekali seumur hidup. Seperti ayah dan ibu. Dias juga ingin menikah segera, tapi Dias ragu Ayah. Dias merasa tidak yakin hendak menikah dengan Mas Pradi. Maafkan Dias ayah." Dias kembali berbohong. Aku semakin tak sanggup menatap wajah ayah Dias.

"Trus Nak Pradi setuju begitu saja? Iya Nak?" Ayah Dias bertanya padaku dengan nada tinggi.

"Maaf Pak. Sebenarnya saya yang salah bukan Dias. Saya yang masih ragu bukan Dias." Aku menjawab dengan gemetaran, khawatir kalau-kalau ada tamparan melayang ke wajahku.

"Ayah semakin tidak mengerti. Tadi Dias yang bilang ragu, sekarang kamu yang katanya ragu. Jadi kalian berdua ragu, begitu. Intinya begitu, iya? Kalau begitu kalian putuskan saja pertunangan kalian. Sekali ragu selamanya ragu. Kalian tidak usah menikah. Kalian cari saja pasangan lain untuk kalian sendiri-sendiri." Ayah Dias sangat marah dengan kami. Dia langsung meninggalkan kami berdua. Dia gandeng ibu Dias menuju kamar mereka. Aku dan Dias hanya melongo dan berpandangan. Mata Dias tampak berkaca kaca. Hatiku terasa dihimpit. Ini memang menyedihkan tetapi menyelesaikan permasalahan ku. Aku seperti tokoh antagonis yang pecundang.

Aku ajak Dias keluar rumah. Dias pun mengikuti ku dari belakang.

"Dias, maafkan saya. Saya tidak tahu kalau semua jadi begini. Saya menyesal."

"Tidak apa-apa Mas. Lebih baik begini. Aku memang terluka, tapi aku juga tidak akan memaksakan sesuatu yang tidak yakin. Maafkan aku juga Mas."

"Dias, aku pulang dulu. Sekali lagi maafkan saya. Lain waktu saya ke sini lagi bersama kedua orang tuaku. Untuk meminta maaf kepada kedua orang tuamu." Aku pun menuju mobil dan berlalu dari rumah Dias.

***

"Ibu, Ibu dimana? Bu...!" kucari Ibu. Aku harus segera bercerita pada Ibu.

"Ada apa Pradi? Kok kelihatan tegang begitu? "

"Bu, aku sudah bicara dengan Dias. Orang tua Dias juga sudah tahu. Dias bisa menerima Bu, tapi aku berbohong tentang Yulia. Aku tidak jujur kepada Dias, Bu."

"Sudahlah, jika kamu jujur, justru akan menghancurkan hati Dias. Entah apa alasan kamu, yang penting kamu tidak jadi menikah dengan Dias. Kasihan Dias, tapi meski bagaimana lagi." Kata-kata Ibu selalu mendukungku.

Dalam hati kecilku, sedikit merasa berdosa kepada Dias. Kuberusaha membuang jauh-jauh rasa bersalah itu. Kupikir daripada aku tidak setia setelah menikah, membatalkan pernikahan akan lebih baik.

***

Pagi begitu dingin, musim penghujan telah tiba. Air yang biasanya sejuk kini sangat dingin. Kewajiban salat subuh tetap harus berjalan. Salat itu sebuah kewajiban seorang umat kepada Tuhan. Pagi ini, hatiku terasa lebih ringan. Jika kugambarkan seperti sebuah kapas yang tertiup angin. Melayang ke sana kemari mencari tempat hinggap. Nafasku lebih leluasa tanpa sesak. Hari-hari lalu serasa berat untuk menghirup udara.

Hari ini aku harus bertemu Yulia. Ingin kuungkapkan rasa terpendam. Kuharap dia pun memiliki rasa yang sama. Jika tidak, entah apa yang harus kubuat. Paling tidak aku berusaha menyampaikan apa yang kurasa.

"Hai...Pak Pradi! Apa kabar?" Yulia menyapaku terlebih dahulu. Baju hijau marunnya menambah cantik wajah putihnya. Dia keluar kantor guru dan tampak berseri-seri dengan senyum mengembang. Sungguh sempurna ciptaan Tuhan satu ini.

"Oh, hallo Bu. Baik. Ibu bagaimana kabarnya?" jawabku sedikit gugup. Sungguh aku sangat gugup. Jika berdiri di dekat Yulia, kakiku terasa ringan hendak melayang. Jika Yulia memandangku, rasanya wajahku lepas dari batoknya.

"Pak, pembangunan gedung sudah 80%. Kemungkinan dua minggu lagi selesai ya Pak." Yulia memulai pembicaraan dengan mempesona. Ah, aku begitu menyukainya.

"Bu Yulia, apakah boleh kalau pembangunan gedung sudah selesai, saya main ke SD ini?"

"Boleh saja Pak. Tapi kenapa begitu?"

"Hanya pengin ngobrol saja dengan Bu Yulia. Boleh Bu?" tampak mata Yulia memandangku dengan penasaran. Pasti dia sudah merasa kalau aku jatuh hati padanya. Dia mengembangkan senyumnya.

"Boleh Pak. Silakan!" jawabnya ramah dengan senyum manisnya.

"Bu, kita lihat gedung perpustakaan yuk. Kita cek, siapa tahu ada yang kurang." Ajakku mencari-cari alasan agar bisa berdua dengan Yulia.

"Boleh Pak." Jawab Yulia tak pernah menolak permintaanku. Dia selalu muncul ketika aku datang. Dia selalu menyapaku dan selalu menemani aku jika aku ke SD.

Yulia berjalan di depanku. Aku mengikuti dia. Kucium aroma parfumnya begitu wangi sewangi rona wajahnya. Dia masuk ke gedung perpustakaan. Berbagai bahan bangunan masih terserah di lantai dan di sudut-sudut ruangan. Kakinya selalu berusaha menghindari kayu-kayu dan batu yang masih belum kami bersihkan. Aku hanya bisa memandangnya dari belakang.

Ups Yulia menginjak bambu kecil di depannya. Dia pun kehilangan keseimbangan. Aku pun berlari dan menangkap tubuhnya. Mata kami beradu. Kami tertegun sejenak. Yulia segera bangkit dan wajahnya tampak malu.

"Maaf Bu Yulia. Saya hanya ingin menolong Ibu." Ucapku gugup.

"Terima kasih Pak Pradi. Kalau tidak ada Bapak, tantu saya sudah tersungkur di lantai. Mungkin kaki saya sudah keseleo. Tidak apa-apa Pak. Terima kasih, saya yang minta maaf. Bapak jadi kotor bajunya."

"Bu Yulia, saya tidak jadi menikah." Tiba-tiba mulut ini menceritakan hal yang mestinya aku sembunyikan. Tapi aku ingin Yulia tahu. Aku ingin mengungkapkan isi hatiku. Terserah apa kata Yulia. Aku sudah tidak mampu menahan rasa hatiku.

"Lho, ada apa Pak? Kenapa dibatalkan. Ada masalah dengan kalian?"

"Ada Bu, saya yang bermasalah. Saya menyukai wanita lain." Jawabku jujur.

"Asthagfirullah, Pak. Belum-belum Bapak sudah selingkuh?" teriak Yulia kaget.

"Bukan selingkuh Bu Yulia. Saya tidak begitu. Saya menyukai wanita lain." Ulangku mencoba menjelaskan.

"Tunangan Bapak, tidak Bapak cintai? Kenapa Bapak berniat menikahi dia? Sudah jauh lho Pak perjalanan Bapak. Sebulan lagi kan Bapak akan menikah? Kasihan tunangan Bapak." Yulia bicara panjang lebar dan aku hanya terdiam. "Lalu wanita yang membuat Bapak membatalkan pernikahan juga mencintai Bapak begitu?" lanjut Yulia.

"Saya tidak tahu Bu. Saya belum bertanya dengan Dia." Jawabku.

"Saya semakin bingung. Bapak ini aneh."

"Memang aneh." Jawabku. "Bu Yulia, saya menyukai Ibu." Aku bicara jujur sambil bergetar. Kulihat Yulia tertegun. Matanya berkaca-kaca. Dia tak mampu berucap. Dia hanya berdiri tertegun sambil memandangku tajam. Mata lentiknya serasa hendak berkata sesuatu. Mulutnya terkunci tak mampu berucap. Aku semakin bingung dengan perasaanku.

