Mohon tunggu...
Rizqi Arie Harnoko
Rizqi Arie Harnoko Mohon Tunggu... Freelancer - Content Creator

Media and sports enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

MNC Group dan Emtek Makin Dominasi Industri TV di Era Disrupsi Digital Meski Beberapa Stasiun TV Lain Tumbang, Kenapa?

26 Januari 2025   12:57 Diperbarui: 26 Januari 2025   14:19 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi proses produksi di industri TV (Sumber: Pixabay/paulbr75)

TIDAK dapat dipungkiri bahwa era disrupsi digital telah mengubah pola konsumsi masyarakat dalam mengakses berbagai macam konten hiburan, tak terkecuali di Indonesia.

Hal ini menyebabkan beberapa stasiun TV di Indonesia "tumbang" lantaran mengalami kerugian finansial hingga terlilit utang yang jumlahnya tak main-main.

Bahkan karena itu pula, stasiun TV tersebut sampai harus beralih kepemilikan atau setidaknya dikabarkan bakal dijual kepada investor lain yang dianggap lebih mampu mengelola perusahaan dan menyehatkannya kembali.

Sementara dua pemain raksasa di industri TV yakni MNC Group dan Emtek justru semakin memperkuat dominasinya dalam beberapa tahun terakhir, bahkan ketika kebijakan analog switch off (ASO) diberlakukan secara bertahap oleh pemerintah sejak November 2022 hingga Agustus 2023.

Lantas mengapa itu semua bisa terjadi? Pastikan Anda membaca ulasan saya secara lengkap dan kronologis mengenai perkembangan industri TV di Indonesia sejak lahirnya TV swasta hingga era disrupsi digital seperti sekarang.

1989-1997: Persaingan Keras Sejak Fase Awal

Fenomena jatuh bangun dalam kompetisi di industri TV sejatinya bukan merupakan hal yang baru, bahkan sudah terjadi di Indonesia sejak awal kehadiran TV swasta pada akhir dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an.

Ketika jumlah stasiun TV nasional masih berjumlah enam yakni RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan Indosiar ditambah TVRI sebagai TV milik negara, tidak semua pemain bisa merasakan manisnya pendapatan secara maksimal meski potensi kepemirsaan sangat besar, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa.

RCTI dan SCTV awalnya hanya diperbolehkan bersiaran lokal di kota tertentu seperti Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Denpasar, lalu pada saat yang sama TPI diberikan "keistimewaan" oleh rezim Orde Baru untuk bersiaran nasional dengan status "televisi pendidikan".

Akan tetapi, pemberian "hak istimewa" ini membuat RCTI dan SCTV merasa diperlakukan tidak adil, sehingga akhirnya pada tahun 1993 semua stasiun TV swasta diizinkan untuk mengudara secara nationwide bahkan diharuskan untuk menempatkan kantor pusatnya di Jakarta.

Konsekuensinya, ANTV yang saat itu baru berdiri sebagai stasiun TV lokal di Bandar Lampung harus segera memindahkan basis operasionalnya di Jakarta meski membutuhkan proses hingga setahun lamanya.

Sementara Indosiar yang belum bersiaran sama sekali, sangat diuntungkan dengan aturan ini karena sudah bisa langsung beroperasi dari Daan Mogot (resmi mengudara sejak 1995) dan membangun stasiun transmisi secara bertahap di berbagai penjuru wilayah Indonesia.

Sejak saat itulah, persaingan untuk memperebutkan kepemirsaan sudah begitu keras namun kesehatan industri ketika itu masih relatif terjaga.

Meski saling sikut, masing-masing stasiun TV masih tampak mempertahankan kekhasannya masing-masing dari sekian banyak program yang terkadang tampak serupa tapi tak sama.

RCTI dengan film Hollywood melalui Layar Emas (yang kini bertransformasi menjadi Box Office Movies), SCTV dengan Telenovela andalannya, TPI dengan program dangdut dan film Bollywood, ANTV dengan MTV-nya, serta Indosiar dengan berbagai macam serial drama dari Asia Timur.

Namun mempertahankan itu semua tak semudah yang dibayangkan karena kerasnya persaingan memperebutkan kepemirsaan yang berimbas pada seberapa banyak kue iklan yang diperoleh.

RCTI saat itu tetap memimpin pangsa pasar hingga tahun 1997, sementara posisi SCTV mulai tergeser oleh keberadaan Indosiar dengan segala gebrakannya hanya kurang dari tiga tahun sejak pertama kali mengudara.

Sementara TPI yang sudah memiliki pangsa pasar tersendiri dengan fokus pada pemirsa menengah ke bawah serta ANTV untuk pemirsa remaja dan kaum berjiwa muda harus melalui berbagai tantangan tersendiri.

TPI yang kala itu dimiliki oleh Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut harus melalui perjuangan yang "berdarah-darah" lantaran visi sebagai "TV pendidikan" yang diusung pada tahun pertama tak membuahkan hasil yang diharapkan.

Hingga akhirnya perlahan-lahan stasiun TV ini harus melakukan repositioning sebagai "Televisi Keluarga Indonesia" tanpa melupakan tujuan awal (program edukasi disajikan dengan kemasan yang berbeda namun mudah diterima oleh pemirsa).

Beruntung, reformasi di jajaran manajemen pada tahun 1996 sempat berhasil memberikan secercah harapan untuk stasiun TV ini dengan masuknya Tito Sulistio sebagai Direktur Utama dan Ishadi S.K. sebagai Direktur Operasional.

Setali tiga uang dengan TPI, ANTV juga mengalami tantangan yang begitu berat dalam tiga tahun pertama mengudara.

Positioning sebagai stasiun TV untuk anak muda dan penggemar tayangan olahraga dinilai tidak banyak memberikan kontribusi bagi pendapatan perusahaan, bahkan cenderung membuahkan kerugian.

Tayangan MTV dan Liga Indonesia (maupun empat liga sepak bola domestik Eropa yang ditayangkan secara bergantian) sebagai flagship program dinilai tidak cukup untuk memastikan stasiun TV ini bisa bertahan dalam jangka panjang, sehingga ANTV harus memperluas cakupan pemirsanya ke segmen yang lebih luas meski sudah digarap oleh stasiun TV lain.

Program Family 100 yang dipandu oleh Sonny Tulung berhasil membuat ANTV perlahan-lahan bangkit, ditambah dengan masuknya serial drama dari dalam maupun luar negeri.

Divisi pemberitaan ANTV juga mulai mengalami perkembangan dengan hadirnya program Cakrawala serta investigasi kriminal Fakta (sekarang pindah tayang di tvOne).

Manajemen pun mulai tersenyum lantaran terjadi peningkatan pendapatan iklan dibanding tahun-tahun sebelumnya.

1998-2005: Fase Krisis Moneter Hingga Lahirnya Stasiun TV Baru

Krisis moneter yang melanda kawasan Asia termasuk Indonesia pada akhir dekade 1990-an juga turut berdampak pada kinerja industri TV nasional.

Hal ini tentu membatasi ruang gerak bagi stasiun TV swasta maupun TVRI untuk jor-joran berinvestasi, bahkan ada yang harus kehilangan jati dirinya demi bisa bertahan hidup.

RCTI dan SCTV yang dianggap sebagai pionir, harus melakukan berbagai upaya efisiensi dengan memangkas pembelian program asing khususnya untuk film dan series.

Keduanya kemudian lebih berfokus pada penguatan program lokal baik in-house maupun membeli dari pihak ketiga atau production house (PH), namun di saat yang bersamaan tetap mempertahankan tayangan olahraga serta program anak sekalipun terjadi kenaikan harga akibat berubahnya kurs dolar AS.

Namun penghematan yang dilakukan keduanya memiliki konsekuensi terhadap performa program khususnya jika ditinjau dari segi rating dan share yang tidak sebagus sebelum datangnya krisis moneter, meski terdapat pengecualian pada program berita Liputan 6 yang cukup mengangkat kepemirsaan SCTV di masa-masa sulit lantaran tingginya kebutuhan masyarakat akan informasi yang berimbang di awal reformasi.

Lalu menjelang era milenium, SCTV juga turut menggebrak pola programming di jam sahur saat Ramadhan tiba dengan hadirnya Sahur Kita bersama Eko Patrio dan Ulfa Dwiyanti yang kemudian diikuti stasiun TV lain yang mengusung konsep hiburan pada tahun-tahun berikutnya bahkan hingga sekarang.

Yang tidak kalah penting, SCTV saat itu sudah memindahkan basis operasionalnya secara utuh di Jakarta dengan hadirnya kantor baru (pada masanya) di Wisma Indovision (sekarang MNC Vision Tower) disertai dengan penghentian transmisi analog untuk uplink melalui satelit sebelum diikuti stasiun TV lain pada tahun 1999 hingga awal 2000.

Dan ketika memasuki tahun 2001, SCTV kembali berpindah kantor ke Graha Mitra yang berlokasi di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan hingga tahun 2007 (sejak 2008 hingga sekarang bermarkas di SCTV Tower, Senayan City).

Di saat SCTV cukup tertolong dengan program Liputan 6, RCTI harus melakukan perombakan besar-besaran di jajaran direksi pada Maret 1999 untuk memulihkan kondisi keuangan mereka yang berbalik 180 derajat ketika krisis moneter datang.

Berkat tangan dingin Harry Kuntoro dan Nenny Soemawinata, keuangan RCTI perlahan mulai membaik namun ini juga disertai dengan konsekuensi menurunnya kualitas dari segi pemrograman akibat efisiensi yang dilakukan oleh manajemen (karena ini pula, peringkat RCTI sempat merosot ke urutan ketiga dari total enam stasiun TV nasional).

Walaupun pada saat itu pula, RCTI juga memiliki program yang tidak kalah fenomenal seperti sinetron Cinta (yang mempopulerkan nama Desy Ratnasari) dan Doaku Harapanku yang dibintangi oleh Krisdayanti dan menemani pemirsa selama Ramadhan.

Kinerja RCTI pun mulai membaik secara program pada akhir tahun 2000 atau awal 2001 ketika sinetron Bidadari hadir sebagai salah satu program unggulan, disertai dengan masuknya Wisnu Hadi dan Oerianto Guyandi sebagai Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama yang berhasil membawa stasiun TV swasta pertama di Indonesia ini benar-benar kembali ke performa terbaiknya.

Masuknya Hary Tanoesoedibjo sebagai investor baru Bimantara Citra (melalui Bhakti Investama) juga membawa perubahan terutama dari sisi manajemen dan kontrol terhadap cashflow yang turut mendongkrak kinerja perusahaan, ditambah dengan masuknya sejumlah wajah baru di balik dapur produksi yang berperan terhadap lahirnya program seperti Indonesian Idol, Miss Indonesia, Indonesia Movie Actor Awards, dan lain-lain.

Hanya saja pada waktu yang bersamaan, RCTI harus rela melepas "saudara" lamanya yakni SCTV yang secara bertahap pindah kepemilikan ke tangan Emtek Group setelah terjadi dinamika di jajaran pemegang saham (sebagai catatan, Henry Pribadi dan keluarga Sudwikatmono melalui Indika Group sempat memiliki sebagian saham di stasiun TV ini).

Ketika RCTI dan SCTV berhasil bangkit dengan caranya sendiri, TPI dan ANTV saat itu sempat dihantui oleh tumpukan utang yang menggunung bahkan nyaris menemui ajalnya.

TPI saat itu tidak sendirian menghadapi masalah utang piutang ini, lantaran kasusnya merupakan satu kesatuan dengan problem yang menimpa beberapa perusahaan milik Mbak Tutut lainnya seperti PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP) dan Bank Yama.

Salah satu kreditur yang bahkan hampir membuat TPI berstatus pailit saat itu adalah Indosat, dengan jatuh tempo pembayaran utang pada Oktober 2002.

Praktis, tidak ada cara lain yang bisa ditempuh selain harus melepas kepemilikan stasiun TV ini kepada pihak lain sehingga Mbak Tutut pun meminta Hary Tanoesoedibjo yang berkongsi dengan Bambang Trihatmodjo (pemilik lama Bimantara Citra, yang sekarang berganti nama menjadi Global Mediacom) untuk menyehatkan TPI.

Dipilihnya Hary Tanoe juga tak lepas dari peranan Bambang Tri yang membuka jalan dimulainya kerja sama ini, mengingat track record Bimantara Citra yang berhasil menempatkan RCTI di jajaran papan atas industri TV nasional.

Saat ditandatanganinya perjanjian investasi pada 23 Agustus 2002, Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB) setuju untuk melunasi utang-utang TPI kepada para kreditur dengan kompensasi berupa kepemilikan 75% saham stasiun TV tersebut.

Pelan tapi pasti, utang kepada kreditur maupun pemasok program berhasil terselesaikan bahkan TPI kemudian mampu membuat berbagai terobosan baru dengan hadirnya program seperti KDI, API, hingga Rahasia Ilahi sehingga menyebabkan perusahaan menjadi sehat kembali, walaupun di kemudian hari justru terjadi sengketa yang diawali dengan perbedaan pendapat mengenai rencana penjualan aset berupa tanah dan bangunan milik TPI di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) untuk pengembangan usaha ke depan (serta integrasi proses bisnis dengan stasiun TV milik MNC Group lainnya seperti yang terjadi sekarang).

Bagaimana dengan ANTV? Krisis moneter membuat stasiun TV ini harus meninggalkan jati dirinya sebagai "TV olahraga" setidaknya hingga tahun 2002 lantaran perubahan kurs dolar AS yang memaksa beberapa tayangan langsung sepak bola harus dihentikan penayangannya (meski masih sempat menayangkan Piala Dunia 1998 secara berpatungan dengan stasiun TV lainnya).

Bahkan kerja sama dengan MTV yang sudah terjalin harus berhenti di tahun 2002 karena dianggap tidak memberikan keuntungan berarti bagi perusahaan.

Walaupun di sisi lain, ANTV mulai kembali menayangkan Liga Indonesia pada musim kompetisi 2002 setelah sempat absen pasca krisis moneter hingga 2001 dan sempat pula menayangkan MotoGP sebelum berpindah ke TV7 (sampai sekarang ketika bernama Trans7).

Akibat krisis, ANTV sempat hampir digugat oleh para kreditur dan nyaris dijual kepada beberapa calon pemilik baru seperti Hary Tanoe, Kompas Gramedia, hingga Erick Thohir (melalui Mahaka Group).

Namun ketika Anindya Bakrie diminta untuk kembali ke Indonesia setelah sempat berkarir di luar negeri, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pun diajukan sehingga perusahaan tak jadi berpindah kepemilikan.

Restrukturisasi utang pun dilakukan termasuk dengan cara mengonversinya menjadi saham untuk para kreditur (kendali perusahaan tetap berada di tangan Bakrie Group).

Lain halnya dengan TPI dan ANTV, kondisi Indosiar saat memasuki masa krisis moneter justru tampak seperti anomali.

Bahkan saat stasiun TV yang kala itu masih dimiliki oleh Salim Group harus berurusan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ekspansi untuk menambah program baru justru dilakukan secara besar-besaran.

Indosiar bergerak cepat untuk mengambil alih program yang sempat menjadi andalan stasiun TV lain, seperti Liga Inggris musim 1998-2000 untuk slot Minggu malam dan game show Family 100 (keduanya pernah tayang di ANTV sebelum krisis moneter).

Begitupun dengan Si Doel yang juga berhasil di-takeover dari RCTI lantaran bersedia untuk membayar dengan nominal kontrak lebih mahal.

Strategi ini pula yang menjadikan Indosiar sempat memimpin peringkat stasiun TV nasional sepanjang tahun 1998 hingga 2004.

Bersamaan dengan dimulainya era reformasi, sejumlah pengusaha mulai menunjukkan ketertarikannya untuk berinvestasi di industri TV nasional.

Sebut saja Surya Paloh dengan Metro TV-nya, kemudian ada Chairul Tanjung yang mendirikan Trans TV, juga ada TV7 yang didirikan oleh Kompas Gramedia, dan Lativi yang dimiliki oleh Abdul Latief.

Dari empat nama tersebut, hanya Trans TV yang berhasil mencapai break event point (BEP) hanya dalam waktu dua tahun sejak launching pada 15 Desember 2001.

Sedangkan Global TV (atau disingkat menjadi GTV sejak 2017) yang awalnya didirikan oleh tokoh-tokoh ICMI melalui IIFTIHAR harus dilepas ke Bimantara Citra sebelum mengudara lantaran kesulitan untuk memperoleh modal.

Kerja sama dengan MTV pun dilakukan agar bisa bersiaran secepatnya meski dalam kondisi "darurat", demi menghindari risiko pencabutan izin.

Meski kondisi pada tahun-tahun awal bersiaran tak jauh berbeda dengan ANTV, Global TV lebih beruntung dari segi keuangan lantaran mendapat back-up sumber daya dari RCTI (khususnya terkait penggunaan infrastruktur).

Sebagai tambahan informasi, Bimantara Citra juga sempat memiliki sebagian saham di Metro TV sebelum dilepas pada tahun 2003.

Bersamaan dengan itu pula lahir sejumlah stasiun TV lokal yang hanya beroperasi menjangkau wilayah tertentu seperti JakTV, O Channel (terafiliasi dengan SCTV di bawah naungan Emtek Group), Bali TV, JTV, dan lain-lain.

2006-2011: Tren Merger dan Akuisisi Serta Rebranding

Banyaknya investor yang berlomba-lomba masuk ke industri TV menyebabkan konsekuensi meningkatnya persaingan antar pemain.

Namun hal ini tak selalu dibarengi dengan pertumbuhan kue iklan secara keseluruhan.

Situasi ini menjadikan industri TV menjadi kurang sehat karena adanya potensi "perang harga" yang justru bisa membuat sebuah stasiun TV masuk dalam jurang kebangkrutan.

Selain itu, tidak jarang terjadi "homogenisasi program" lantaran nyaris tidak ada satupun pemain yang mau mengalah.

Konsekuensinya, merger dan akuisisi adalah sebuah keniscayaan dimulai dari MNC Group yang berhasil mengkonsolidasikan beberapa stasiun TV yang diakuisisi oleh Global Mediacom sebelum 2004.

Tren ini kemudian berkembang ketika Trans Media memutuskan untuk mengakuisisi TV7 pada Agustus 2006, yang kemudian berganti nama menjadi Trans7.

Langkah ini turut menjadikan Trans Media mencapai masa keemasannya hingga awal tahun 2014.

Lalu ketika ANTV mulai mencoba bangkit (meski belum sepenuhnya membaik) saat masuknya Star TV sebagai pemegang 20% saham, Bakrie Group mengambil alih kepemilikan Lativi dan mengubahnya menjadi tvOne sejak Februari 2008.

Keduanya lantas dikonsolidasikan di bawah naungan PT Visi Media Asia Tbk atau VIVA Group.

TPI yang sudah bergabung dengan MNC Group sejak 2003 baru melakukan rebranding menjadi MNCTV pada 20 Oktober 2010 karena alasan komersial.

Saat MNC Group memutuskan membawa TPI "berobat" ke Markplus Inc., disimpulkan bahwa rebranding harus dilakukan untuk menggenjot kinerja perusahaan dari segi pendapatan iklan.

Sebab pada tahun 2009, TPI secara peringkat kepemirsaan menempati urutan keempat namun dari sisi revenue iklan berada di bawah sejumlah stasiun TV lain (termasuk Trans7) sekalipun masih tercatat profitable.

Lalu ada pula Indosiar yang bergabung dengan SCTV di bawah naungan Emtek Group sejak 2011, meski proses menuju akuisisinya yang sudah dimulai sejak 2006 melalui skema tukar guling dengan kepemilikan saham London Sumatra Indonesia (Lonsum) sempat mengalami berbagai kendala.

Akuisisi "spektakuler" inilah yang menjadi titik awal Emtek Group menjadi jauh lebih berkembang seperti sekarang, lantaran SCTV dan Indosiar sudah memiliki nama besar dan jangkauan siaran yang sangat luas.

Adapun salah satu hal yang melatarbelakangi penjualan Indosiar ke Emtek Group tak lepas dari kinerjanya yang mengalami penurunan sejak 2005 hingga 2010, walaupun sempat mencoba bangkit di tahun 2008 melalui program Supermama, Super Star, Super Seleb, Super Soulmate, hingga Super Twins.

Ini ditambah dengan adanya skandal yang menyeret nama sejumlah oknum direksi (saat itu) hingga menyebabkan Indosiar mengalami kendala finansial dan berdampak pada terabaikannya hak-hak sejumlah pekerja di masanya.

2011-2017: Gelombang Baru TV Swasta, Dimulainya Era Konvergensi Media, Hingga Bangkitnya VIVA Group

Pasca berakhirnya era merger dan akuisisi, sejumlah TV swasta baru kembali bermunculan seperti Kompas TV, B Channel (sekarang RTV), dan NET. yang mencoba memikat pemirsa di tengah riuhnya persaingan dari sesama anggota ATVSI.

Kompas TV mengusung konsep TV berita meski juga menyajikan dokumenter dan beberapa program hiburan seperti Stand Up Comedy Indonesia (SUCI).

Lalu ada RTV yang mengusung konsep hiburan keluarga namun terdapat penekanan pada program anak.

Sementara NET. hadir dengan program yang terbilang fresh dan berjiwa muda dengan standar kualitas yang saat itu belum dicapai oleh kebanyakan stasiun TV lainnya.

Bersamaan dengan lahirnya TV swasta baru, banyak grup media besar yang bermain di industri TV melakukan konvergensi dan integrasi terhadap unit bisnis medianya.

MNC Group misalnya, mereka mulai mengembangkan sejumlah portal berita sekaligus memperluas jangkauan iNews yang sejatinya sudah didirikan pada tahun 2008 dengan nama Sun TV.

Sun TV kemudian bertransformasi menjadi Sindo TV pada tahun 2011, dan kembali melakukan rebranding menjadi iNews sejak April 2015 setelah memiliki nationwide coverage melalui terestrial.

Jauh sebelum ini, MNC Group sudah memiliki Indovision (sekarang MNC Vision) yang bahkan sejak awal diluncurkannya terafiliasi dengan RCTI.

Di sinilah, MNC mengembangkan sejumlah in-house channel secara bertahap sejak 2005 dari berbagai genre untuk menjangkau pelanggan dari berbagai kalangan.

Indovision pun juga meluncurkan Indovision Anywhere yang merupakan cikal bakal lahirnya Vision+ sejak 2020, meski dalam perjalanannya sempat berganti nama menjadi Moviebay dan MNC Now.

Layanan IPTV MNC Play pun turut dikembangkan demi memenuhi kebutuhan masyarakat yang ingin berlangganan pay TV dan broadband internet secara bundling (meski kemudian aset internetnya dilepas ke Indosat sejak 2023).

Emtek pun tak mau ketinggalan dengan mengembangkan portal beritanya tidak hanya sebatas Liputan6.com saja namun juga meluncurkan Bola.com, Bintang.com, dan masih banyak lagi.

Tidak ketinggalan pula Vidio.com turut diluncurkan yang pada awalnya menyerupai YouTube sebelum bertransformasi menjadi layanan over the top (OTT) layaknya Netflix dan lain-lain.

Sempat juga memiliki TV berbayar Nexmedia dengan basis transmisi DVB-T2, sebelum bertransformasi menjadi Nex Parabola di tahun 2019.

Sementara Trans Media membuat gebrakan dengan mengakuisisi Detik.com pada tahun 2011, diikuti dengan mencaplok Telkomvision di tahun 2013 dan mengubahnya menjadi Transvision sejak Mei 2014.

Diikuti pula dengan lahirnya CNN Indonesia pada tahun 2015 (diperkenalkan sejak akhir 2014) sebelum disusul CNBC Indonesia mulai tahun 2018 dalam bentuk saluran TV linear maupun portal berita.

Namun bersamaan dengan ini pula, masa kejayaan Trans Media harus berakhir seiring dengan dihentikannya program Yuk Keep Smile (YKS) karena sebuah kontroversi.

Dan saat itu pula, VIVA Group menjelma menjadi "kuda hitam" di industri pertelevisian dan bangkit seiring dengan berubahnya wajah ANTV yang sebelumnya dikenal sebagai "TV Liga Indonesia".

Rangkaian serial India dan Turki serta beberapa program unggulan lainnya perlahan-lahan mengangkat performa ANTV hingga sempat menjadi TV nomor satu di tahun 2017.

Begitupun dengan tvOne yang mantap mempertahankan posisinya sebagai TV nomor satu di antara TV berita lainnya.

Musim panen ANTV di tahun 2016-2017 juga turut membawa dampak positif terhadap tvOne yang tidak hanya membutuhkan tayangan berita saja.

Uang yang dihasilkan dari pendapatan iklan melalui penayangan program unggulan seperti serial India dan Turki serta tayangan ulang sinetron lawas Indonesia cukup membantu tvOne untuk menyiarkan Liga 1 (hanya musim 2017 dan sebagian laga musim 2018), Liga 2 (musim 2017-2019), hingga menambah intensitas penayangan Live World Boxing demi melengkapi keberadaan One Pride MMA yang sudah diselenggarakan sejak 2016.

2018-sekarang: Era Disrupsi Digital dan Analog Switch Off (ASO)

Seiring dengan dimulainya era disrupsi digital, industri TV kian menghadapi tantangan yang bahkan belum pernah dibayangkan sebelumnya.

Tak hanya YouTube yang menampung berbagai macam content creator, kehadiran berbagai macam over the top (OTT) seperti Netflix, VIU, Prime Video, Disney+, hingga platform milik konglomerasi TV itu sendiri seperti Vidio dan Vision+ telah mengubah pola konsumsi hiburan sejumlah masyarakat khususnya remaja dan dewasa muda.

Ditambah pula TikTok yang menyajikan konten video pendek hingga ditiru platform social media lainnya seperti Instagram dengan Reels bahkan YouTube dengan YouTube Shorts.

Dari sisi pengguna, ini memberikan lebih banyak alternatif mengakses tontonan serta memungkinkan untuk menikmatinya tanpa terikat waktu dan tempat.

Akibatnya, ini menimbulkan konsekuensi beberapa program non-drama atau stasiun TV yang tidak memiliki basis penonton kuat sejak awal dan dalam jumlah besar "tumbang".

Sebagai contoh, NET. yang sejak awal berdirinya percaya diri mengusung konsep dan slogan "Televisi Masa Kini" harus ditelan pahit oleh kenyataan bahwa rating dan share program-program mereka sulit bersaing dengan stasiun TV lain, meski tak jarang masih bisa mengalahkan peringkat stasiun TV berita.

Pasalnya, pemirsa generasi muda yang dibidik sebagai target pasar utama justru menonton program kesayangannya melalui live streaming maupun cuplikan atau full replay di YouTube.

Sementara sumber pendapatan utama stasiun TV terestrial didapat dari iklan yang dipasang secara langsung oleh advertiser di layar kaca, yang nominalnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan pendapatan iklan melalui AdSense.

Namun jika dibandingkan dengan kompetitor, NET. termasuk salah satu stasiun TV dengan rate card pasaran yang tergolong "murah" karena bukan penghuni top tier berdasarkan klasemen Nielsen Media Research.

Padahal di awal kemunculannya, Wishnutama yang kala itu masih menjabat sebagai CEO NET. mengklaim bahwa televisi yang dipimpinnya (saat itu) sengaja memasang harga iklan di atas harga pasar stasiun TV lain (termasuk RCTI, SCTV, dan Indosiar) dengan maksud untuk memberikan kenyamanan penonton.

Sayangnya pengiklan justru memiliki pandangan lain, bahwa jumlah kepemirsaan (melalui terestrial) lebih diutamakan karena mereka ingin iklannya ditonton secara real-time saat sebuah program tayang.

Konsekuensinya, konsep "idealisme" yang diusung Wishnutama sebagai salah satu pendiri tidak bisa berlangsung secara sustainable dan mau tidak mau NET. harus berkompromi dengan selera pasar.

Pemegang saham pun mengganti jajaran direksi untuk memperbaiki kinerja stasiun TV ini, namun hingga 2024 belum ada satupun upaya yang membuahkan hasil maksimal.

Pengurangan jumlah karyawan pun juga sudah dilakukan bertahap sejak 2019 dimulai dari departemen news, meski ada juga beberapa orang yang masuk sebagai karyawan baru atau bahkan kembali tampil di NET. sebagai freelance news presenter.

Belum lagi, aksi "bakar duit" yang dilakukan NET. dengan mengundang bintang tamu internasional setiap tahunnya hingga 2018 dinilai tak banyak memberikan return terhadap perusahaan, sehingga meninggalkan banyak utang termasuk dari sejumlah vendor hingga talent dalam negeri yang pernah bekerja sama untuk mengisi berbagai program.

Karena kondisi yang nyaris tidak lagi terselamatkan, Indika akhirnya harus menjual kepemilikan NET. kepada MD Entertainment dan akan segera rebranding sepenuhnya menjadi MDTV dalam waktu dekat (logo MDTV sudah dimunculkan secara bergantian dengan NET. sejak 1 Januari 2025).

Operasional yang semula dipusatkan di Gedung The East, Mega Kuningan dan Graha Mitra di Jalan Gatot Subroto berangsur-angsur dipindahkan sepenuhnya di MD Palace yang berlokasi di kawasan Ceger.

Konsekuensinya, sejumlah "Good People" yang merindukan program-program menarik dari NET. seperti Tetangga Masa Gitu, OK-JEK, Ini Talkshow, hingga Tonight Show harus menerima kekecewaan seiring dengan masuknya sinetron yang diproduksi oleh production house (PH) milik Manoj Punjabi itu.

Namun inilah realita yang harus diterima, karena mau tidak mau televisi harus menyesuaikan selera pemirsa (yang terhubung dengan peoplemeter Nielsen).

Meski demikian, MD Entertainment tidak serta merta melupakan jati diri NET. yang sesungguhnya meski nantinya akan berganti nama sepenuhnya ke MDTV dengan menghadirkan program yang related untuk milenial, Gen Z, bahkan Gen Alpha.

Sebut saja Seru-Seruan yang membahas seputar musik, program animasi, hingga Drama Korea.

Sama seperti NET., ANTV yang pernah berjaya di tahun 2014-2017 kembali harus berada di fase terburuknya secara bertahap sejak pertengahan 2018.

Strategi programming yang terbilang sukses dengan memangkas habis slot untuk program berita sebagai kunci memenangi persaingan akhirnya terbaca oleh pemain lama seperti RCTI, MNCTV, SCTV, dan Indosiar yang turut mengambil langkah serupa setidaknya pada slot sore.

ANTV pun kembali terlempar dari posisi tiga besar klasemen TV nasional, bahkan untuk memasuki posisi lima besar pun terkesan sulit.

Walaupun di sisi lain, stasiun TV milik VIVA Group ini masih memiliki pasar yang besar di beberapa wilayah seperti Makassar dan Denpasar berkat penayangan serial India yang jadi "trademark" sejak 2014.

Imbasnya, pendapatan iklan yang sempat mengalami kenaikan pun akhirnya kembali menurun sedangkan utang dari kreditur terus menumpuk.

Puncaknya di akhir 2024 (dan dijadwalkan berlangsung hingga akhir Januari 2025), ANTV terpaksa mengambil langkah PHK berjamaah terhadap hampir seluruh karyawannya, terutama di departemen produksi serta news and sports.

Informasi mengenai PHK ini memicu spekulasi yang sudah pernah terdengar bahkan sejak satu dekade lalu, yakni rencana penjualan ANTV ke grup media lain.

Terbaru, ANTV dikabarkan hendak dijual ke Emtek Group namun tanpa menyertakan karyawan beserta aset-asetnya (terutama mengenai peralatan).

Yang artinya jika rumor ini benar, Emtek akan menjalankan operasional stasiun TV ini dengan SDM dan infrastruktur yang sudah mereka miliki sekarang bahkan tidak menutup kemungkinan akan dilakukan rebranding demi membedakan positioning dengan stasiun TV lainnya dalam grup media yang bermarkas di Senayan City dan Daan Mogot ini.

Hanya saja sampai dengan artikel ini ditulis, baik Emtek maupun VIVA Group masih membantah adanya rumor terkait wacana penjualan ANTV sebagaimana beredar di social media.

Mengenai masalah finansial yang mendera ANTV tidak dirasakan sendirian, karena saudara mudanya yakni tvOne juga dibelit persoalan yang sama.

Utang tvOne dengan kreditur yang belum kunjung tuntas menjadi penyebabnya, bahkan menjadi satu kesatuan dengan ANTV karena ini sudah menjadi persoalan VIVA Group secara keseluruhan (dan kondisinya hampir dipailitkan).

Berkurangnya jumlah karyawan juga terjadi di stasiun TV berslogan "Terdepan Mengabarkan" ini, meski jumlahnya tak sebanyak saudara tuanya.

Di sisi lain, kehadiran VTV sebagai stasiun TV baru menggantikan posisi SportOne yang terkesan "mangkrak" juga belum banyak menolong kinerja VIVA Group meski sudah bisa menarik minat pengiklan karena penjualan spot yang terintegrasi dengan ANTV.

Namun dari segi kepemirsaan, saluran ini juga tak bisa dianggap remeh mengingat kartun-kartun yang sudah dibeli ANTV tayang di sini.

Media Group yang menaungi Metro TV juga tak kalah terbelit masalah finansial, meski pemberitaannya tak semasif NET. dan VIVA Group (dan rinciannya tidak dibeberkan kepada publik lantaran bukan merupakan perusahaan terbuka).

Tanda-tandanya bisa dicermati sejak kuartal keempat 2023 ketika slot siaran Magna Channel di banyak daerah "dijual" kepada Nusantara TV milik NT Corp.

Sedangkan BN Channel yang juga beroperasi menggunakan MUX milik PT Metro Transmisi Indonesia (MTI) terkesan lebih banyak me-relay program Metro TV secara simulcast serta hanya menayangkan program re-run di luar jadwal relay tersebut.

Praktis setelah diberlakukannya analog switch off (ASO) melalui penetapan UU Cipta Kerja sejak November 2020 (eksekusi mulai November 2022 hingga Agustus 2023), industri TV tampak semakin didominasi oleh (dan bahkan hanya menjadi milik) MNC Group dan Emtek.

Keduanya bahkan menguasai lebih dari 60-70 persen dari total kepemirsaan maupun kue pendapatan iklan, sehingga pemain lain hanya tinggal memperebutkan 20-30 persen sisanya.

Memang ketika ASO diberlakukan, performa RCTI mengalami tekanan meski dalam beberapa waktu belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan berkat kinerja sinetron prime time yang mulai bergigi kembali (namun masih lemah dalam performa daytime).

Padahal RCTI sendiri juga sempat merasakan sukses luar biasa di kuartal keempat 2020 hingga awal 2022 lantaran performa Ikatan Cinta yang sekaligus menjadikan stasiun TV ini unbeatable dari sisi peringkat kepemirsaan sepanjang periode tersebut, hingga berimbas pada naiknya performa program lain sebelum dan sesudah penayangan sinetron tersebut.

Bahkan kesuksesan Ikatan Cinta sendiri juga tak lepas dari adanya "mitos" yang kerap dipercayai sejumlah warganet dalam berbagai forum pertelevisian mengenai siklus lima tahunan yang dialami RCTI sejak 2005 di mana sinetron yang ditayangkan pada akhir tahun tersebut selalu menorehkan sukses dan mengangkat stasiun TV ini menjadi yang nomor satu sepanjang periode itu pula.

Namun MNC Group sendiri masih terselamatkan dengan naiknya performa MNCTV jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelum ASO berkat hadirnya Family 100 dan kuatnya kinerja animasi Upin dan Ipin yang tetap menjadi andalan stasiun TV ini sejak 2008.

Kehadiran Tantan Sumartana sebagai "pendekar" marketing di grup media milik Hary Tanoesoedibjo ini sebagai Managing Director MNCTV seolah membawa energi positif bagi stasiun TV yang sebelumnya bernama TPI ini.

Begitu juga iNews yang sukses menggeser posisi tvOne sebagai TV berita nomor satu tidak hanya dengan program olahraganya semata, namun turut didukung oleh comeback Aiman Witjaksono di MNC Group yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi sekaligus Direktur Pemberitaan iNews Media Group.

Yang harus dicatat, titik balik naiknya performa MNCTV dan iNews setelah ASO juga tak lepas dari hadirnya tayangan BWF World Tour (melalui kerja sama sublisensi dengan SPOTV) pada musim 2022 dan 2023.

Sementara GTV meski tampak terlihat stagnan, belakangan juga mulai mencoba berbagai gebrakan dengan kehadiran game show Tebak Kata yang merupakan daur ulang dari program lamanya yakni Main Kata.

Ditambah pula kembalinya stasiun TV ini untuk menayangkan pertandingan olahraga seperti sepak bola dimulai dari simulcast laga Timnas Indonesia bersama RCTI serta penayangan semifinal hingga final Piala AFF 2024 plus lanjutan dari Shopee Cup (kejuaraan antarklub di bawah naungan AFF).

Dan bukan tidak mungkin, GTV juga akan di-setup sebagai backup channel selama Ramadhan untuk penayangan konten olahraga yang biasanya disiarkan oleh RCTI seperti Copa del Rey, Bundesliga, hingga UEFA Nations League karena ketatnya persaingan di slot sahur.

Perlu diketahui juga bahwa uji coba kembalinya GTV menayangkan olahraga sudah dimulai ketika stasiun TV yang kini dipimpin oleh Valencia Tanoesoedibjo sebagai Direktur Utama itu menyiarkan sebagian sesi dari rangkaian kejuaraan Formula E.

Ketika MNC Group masih mampu mempertahankan pangsa pasarnya meski terdapat perubahan persentase kepemirsaan antara RCTI dan MNCTV, Emtek tampak menuai peningkatan luar biasa saat ASO diberlakukan.

Performa SCTV tampak semakin powerful meski tak terlalu banyak gebrakan yang dilakukan oleh stasiun TV lantaran program sinetron produksi SinemArt (beserta anak usahanya, Essjay Studios) dan FTV yang mengisi jam tayang hampir sepanjang hari sudah memiliki tempat di hati pemirsa setianya.

Program olahraga dengan prioritas berupa tayangan sepak bola mancanegara seperti Liga Champions dan Liga Inggris juga menjadi daya tarik di mata pemirsa khususnya kaum pria yang membutuhkan tontonan di tengah malam hingga dinihari.

Terbaru, SCTV juga beruntung dengan penayangan game show GASPOL (Games Asyik Paling Nampol) yang sukses besar di slot pagi hari meski awalnya berkinerja tak sesuai harapan ketika masih tayang di siang hari.

Karena sukses inilah, stasiun TV dengan tagline "Satu Untuk Semua" ini menambah program kuisnya dengan menghadirkan Lucky Voice sejak Senin, 20 Januari 2025 lalu.

Bagaimana dengan Indosiar? Awal penerapan ASO sempat membuat performa stasiun TV ini sempat mengalami penurunan imbas Tragedi Kanjuruhan yang menyebabkan dihentikannya kompetisi BRI Liga 1 untuk sementara waktu.

Belum lagi jika bicara mengenai masih adanya penyesuaian di rumah beberapa pemirsa yang terbilang loyal menonton program Indosiar namun tidak dengan SCTV, karena transisi dari siaran TV analog ke TV digital juga disertai dengan adanya penyesuaian frekuensi pada MUX Emtek maupun TV lain yang slotnya disewa oleh Emtek di beberapa wilayah.

Namun kondisi berubah ketika Indosiar menghadirkan Magic 5 sebagai program andalan di bulan Ramadhan pada tahun 2023 yang malah menjadikannya sebagai salah satu program reguler unggulan sampai dengan sekarang.

Imbasnya bukan hanya Magic 5 yang memperoleh performa bagus, namun juga berdampak pada kembalinya tingkat kepemirsaan stasiun TV ini secara keseluruhan baik saat penayangan BRI Liga 1, FTV produksi Mega Kreasi Films (MKF) seperti Kisah Nyata dan Pintu Berkah, hingga Mega Film Asia.

Karena itu pula, Indosiar (bersama unit usaha Emtek lainnya) memutuskan untuk memperpanjang kontrak hak siar BRI Liga 1 beserta Liga 2 hingga tahun 2027 mendatang, serta menjalin kerja sama dengan PSSI untuk penayangan sejumlah laga Timnas Indonesia.

Sedangkan program talent search berbasis dangdut sempat vakum diselenggarakan sepanjang 2024 imbas performa D'Academy 6 di tahun 2023 yang tak sesuai target, namun D'Academy 7 akan kembali diselenggarakan mulai tahun ini.

Meski begitu, Indosiar tak pernah absen menyelenggarakan Indonesia Dangdut Awards (IDA) setiap tahunnya sebagai bentuk apresiasi terhadap para pelaku industri musik dangdut di tanah air.

Kenaikan audience share Emtek secara keseluruhan juga ditopang oleh kehadiran MOJI dan Mentari TV yang mengudara secara nationwide karena ditunjang oleh infrastruktur transmisi milik grup media milik keluarga Sariaatmadja itu.

MOJI sendiri awalnya mengudara dengan nama O Channel dengan mengusung konten gaya hidup, yang kemudian di-rebranding sejak Agustus 2022 sebagai pertanda transformasi dari yang semula berstatus TV lokal menjadi TV nasional.

Ketika fase transisi, stasiun TV ini sejatinya tidak serta merta mengubah citra lamanya sebagai saluran yang sangat dekat dengan kehidupan kaum metropolitan dan anak muda.

Hanya saja terdapat perubahan signifikan saat proses menuju ASO diberlakukan, seperti dihilangkannya program blocking time dari O Shop dan bertambahnya program olahraga kelas dunia.

Saat proses transisi itu pula, MOJI juga sempat menghadirkan program TV dari Korea Selatan seperti Inkigayo dan M COUNTDOWN untuk menarik pasar milenial dan Gen Z khususnya Kpopers.

Kemasan tayangan yang diproduksi oleh tim MOJI pun juga nyaris memiliki kesamaan dengan NET. yakni berjiwa muda meski secara programming lebih mengedepankan konten olahraga dan diselingi dengan tayangan kuliner beserta wisata berkat tangan dingin Hendy Lim sebagai Direktur Operasional (menjabat hingga pertengahan 2023).

Belakangan, stasiun TV ini semakin identik dengan tayangan bola voli khususnya dari dalam negeri berkat kontrak multi-year antara Emtek dengan Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI).

Di mana PBVSI sendiri sampai dengan sekarang masih dipimpin oleh Imam Sudjarwo selaku Ketua Umum, yang juga merupakan salah satu tokoh petinggi dari perusahaan pemegang hak siar Proliga dan event lainnya di bawah naungan federasi.

Karena tayangan voli inilah, MOJI bisa mengalahkan NET. sebagai pesaing terdekatnya jika dibandingkan secara apple to apple dari visi dan misi awal diluncurkannya.

Sayangnya ketika tidak ada siaran langsung bola voli, stasiun TV ini lebih banyak menayangkan ulang program yang pernah ditayangkan oleh SCTV seperti program rekonstruksi Ungkap dan reality show Tercyduk.

Tidak diketahui pasti mengenai alasannya, namun hal ini terjadi setelah adanya perombakan struktur organisasi pada departemen programming yang mulai diisi beberapa nama di SCTV seperti Banardi Rachmad selaku Deputy Director Programming beserta jajarannya.

Bahkan posisi Direktur Utama pun berpindah ke tangan David Suwarto yang juga merangkap sebagai CEO SinemArt (merangkap pula sebagai Direktur Operasional yang selama ini ditangani oleh Hendy Lim).

Kemungkinan kuat, langkah ini diambil sebagai bentuk efisiensi operasional sekaligus sebagai strategi untuk menyiasati regulasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengharuskan 60 persen dari jadwal program harian diisi oleh konten buatan dalam negeri.

Padahal jika dicermati, sebagian MOJI Buddy yang mengikuti perjalanan MOJI sejak era O Channel sesungguhnya lebih menginginkan program asing (kecuali konten dari India) sebagai alternatif hiburan di saat tidak ada siaran langsung olahraga sekaligus agar bisa membedakan diri dengan SCTV dan Indosiar dari sisi branding stasiun TV itu sendiri.

Sebab di era kepemimpinan Hendy Lim, MOJI terbilang cukup banyak menayangkan program dari mancanegara mulai dari dokumenter olahraga hingga berbagai macam film.

Lalu jika dipaksakan membuat program sendiri (selain drama dan news), ada kemungkinan estimasi biaya operasionalnya bisa melebihi pendapatan yang diraih dari iklan yang masuk.

Walau begitu, MOJI tidak serta merta melupakan Kpopers dengan menayangkan update terbaru mengenai dunia hiburan Korea Selatan di program BISIK Pagi dan sempat juga menayangkan SBS Gayo Daejeon 2023 pada momen Hari Valentine 2024 yang bersamaan dengan digelarnya Pemilu Serentak.

Upaya mempertahankan citra sebagai "TV anak muda" dari MOJI juga dilakukan dengan menghadirkan JKT48 sebagai bintang tamu pada rangkaian acara Fun Volleyball (dengan bantuan IEP selaku production leader) yang mempertemukan Red Sparks versus Indonesian All Stars. 

Sementara Mentari TV yang mengusung sebagai stasiun TV untuk anak-anak, awalnya sempat dipandang sebelah mata karena kegagalan Spacetoon saat bersiaran secara terestrial di masa lalu.

Namun faktanya setelah ASO, stasiun TV ini justru berkembang lebih baik tidak hanya karena program yang menarik pemirsa seperti Pororo dan Tayo.

Tetapi juga didukung oleh coverage area yang nyaris setara dengan SCTV dan Indosiar sehingga mudah dijangkau oleh pemirsa yang selama ini hanya mengenal dua stasiun TV flagship Emtek ini.

Secara peringkat, Mentari TV kini bisa terbilang konsisten menduduki jajaran sepuluh besar sekaligus mengalahkan RTV sebagai pesaing terdekatnya.

Bahkan pernah juga menduduki posisi lima besar mengalahkan Trans TV dan Trans7 serta sempat pula sesekali menyalip peringkat RCTI.

Dari sisi finansial, Mentari TV juga dapat dikatakan sehat karena efisiensi proses bisnis yang banyak menggunakan infrastruktur bersama dengan SCTV dan Indosiar (termasuk penggunaan studio jika membutuhkan in-house production melalui PH di bawah naungan Emtek).

Hanya saja dari segi programming, artis dari beberapa selebriti ternama juga harus dibuatkan program tersendiri sebagai syarat formal agar regulasi 60 persen konten dalam negeri tetap terpenuhi.

Sedangkan jika rencana Emtek mengakuisisi ANTV bisa terealisasi, ada satu masalah yang perlu menjadi perhatian penting yakni terkait izin frekuensi dan regulasi penggunaan multiplexer (MUX).

Sebab operator yang diberikan izin mengelola MUX hanya boleh menggunakan maksimum 50 persen dari total bandwith yang artinya hanya bisa menampung empat stasiun TV milik grup media pengelola jika seluruhnya menggunakan format high definition (HD).

Belum lagi izin MUX VIVA Group di beberapa daerah yang diberikan atas nama ANTV (secara legal formal) sehingga akan menjadi masalah tersendiri bagi tvOne dan VTV untuk kasus di wilayah selain ibu kota provinsi (yang tidak memiliki IPP lokal).

Walaupun jika pemerintah melonggarkan aturan mainnya, Emtek bisa saja mengubah ANTV menjadi TV berita yang ditopang oleh crew dari Liputan 6 dan menambahnya dengan sebagian konten olahraga yang belum tertampung oleh SCTV, Indosiar, dan MOJI.

Kesuksesan MNC Group dan Emtek untuk bertahan di industri TV dalam era disrupsi digital tak hanya ditopang oleh kinerja stasiun TV terestrial mereka.

Sebab mereka menerapkan strategi multi-platform yang memungkinkan untuk mendistribusikan dan memonetisasi konten di berbagai jalur.

MNC Group yang sudah mengoperasikan MNC Vision sejak awal berdiri yakni pada tahun 1994 silam, tak ingin berpuas diri dan memperlebar usahanya dengan mengakusisi kepemilikan K-Vision.

Pay TV satelit yang dulunya didirikan oleh Kompas Gramedia itu difokuskan MNC Vision Networks (MVN) sebagai provider yang membidik pasar menengah ke bawah.

Tayangan TV nasional terlengkap disertai konten olahraga menjadi kunci untuk bisa bertahan bahkan menguasai pangsa pasar di platform direct to home (DTH).

Penjualan K-Vision terbukti meningkat sejak MNC Group memberlakukan pengacakan permanen (full encryption) pada transponder saluran RCTI, MNCTV, dan GTV melalui satelit Telkom 4 (semula bermukim di Palapa D), sedangkan iNews hanya diberlakukan pengacakan pada konten olahraga maupun tayangan lain yang memiliki klausul pembatasan hak siar.

Sehingga transponder reguler di satelit Telkom 4 hanya difungsikan sebagai point to point dari Jakarta menuju stasiun transmisi di daerah.

Namun untuk platform IPTV, PT MNC Kabel Mediakom melepas aset jaringan internetnya kepada Indosat sehingga MNC Play kini hanya menyediakan layanan TV berbayarnya saja (bersama Indosat HiFi) maupun untuk suplai layanan pada hotel yang dimiliki MNC Group.

MNC Group juga mengoptimalkan kinerja RCTI+ dan Vision+ secara kontinyu sebagai sumber pendapatan baru karena prospeknya yang dinilai cerah di masa depan mengingat besarnya jumlah populasi generasi muda di tanah air.

Dengan adanya pay TV dan layanan OTT, MNC Group juga bisa menayangkan beberapa pertandingan olahraga yang tidak dapat ditayangkan melalui platform terestrial lantaran keterbatasan slot sekaligus memberikan akses lebih luas bagi yang sedang tidak berada di rumah atau tidak terjangkau dengan sinyal siaran RCTI, MNCTV, GTV, dan iNews.

Strategi serupa juga dilakukan oleh Emtek dengan Vidio yang dilaunching sejak 2015 silam.

Vidio bahkan menjelma menjadi OTT nomor satu di Indonesia setelah melakukan perubahan business model secara bertahap pasca Asian Games 2018 dengan hadirnya layanan Vidio Premier.

Konten lokal berupa live streaming dan on demand TV nasional serta Vidio Original Series ditambah tayangan olahraga terlengkap menjadi keunggulan kompetitif tersendiri.

Liga Inggris, Liga Italia, BRI Liga 1, dan Liga Champions (sekarang disiarkan melalui kerja sama dengan beIN Sports) menjadi andalan utama streaming service ini ditambah dengan Proliga yang juga memiliki banyak peminat.

Berbagai tayangan olahraga yang tak tersedia di platform FTA seperti NBA dan Tenis WTA juga menjadi andalan utama karena niche market yang cukup menjanjikan di negeri ini.

Belum lagi sekarang, Vidio juga agresif mengincar hak eksklusif penayangan sejumlah K-Drama terbaru untuk merebut pangsa pasar VIU dan Netflix sekalipun sudah mantap dengan olahraga dan konten lokal sebagai kunci utama kemenangan bersaing.

Pasar penggemar anime (yang disebut juga dengan Wibu) juga turut disasar demi mengukuhkan posisinya sebagai OTT dengan konten terlengkap di tanah air.

Jangan lupa, Emtek turut memiliki Nex Parabola sebagai transformasi dari Nexmedia untuk memperluas cakupan pelanggannya hingga ke pelosok tanah air.

Sebab Emtek menyadari bahwa tidak semua pemirsa bisa menerima sinyal siaran TV digital SCTV, Indosiar, MOJI, dan Mentari TV dengan antena UHF.

Di samping itu, pemirsa Indonesia juga menyukai tayangan olahraga dan karena itulah sebagian besar konten yang tersedia di Vidio juga bisa ditonton melalui Nex Parabola.

Walaupun ada pula konten yang tersedia di Vidio namun Nex Parabola tidak menayangkannya karena hak siar yang dimiliki oleh TV berbayar milik kompetitor.

Setali tiga uang dengan MNC Group, Emtek juga memberlakukan full encryption pada seluruh saluran FTA yang dimilikinya melalui satelit Telkom 4 per Agustus 2024 untuk meningkatkan pendapatan Nex Parabola sekaligus memperketat perlindungan hak cipta dari oknum local cable operator (LCO) yang mendistribusikan saluran di bawah naungannya secara ilegal.

Dengan strategi multi-platform seperti inilah, MNC Group dan Emtek boleh dikatakan sudah menguasai hampir sepenuhnya ekosistem industri TV nasional dengan konten yang nyaris lengkap, coverage area yang sangat luas, dan ketersediaan platform yang bisa menjangkau pemirsa di berbagai usia dan generasi.

Bagaimana dengan Trans Media? Grup media milik Chairul Tanjung di bawah bendera CT Corp ini boleh dikatakan cukup stabil lantaran kinerja cashflow Trans TV dan Trans7 yang masih terkendali.

Terkhusus bagi Trans7, beberapa program in-house buatannya masih diminati oleh pemirsa seperti Arisan dan Lapor Pak sehingga menghasilkan banyak pundi-pundi uang bagi stasiun TV yang semula bernama TV7 ini.

Namun itu semua belum banyak membantu Trans Media untuk bisa menyaingi kedigdayaan MNC Group dan Emtek yang sudah terlanjur menguasai hampir semuanya, lantaran ditopang pendapatan iklan dari program reguler (khususnya sinetron) yang boleh dikatakan terlampau tinggi di antara kompetitornya (secara akumulatif) ditambah monetisasi yang begitu agresif di platform DTH maupun OTT.

Sementara dua saudara muda dari Trans TV dan Trans7 yakni CNN Indonesia dan CNBC Indonesia justru tidak banyak berbicara secara rating dan share.

Minimnya pendapatan iklan meski sudah masuk ke platform TV digital terestrial memaksa terjadinya efisiensi dari segi SDM, ditambah dengan harus membayar biaya penggunaan hak merek yang tidak sedikit.

Transvision yang diharapkan mampu menyaingi MNC Vision juga tak mengalami perkembangan signifikan, karena tidak adanya konten olahraga ditambah dengan hengkangnya Paramount Group (khususnya Nickelodeon) meski masih mempertahankan HBO Group dan afiliasinya.

Apalagi untuk penonton film sendiri, target market yang disasar sudah beralih ke Netflix dan lain-lain.

Perkembangan Transvision yang terkesan "mandek" meski sudah meluncurkan brand Nusantara HD untuk membidik pelanggan menengah ke bawah juga tidak banyak membawa keuntungan berarti.

Sebab pelanggan menengah ke bawah sudah terlanjur menjatuhkan pilihannya ke K-Vision dan Nex Parabola.

Platform OTT CubMu yang dikelola Transvision juga belum menunjukkan gebrakan berarti karena kemampuan finansial Trans Media yang tak sekuat MNC Group dan Emtek untuk membeli konten olahraga premium.

Trans Media juga masih dilanda "trauma" untuk mengambil hak siar sepak bola (kecuali untuk event pra-musim seperti Soccer Champions Tour) karena proyek Piala Dunia 2018 yang dianggap tak memberikan keuntungan berarti, dan hanya mampu menaikkan performa Trans TV sesaat ketika turnamen berlangsung.

Bahkan ajang bulutangkis Indonesia Open sekalipun yang rutin disiarkan Trans7 sejak 2008 juga ikut dilepas oleh Trans Media karena syarat dari BWF untuk produksi yang dianggap memberatkan, mengingat adanya keharusan untuk menyediakan world feed untuk delapan hingga sepuluh laga per hari serta harus ready untuk dua court sejak 2023 pada turnamen level Super 1000 (terlepas dari kewenangan penentuan hak siar yang menjadi tanggung jawab PBSI di ajang ini).

Praktis Trans Media hanya menyisakan MotoGP sebagai andalan satu-satunya untuk konten olahraga, itupun Dorna kini membatasi kewenangan penyiarannya hanya melalui platform FTA seiring dengan masuknya SPOTV sebagai pemegang hak siar di platform pay TV dan OTT.

Itu artinya GP Mania yang tidak terjangkau dengan sinyal TV digital Trans7 harus berlangganan platform milik MNC Group, Emtek (Vidio only), atau Telkomsel Group (dalam hal ini IndiHome TV) serta First Media agar bisa menyaksikan aksi para rider kelas dunia berlaga di lintasan balap.

Dan perlu dicatat juga, SPOTV juga memiliki platform OTT secara mandiri dengan nama SPOTV NOW.

Sehingga fakta tersebut semakin menguatkan dominasi MNC Group dan Emtek di industri TV yang sangat sulit dilawan oleh pemain lain.

Adapun TV-TV baru yang beroperasi ketika pemerintah menetapkan ASO seperti Garuda TV, Nusantara TV, SINPO TV, dan lain-lain jangan terlalu banyak berharap untuk bisa menyaingi keperkasaan raksasa industri TV nasional.

Satu-satunya cara untuk bisa bertahan adalah menayangkan konten dengan biaya seefisien mungkin namun tetap bisa memenuhi kebutuhan niche market yang belum digarap kompetitor.

Alternatif lainnya, bermitra dengan pemain besar untuk memperoleh akses konten premium dengan harga murah meriah meski ada keterbatasan hanya boleh menayangkan melalui jaringan terestrial.

Memang seperti inilah realita pahit yang terjadi, namun era disrupsi digital menunjukkan bahwa kombinasi kekuatan konten, modal, dan optimalisasi sumber daya perusahaan menjadi kunci untuk bertahan di industri TV yang dianggap sebagai "bisnis drakula" ini.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun