''Hm... sepertinya tidak.'' Terlontar candaan yang dikatan oleh Dikta.
Rhea menjawab candaan Dikta itu dengan nada serius.
''Ya tidak salah juga, orang tidak mengenalku dan aku juga tidak mengenal passion dan bakatku.''
''Tapi Rhea, meskipun nilaimu kali ini tidak bagus. Ya, walaupun selalu begitu. Pasti akan ada bidang yang kamu suka dan bisa kamu kuasai.'' Dengan berpikir sebentar Gangga melanjutkan sarannya ''bukankah kamu suka menulis? postinglah kata-katamu di Instagram! Kamu harus mencobanya. Itu sedang booming akhir-akhir ini.''
Percakapan itu menjadi akhir dari pertemuan mereka hari ini. Terdengar klakson mobil yang telah cukup menunggu lama di depan gerbang sekolah, ibu Gangga. Ia pamit pada ketiga temannya. Lalu, disusul oleh Dikta dan Yuri yang pergi berbeda arah meninggalkan Rhea sendirisn. Alhasil, rencana ke kafe hari ini harus batal karena jika sendiri tidak akan asyik baginya sehingga ia memilih untuk pulang ke rumah.
Sepulangnya di rumah, ia bertemu dengan kakaknya. Jisa mengejeknya karena melihat Rhea yang bagaimana bisa murid kelas 3 SMA masih dapat tersenyum sumringah dengan beban yang akan dilaluinya nanti. Ia juga menambahkan bahwa bukan berarti jika usia 17 tahun adalah usia anak kelas 3 SMA kecuali ia belajar, maka bisa dikatakan sudah kelas 3 SMA. Namun, Rhea menentang opini Jisa bahwa dia tidak seperti itu. dia merasa sudah giat belajar. Lalu Jisa memberitahu Rhea jika ia giat belajar, ia akan mendapatkan peringkat satu dan bisa masuk Universitas Indonesia. Menyebalkan. Seperti itu orang-orang yang menilai kerja kerasku. Kerutunya pada diri sendiri.
Di sisi lain, di dalam sebuah mobil Mercy berwarna hitam sepulang sekolah yang akan menuju tempat les Buckminsterflurrence itu sebelum berangkat terjadi pembincangan serius antara ibu dan anak. Ibu Gangga terlihat agak marah atas apa yang telah Gangga raih hari itu.
''Ah, apakah kamu tidak punya harga diri? Aku tidak bisa bercerita kepada siapapun karena merasa malu. Kita menghabiskan hampir 10 juta perbulan untuk konsultasi dan semuanya. Tapi apa? Peringkat 2 lagi? Tak bisakah kamu mengalahkan perempuan itu?''
Ibunya memegang erat kertas hasil ujian percobaan tadi siang yang telah ia minta duluan pada Pak Toni untuk dikonsultasikan pada guru les Gangga. Kertas itu di genggam erat hingga kusut dan hampir sobek. Namun, ibunya masih bisa mengontrol. Gangga melihatnya, ia merasa kesal atas kerja kerasnya yang lagi-lagi dikecewakan oleh ibunya sendiri. Dengan mata yang sedikit berkaca-kaca ia memberanikan diri.
''Bisakah aku mengganti jurusanku agar aku menjadi peringkat 1?''
''Kau berbicara seperti itu lagi? Kamu sengaja ingin membuat ibu gila? Tidakkah kamu merasa bersalah pada ibu dan ayah?''