Yulia menunduk malu. Mungkin dia merasa bersalah, karena menjadi wanita yang kusukai. Wanita yang kupuja hingga kubatalkan pernikahanku. Dia tetap membisu. Diam tak bergerak.

"Bu Yulia, maafkan saya. Bukan salah Ibu. Saya menyukai Ibu, sungguh."

Yulia menangis. Entah apa arti tangisannya. Dia belum mau berucap. Padahal aku sangat mengharapkan jawaban Yulia. Yulia membalikkan badan dan meninggalkanku, tanpa berkata apa pun.

***

Menggantung, mungkin kata ini  yang paling tepat untukku. Sungguh, aku bingung. Aku tidak menyesal dengan segala keputusanku. Andaikan Yulia menolakku, aku pun tak akan kembali kepada Dias. Takkan kubuat Dias sebagai pelarianku. Dias sudah cukup sakit dengan keputusan kami. Tidak akan aku dua kali melukai dia.

"Pradi, ada apa Nak. Kenapa wajahmu layu? Ibu tahu anak Ibu. Ada yang kamu pikirkan?"

"Iya Bu. Pradi sudah menyampaikan isi hati Pradi pada Yulia. Dan Yulia tidak menjawab. Yulia malah pergi sambil menangis."

"Datangi rumahnya. Kejar dia. Dia adalah cintamu. Karena dia, kamu memutuskan Dias. Tidak pernah Ibu melihat anak Ibu seberani ini mengambil keputusan. Kamu benar-benar mencintai Yulia. Kejar dia Pradi. Dapatkan Dia. Bahagiakan dia."

Ibu benar. Dalam hidup, belum pernah aku mengambil keputusan senekad ini. Baru kali ini aku memutuskan sesuatu yang luar biasa. Aku harus mendapatkan cinta Yulia.

***

Kulajukan Fortunerku lambat, kutengok kanan kiri. Kucari perumahan tempat Yulia tinggal. Menurut kepala sekolah rumah Yulia di perumahan Griya Ashri No. 1. Aku harus bertemu dan bicara dengan Yulia.

Rumah di ujung perumahan bercat ungu itu pasti rumah Yulia. Kuparkir mobil tepat di depan gerbang rumah itu. Sambil berdoa kulangkahkan kaki menuju pintu rumah Yulia. Semoga Yulia mau menemui aku.

"Assalamualaikum..." kuucap salam sambil kuketuk pintu. Rumah ini tampak sepi. Tidak ada orangkah di dalam. Yulia tinggal dengan siapa? Dia bilang belum menikah, bahkan pacar saja tidak punya. Dia orang semarang. Dia tinggal sendiri kah?

Kudengar dari dalam kunci gemericik. Daun pintu pun terbuka sedikit demi sedikit. Ketika daun pintu melebar, kulihat wajah cantik muncul sambil kaget.

"Eh, Pak Pradi...kok tahu rumah saya." Yulia kaget.

"Saya tanya kepala sekolah. Boleh saya masuk." Aku beranikan diri meminta untuk masuk.

"Silakan!" Yulia mempersilakan. Senyumnya agak ditahan. Matanya masih saja berbinar.

"Yulia, bolehkah saya memanggil dengan Yulia saja?"

"Silakan." Sekali lagi dia menjawab singkat. Menambah jantungku deg-degan.

"Saya mau minta maaf. Maafkan saya sudah bicara lancang, tempo hari di sekolah. Tapi Yulia, saya benar-benar menyukaimu. Saya berniat baik..."

"Bagaimana mungkin Bapak menyukai saya, sedangkan Bapak belum mengenal saya. Kita baru kenal 3 minggu Pak. Itu pun, hanya beberapa kali bertemu. Ngobrol juga tidak banyak. Bapak belum mengenal saya. Mengapa Bapak begitu yakin menyukai saya?" berbagai pertanyaan dicecar Yulia. Aku bingung harus menjawab apa. Aku diam sejenak, mencari-cari jawaban yang tepat, masuk akal, logis, bisa diterima. Diterima orang cerdas macam Yulia.

"Saya tertarik pada pertemuan kedua dengan kamu. Awalnya saya kagum. Lama-kelamaan ada rasa sayang yang merasuki hati saya. Setiap hari saya bertanya pada hati kecil saya, apakah saya mencintai kamu. Dan setiap malam saya tidak bisa tidur. Saya selalu memikirkan kamu. Dalam doa-doa saya, selalu menginginkan kamu untuk menjadi milik saya. Maafkan saya Yulia. Saya lancang." Aku berusaha menjelaskan perasaanku. Yulia terdiam mendengarkan sambil menatap mataku hingga tembus ke belakang.

"Pak, saya tidak tahu harus menjawab apa. Saya bingung. Saya tidak mau menjadi wanita perusak pertunangan orang lain. Sungguh Pak, saya tidak ingin menjadi wanita seperti itu. Saya benar-benar menyesal Pak." Yulia tampak berkaca-kaca. Aku tidak ingin membuat dia bersedih. Juga bukan kesalahan dia. Aku tidak melanjutkan pernikahanku dengan Dias, juga bukan karena aku selingkuh dengan Yulia. Semua aku putuskan, jauh sebelum aku mengungkapkan rasa hatiku kepada Yulia. Jadi bukan salah Yulia.

"Yulia, saya mengutarakan isi hati setelah saya tidak lagi bertunangan dengan Dias. Jadi kamu di luar permasalahan kami. Memang alasan saya adalah kamu. Tetapi kamu tidak tahu menahu kan. Kamu tidak salah. Toh kita tidak ada hubungan apa-apa selama ini. Hanya saja saya yang menyukai kamu. Perasaanmu pada saya juga saya tidak tahu." Aku berusaha menjelaskan di tengah kebingungan. Asal saja kurangkai kalimat. Aku bukanlah seorang penyair. Aku adalah seorang sarjana geologi yang kini sibuk dengan berbagai pekerjaan yang cukup ruwet. "Pertanyaan saya, apakah kamu mau menjadi bidadari hati saya? Sungguh saya jatuh hati padamu Yulia. Kamu membuat saya setengah gila." Aku mencoba meminta jawaban Yulia.

"Pak, maafkan saya. Saya tidak bisa menerima Bapak." Jawaban Yulia bagai tamparan keras di kedua pipiku. Aku ingin pingsan di depan wanita ini. Kukuatkan hatiku. Aku ini lelaki. Aku tidak boleh cengeng.  Aku tarif nafas panjang. Mencoba menenangkan diri agar tidak jatuh tersungkur. Aku harus tetap tegak berdiri di hadapan wanita cantik pujaan hatiku ini. Aku tak boleh terlihat lemah.

"Pak Pradi, tidak apa-apa kan?" Yulia melihatku begitu syok.

"Tidak apa-apa Yulia. Terima kasih atas jawabanmu. Saya permisi dulu. Maafkan saya sudah mengganggu kamu." Aku mencoba berdiri. Kakiku terasa ringan. Kulangkahkan kaki, namun tak dapat kugerakkan kaki ini. Aku pun tak sadarkan diri.

***

Kubuka mataku. Ruangan ini asing bagiku. Aku berada di mana? Aku bingung dan mencoba mengingat, di mana aku berada. Kepalaku cukup pusing dan mual melanda dadaku. Terakhir kali aku berada di rumah Yulia. Dan aku pamit pulang. Tapi kenapa aku ada di sini. Apakah aku pingsan? Ya Tuhan, malu sekali aku. Aku ini lelaki.

"Pak Pradi, sudah siuman. Alhamdulillah, minum teh hangat dulu Pak." Yulia membantu aku untuk duduk dan mendekatkan bibir gelas ke mulutku. Aku mencoba membuka mulut untuk meminum barang seteguk air teh buatan Yulia. Cukup menenangkan. Aku malu sekali. Ingin aku berlari keluar, tapi kepala ku sangat sakit.

"Bapak, istirahat dulu saja. Saya menemani Bapak di sini." Yulia meletakkan gelas teh di meja dekat tempat tidur. Dia pun duduk di sebelahku. Tangannya membelai rambutku. Dia pun mendekatkan bibirnya di keningku. Yulia mencium keningku. Tuhan, apakah ini artinya dia menerima cintaku. Aku ingin meledak gembira.

"Yulia, kok mencium kening saya. Harusnya cium ini saja." Aku menunjuk bibirku. Yulia pun tersenyum. Dia cubit tanganku. Aku pun melayang di udara. Ibu cintaku diterima wanita idamanku.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun