Restrukturisasi utang pun dilakukan termasuk dengan cara mengonversinya menjadi saham untuk para kreditur (kendali perusahaan tetap berada di tangan Bakrie Group).
Lain halnya dengan TPI dan ANTV, kondisi Indosiar saat memasuki masa krisis moneter justru tampak seperti anomali.
Bahkan saat stasiun TV yang kala itu masih dimiliki oleh Salim Group harus berurusan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ekspansi untuk menambah program baru justru dilakukan secara besar-besaran.
Indosiar bergerak cepat untuk mengambil alih program yang sempat menjadi andalan stasiun TV lain, seperti Liga Inggris musim 1998-2000 untuk slot Minggu malam dan game show Family 100 (keduanya pernah tayang di ANTV sebelum krisis moneter).
Begitupun dengan Si Doel yang juga berhasil di-takeover dari RCTI lantaran bersedia untuk membayar dengan nominal kontrak lebih mahal.
Strategi ini pula yang menjadikan Indosiar sempat memimpin peringkat stasiun TV nasional sepanjang tahun 1998 hingga 2004.
Bersamaan dengan dimulainya era reformasi, sejumlah pengusaha mulai menunjukkan ketertarikannya untuk berinvestasi di industri TV nasional.
Sebut saja Surya Paloh dengan Metro TV-nya, kemudian ada Chairul Tanjung yang mendirikan Trans TV, juga ada TV7 yang didirikan oleh Kompas Gramedia, dan Lativi yang dimiliki oleh Abdul Latief.
Dari empat nama tersebut, hanya Trans TV yang berhasil mencapai break event point (BEP) hanya dalam waktu dua tahun sejak launching pada 15 Desember 2001.
Sedangkan Global TV (atau disingkat menjadi GTV sejak 2017) yang awalnya didirikan oleh tokoh-tokoh ICMI melalui IIFTIHAR harus dilepas ke Bimantara Citra sebelum mengudara lantaran kesulitan untuk memperoleh modal.
Kerja sama dengan MTV pun dilakukan agar bisa bersiaran secepatnya meski dalam kondisi "darurat", demi menghindari risiko pencabutan izin.