"Dias, aku pulang dulu. Sekali lagi maafkan saya. Lain waktu saya ke sini lagi bersama kedua orang tuaku. Untuk meminta maaf kepada kedua orang tuamu." Aku pun menuju mobil dan berlalu dari rumah Dias.
***
"Ibu, Ibu dimana? Bu...!" kucari Ibu. Aku harus segera bercerita pada Ibu.
"Ada apa Pradi? Kok kelihatan tegang begitu? "
"Bu, aku sudah bicara dengan Dias. Orang tua Dias juga sudah tahu. Dias bisa menerima Bu, tapi aku berbohong tentang Yulia. Aku tidak jujur kepada Dias, Bu."
"Sudahlah, jika kamu jujur, justru akan menghancurkan hati Dias. Entah apa alasan kamu, yang penting kamu tidak jadi menikah dengan Dias. Kasihan Dias, tapi meski bagaimana lagi." Kata-kata Ibu selalu mendukungku.
Dalam hati kecilku, sedikit merasa berdosa kepada Dias. Kuberusaha membuang jauh-jauh rasa bersalah itu. Kupikir daripada aku tidak setia setelah menikah, membatalkan pernikahan akan lebih baik.
***
Pagi begitu dingin, musim penghujan telah tiba. Air yang biasanya sejuk kini sangat dingin. Kewajiban salat subuh tetap harus berjalan. Salat itu sebuah kewajiban seorang umat kepada Tuhan. Pagi ini, hatiku terasa lebih ringan. Jika kugambarkan seperti sebuah kapas yang tertiup angin. Melayang ke sana kemari mencari tempat hinggap. Nafasku lebih leluasa tanpa sesak. Hari-hari lalu serasa berat untuk menghirup udara.
Hari ini aku harus bertemu Yulia. Ingin kuungkapkan rasa terpendam. Kuharap dia pun memiliki rasa yang sama. Jika tidak, entah apa yang harus kubuat. Paling tidak aku berusaha menyampaikan apa yang kurasa.
"Hai...Pak Pradi! Apa kabar?" Yulia menyapaku terlebih dahulu. Baju hijau marunnya menambah cantik wajah putihnya. Dia keluar kantor guru dan tampak berseri-seri dengan senyum mengembang. Sungguh sempurna ciptaan Tuhan satu ini.