225 hari menuju Ujian Masuk Universitas
( Hari pertama di kelas 3 SMA)
Rheana Adisty keluar rumah pada Subuh pagi itu dan berkata kepada dirinya sendiri, sesuatu yang aneh akan terjadi kepadaku hari ini. Dia yakin setengah mati. Rhea melacak asal muasal pertanda-pertanda itu pada detak jantungnya yang ganjil dan liar, bahkan denyutan ini dia tautkan dalam sejumlah firasat yang bergelantungan dalam pikiran dan perasaannya.
Selama setengah jam atau lebih Rhea mengikuti langkah kakinya menelusuri jalan, lalu menunggu seseorang di persimpangan jalan trotoar dekat lampu jalanan yang masih menyinari keadaan gelap dan dingin kala itu. Ketika tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki dengan seragam yang sama sepertinya terbalut hoodie hitam berjalan jauh di hadapannya. Laki-laki itu sedang menuju ke arahnya dan tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
Rhea melihat laki-laki itu lagi, seraya mengubah pandangan ekspresi mukanya, tak dapat mengenalinya dengan jelas, dan pada saat yang sama berpikir, apakah itu dirinya? Sudah lama tidak melihatnya sejak liburan semester akhir tahun kemarin.
Sedikit berlari saat kurang lebih jaraknya 1 meter dengan Rhea, laki-laki itu memulai pembicaraan.
'' Maaf membuatmu lama menunggu, aku mengantuk sekali. Kenapa kita harus pergi ke sekolah subuh-subuh begini?''
Rhea mengubah wajahnya lagi menjadi lebih kesal karena dia berkata seperti itu padahal sudah ditunggunya cukup lama.
" Yang meminta untuk berangkat bersama itu kamu! kenapa kamu lambat sekali? Aku sudah bilang mulai hari ini setiap menit itu berarti tahu!''
'' Kita sekelas, tentu saja kita harus pergi bersama. Akhirnya, setelah 3 tahun.'' Jawabnya dengan dingin dan agak sedikit mengerutkan senyum hanya pada sisi bibir kanannya.
Rhea dengan percaya diri mengatakan bahwa ia akan focus mulai saat itu juga.
''Aku sudah berniat ke depannya, aku hanya akan menghabiskan waktuku untuk belajar sampai ujian masuk universitas nanti.''
''Wah, ibu giat belajar. Semangat!! Ayo, sekolah pasti masih sepi dan hanya kita yang baru datang.'' Lelaki itu berjalan mendahului Rhea menuju tempat pemberhentian bus berwarna biru.
Dengan hembusan angin dingin kira kira 20 derajat, mereka menaiki bus biru bertingkat dua dengan motif batik yang sedang menunggu penumpang.
Dalam lorong sekolah, tidak terlihat satupun batang hidung teman-teman. Sepertinya memang benar, mereka adalah kedua orang pertama yang datang ke sekolah. Disertai suara langkah sneakersnya, Rhea menggeser pintu kelas 3-A6 dengan suara berdenyit. Ia melihat ke sekitar dan terkejut. Ya, sudah banyak siswa yang duduk di bangkunya masing-masing sambil berhadapan dengan buku tebal dan alat tulis.
''Ternyata tidak, sudah kubilang tidak begitu. Lihat, semua sudah di sini dan kita baru sampai. Memang benar, katanya orang bilang kalau kerja keras tidak akan mengkhianati hasil.'' Sepatah kata itu terlontar dari mulut Rhea.
Tiba-tiba seseorang yang berada di sebelah bangku kosong memanggil namanya disambangi senyum gigi lebar dan lambaian tangan "Rhea! Kamu datang pagi sekali."
Sedikit sindiran canda sahabatnya itu, padahal sudah jelas-jelas ia datang paling akhir walaupun bel masuk masih lama berbunyi. Rhea menghampiri teman sebangkunya itu, Yuri. Yuri adalah seorang gadis populer di sekolah. Semua orang yang mengenal dirinya akan iri atas segala yang dimilikinya. Lalu Dikta menyusul masuk dan berjalan menuju Gangga, tidak lupa ia menyapa Gangga yang sedang focus melihat buku dihadapannya. Meski begitu, Gangga membalas sapaan sahabatnya itu.
Tak lama, terdengar suara langkah Pak Toni dari lorong-lorong beku yang ia dan Rhea lewati tadi. Pak Toni memasuki kelas 3-A6 dengan bersemangat sambil membawa tas jinjing berbentuk kotak berwarna hitam kesayangannya. Lalu disimpannya tas itu di kursi yang berhadapan dengan meja guru dan tanpa basa-basi langsung membuka pembelajaran.
''Baiklah anak-anak, murid kelas 3 SMA itu apa? Ingatlah! murid kelas 3 SMA itu adalah mesin belajar. Ya, mesin. Jika kalian bingung kenapa saya berbicara terlalu sadis, saya paham itu. Tapi, peringkat kalian di bulan Januari tahun ini akan menentukan peringkat kesuksesan di kehidupan kalian. Mengerti?''
''Ya, pak!''
Tak puas dengan nada seperti itu, Pak Toni berusaha membakar lagi semangat siswa-siswanya itu.
''Jawab lebih keras lagi. Mengerti?''
''Ya, pak!''
Suara bentakan dari anak-anak dalam kelas itu mungkin dapat mencairkan dinding-dinding dan kaca-kaca lorong beku tadi hingga membakar lapangan.
Dering suara nyaring bel istirahat berbunyi di sekolah itu. Waktu menunjukkan pukul 12.20 WIB. Dalam hari-hari biasanya mereka pergi berbondong-bondong ke kantin untuk makan siang, Namun hari ini berbeda. Hampir semua siswa masih berada di kayu coklat itu menikmati asupan prediksi soal ujian masuk universitas tahun ini. Sama halnya dengan Rhea dan sahabat-sahabatnya yang duduk melingkar di depan meja Rhea dan Yuri.
''Ah pak guru membuat kita takut.'' Keluh Rhea yang mengawali pembicaraan diantara mereka.
'' Benar, pasti banyak yang merasa khawatir.'' Dibalasnya keluhan itu pada Rhea oleh teman disampingnya.
''Tapi, Yuri tidak perlu khawatirkan? Catatan piagammu lebih dari 20 lembar.'' Sahut Rhea dengan nada sedikit membentak karena dirinya tidak mempunyai satu lembar pun piagam seperti Yuri.
Sontak, orang yang berada di depan Yuri, Dikta menyahut disertai tubuhnya yang reflek berdiri dan jari telunjuk tangan yang diarahkan pada Yuri.
''Apa? 20 lembar? Luar biasa! Aku pikir monster belajar itu hanya Gangga Arkata si peringkat satu. Tapi ternyata ada satu monster lagi!''
'' Hei, bukan aku yang peringkat satu di angkatan. Bora yang di sana. Dia benar benar monster peringkat satu.'' Gangga memalingkan kepalanya pada Bora yang sedang memegang pulpen seraya digerakan dengan jari-jari lentiknya di bangku tepat sebelah pintu masuk kelas paling depan disertai minuman favoritnya, isi 3 sachet kopi rasa moccacino dalam botol minum berwarna hitam di hadapannya.
Sembari diikuti palingan wajah teman-temannya Gangga melanjutkan pembicaraannya.
''Ada rumor kalau dia punya lebih dari 50 buku soal yang bisa saja akan ia tamatkan dalam setahun ini dari kursusnya. Luar biasakan?'' Semua teman-teman dihadapannya tidak berkutik dan hanya mampu menelan ludah mereka dengan sedikit tekanan.
''Di liburan kemarin kamu juga menghabiskan waktu untuk belajar?'' Tanya Dikta yang juga penasaran pada Gangga.
''Ya, seperti itulah. Kalian tahu ibuku bagaimanakan?'' Gangga melontarkan kalimat itu dengan sedikit senyum yang melengkung pada bibirnya.
Aku semakin cemas, hari ini semua siswa berubah 360 derajat seperti biasanya. Oh, aku sudah menemukan teka-teki tadi pagi. Semua sudah memulai perang dengan soal yang akan mereka taruhkan untuk masa depan. Dan permasalahannya, bukan hanya aku yang belajar dengan keras. Jadi, aku harus melakukan sesuatu. Ya, belajar.
Sepulang sekolah di hari pertama kelas 3 SMA ini, Gangga menemani Rhea untuk belajar hingga larut di perpustakaan seperti biasa. Rhea menuliskan to do list yang harus ia kerjakan sore ini. Mulai dari memahami materi hingga mengerjakan jenis soal-soal mudah sampai tersulit menurutnya. Ia membuka lembar demi lembar kertas yang ada pada mejanya dan mengerjakan soal-soal itu. Tak terasa sudah dua setengah jam ia duduk, Rhea merenggangkan tubuhnya agar otot-otot kakunya lebih nyaman untuk bertempur dengan soal-soal itu kembali.
Melihat sahabatnya kelelahan, Gangga menawarkan bagaimana jika ia pulang dan beristirahat karena besok akan ada ujian percobaan masuk universitas. Namun, Rhea tetap kuat pada tekadnya untuk menyelesaikan to do list-nya hari ini. Dengan begitu, Gangga pamit pulang dan meninggalkan Rhea di perpustakaan itu. Setelah satu jam terlampaui tepatnya pukul 9 malam, ia bergegas membereskan buku dan alat tulisnya yang dimasukkan ke dalam tas gendong abu abu miliknya. Dilihat sekelilingnya teman-teman seangkatannya masih focus dengan pekerjaan masing-masing padahal sudah menuju larut malam. Ia berkata dalam hatinya, aku tidak tahu harus seberapa banyak belajar, bila dipaksakan itu akan menjadi percuma bagiku. Lalu meninggalkan meja itu dan keluar perpustakaan menuju rumah.
Hari Selasa, tahun 2020 pagi yang cerah di bulan Juli di depan kelas 3-A6 terlihat sesosok wanita berambut panjang dengan ikatan kuncir kuda sepunggung berdiri di depan mesin tempat mengisi minuman. Ia merobek 3 sachet langsung kopi rasa moccacino dan memasukkannya pada botol berwana hitam. Hanya ia yang berada di kelas pada saat itu. Semua teman-temannya pergi ke perpusatakaan untuk belajar mandiri persiapan ujian percobaan masuk universitas nanti siang.
Bora memasuki kelas dengan membawa botol berwarna hitam berisi kopi itu di tangan kanannya. Masih panas, sehingga ia tidak bisa meminumnya langsung. Dilihat sekelilingnya, matanya tertuju pada bangku diujung paling belakang kelas tempat Gangga duduk.
Dilihatnya sebuah buku lumayan tebal berjudul 'The Secret 98% of Kisi-Kisi dan Soal Ujian Masuk Universitas Tahun 2021 oleh Buckminsterflurrence Private Tutoring'. Dibukanya buku itu dengan tangan kirinya. Ia menaruh botol berisi kopi yang dibawanya di meja Gangga dan mengambil buku itu. Masih sedikit lembaran-lembaran soal yang telah diisi.
Terdengar suara kaki berjalan. Ia bergegas untuk kembali ke bangkunya. Terburu-buru gerakannya, ia menaruh buku tersebut seperti semula. Sambil melihat siapa yang datang, tangannya berusaha membawa botol berisi kopi itu. namun, ia tak sengaja menyonggol botol itu dengan tangan yang tidak ia lihat saat mengambil tadi. Setengah kopinya tumpah di bangku Gangga dan mengenai buku langka itu karena tidak ada yang bisa memilikinya selain murid yang kursus di Buckminsterflurrence, tempat les dengan biaya tertinggi dan tidak heran bila semua muridnya lolos ujian masuk universitas-universitas terbaik di Indonesia. Ia mengelap bangku dan buku yang terkena tumpahan itu dengan lengan seragam putihnya. Datang dari kamar mandi, ia langsung mengajak Gangga untuk keluar kelas saat itu.
''Aku yang menumpahkannya. Maaf, aku tidak sengaja.''
''Oh, tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar.'' Gangga menjawab dengan tenang karena menurutnya itu hal biasa yang bisa saja terjadi juga akibat ulah dirinya.
''Kenapa itu bukan masalah besar? Itu buku yang sulit didapat. Itu juga tidak dijual di sembarang tempat, tapi aku merusaknya dan membuatmu harus membelinya lagi. Itu bukan masalah besar untukmu?'' Bora menyayangkan jawaban mudah itu sebab sebegitu enaknya apa yang dialami kehidupan Gangga.
Gangga mencoba meyakinkan Bora lagi agar hatinya tidak terluka dan menyalahkan dirinya sendiri. Inilah sifat Gangga yang selalu bisa membuat orang lain merasa baikan karena ucapannya.
''Kamu tidak sengaja menumpahkannya. Jika aku meminta lagi pada guru lesku, aku bisa mendapatkanya lagi. Sejujurnya, masih banyak soal yang belum aku kerjakan pula di buku lain.''
''Benar-benar... semua hal sangat mudah bagimu. Aku sudah meminta maaf, aku akan kembali ke kelas.''
Bora pergi meninggalkan Gangga. Namun, ia ditahan oleh Gangga. Gangga membuka tasnya dan mengambil sebuah buku berisi soal-soal ujian masuk universitas.
''Tunggu, sudah lama aku ingin memberikan ini, tapi belum sempat. Ini buku latihan soal untuk ujian masuk universitas. Di sini hanya ada 1% soal dengan skor paling tinggi. Menurutku, mungkin ini bisa membantumu juga. Bagaimanapun aku pasti akan mendapat nilai lebih rendah darimu dan kamu berpikir untuk terus mendapat nilai tertinggikan? Lagipula, tujuan kita berbeda. Ayo kita saling mendukung!''
''Kamu... tidak melihatku sebagai saingan? Kamu tidak pernah mengalahkanku. Jangan munafik'' Bora pergi meninggalkan Gangga. Saat itu, ia merasa paling kejam di dunia hanya dengan menelontarkan kata-kata itu pada temannya sendiri.
Bel berbunyi, tanda ujian percobaan masuk universitas siang itu akan dimulai. Para siswa sudah siap dengan soal-soal yang akan dihadapinya.
Ujian percobaan masuk universitas yang dilalui para siswa siang itu telah selesai, Rhea mengeluh karena ia rasa tidak ada satupun soal yang ia jawab dengan benar. Hampir semua soal yang ia kerjakan dijawab dengan cap cip cup dari kancing seragamnya. Ia mendekati Gangga yang sedang dikerumuni bak semut semut yang membawa makanan. Dengan membawa lembar soal ujian dan coretan jawaban, Rhea memasuki kerumunan tersebut.
Sambil mendesak beberapa orang, ia bertanya dengan sedikit ragu.
''Gangga, apakah jawaban nomor 15 itu adalah A?''
Gangga membuka kertas tiap lembarnya dan mencari soal nomor 15 lalu menjawab Rhea dengan nada dan kalimat yang sebisa mungkin tidak menyakiti sahabatnya.
''Hmmm... yang benar adalah D. Memang, jawaban A dan D itu agak membingungkan.''
''Bagaimana dengan jawaban nomor 20?'' Seorang siswi bernama Sera melontarkan pertanyaan.
Lalu Rhea dengan senang hati menjawabnya karena ia rasa soal tersebut ia kerjakan dengan teliti.
''Oh, harusnya yang benar itu C.''
''Tapi jawaban dia adalah B. Jawaban Gangga pasti benar. Apakah dengan kemampuan minimummu itu kamu bisa mengerjakan soal ini? Ha... '' Dipotongnya pembicaraan Rhea oleh Sera dengan nada sedikit meledek lalu tertawa sinis.
Gangga mengecek dengan menghitung jawabannya kembali.
''Oh tidak, ternyata aku keliru. Ternyata jawaban nomor 20 memang C. Rhea benar.''
Dengan memalukan dirinya sendiri Sera menyahut omongan Gangga tadi.
''Ah benar, itu soalnya sedikit sulit jadi bisa saja keliru menghitungnya.''
''Huh, syukurlah aku benar jawaban yang itu. hehehe...'' Rhea berbicara dengan nada yang disambangi sedikit tertawa kecil namun tidak ada yang memperdulikannya lalu ia keluar dari kerumunan itu dan berdiri di depan papan tulis.
Jika tidak bisa membuktikkan dengan hasil, kerja keras akan menjadi percuma. Lagi-lagi ia melihat sekelilingnya. Muncul angka-angka yang dilihat matanya, peringkat-peringkat orang tersebut. Diliriknya satu-persatu orang dalam kelasnyaa. Bora si peringkat satu, Gangga si peringkat dua, Sera si peringkat 3, dan Zalfa dengan peringkat 4. Kata-kata Pak Toni selalu berputar-putar dalam otaknya ''peringkat kalian di bulan Januari tahun ini akan menentukan peringkat kesuksesan di kehidupan kalian.'' Seberapa keras pun aku berusaha, peringkatku di hari ini mungkin sulit untuk berubah. Rasa cemas dan rasa frustasi itu terus menghantuiku.
Sepulang sekolah, Rhea, Yuri, Dikta, dan Gangga menyusuri lorong-lorong sekolah bersama sambil bercakap-cakap. Rhea mengajak mereka untuk makan sore bersama di cafe seperti biasanya. Namun, kali ini tidak ada satupun yang dapat menemaninya. Semua sibuk dengan keperluaannya masing-masing. Gangga yang harus kursus tepat waktu yang sudah ibunya tunggu di depan gerbang sekolah, Yuri yang belajar bersama dengan pacarnya yang seorang mahasiswa, dan Dikta sebagai harapan satu-satnya Rhea untuk menemaninya harus les keolahragaan untuk masuk seleksi fisik karena akan mengambil jurusan Pendidikan Keolahragaan. Rhea menyayangkan mereka semua karena tidak ada yang bisa menemani kesibukan tidak pentingnya itu, padahal kemarin pagi ia berjanji pada Dikta akan menghabiskan waktunya untuk belajar. Tapi dua hari kamudian ia sudah lupa dengan kata-katanya.
Saat sampai di depan gerbang sekolah, mereka bertemu Ibu Raya yang membawa laptopnya tanpa ditutup terlebih dahulu dan dibiarkan terbuka hingga terlihat ia sedang mengurusi nilai-nilai kelas 3-A3 dan menyapa mereka dengan wajah ramah tersenyum walaupun Bu Raya selalu dipandang jutek oleh semua siswa.
''Bagaimana dengan ujian percobaannya? Lancar?'' Tanya ibu Raya pada siswa dan siswi kelas 3 SMA itu. Mereka tidak menjawab dan hanya tersenyum dengan menunjukkan muka memelas yang menandakan bahwa ujiannya sedikit melelahkan. Lalu diteruskannya omongan itu.
''Oh sebentar, kamu adiknya Jisa, kan? Bagaimana kabarnya? Dia ada di kelasku tahun lalu dan berhasil masuk Universitas Indonesia.'' Ibu Raya mendekat pada Rhea dan menaruh tangan kirinya pada bahu Rhea.
Rhea menjawab dengan senyuman.
''Hehe ya! kabarnya sangat baik.''
''Kakakmu masuk Universitas Indonesia, mintalah dia mengajarimu. Kamu tahu seberapa keras kakakmu belajar? Punggungnya sampai sakit karena duduk sepanjang hari untuk belajar. Hmm... sejujurnya, jika kamu berusaha setengah dari Jisa saja kamu bisa masuk universitas 3 level lebih rendah dari kakakmu.'' Ibu Raya pergi meninggalkan mereka kembali ke sekolah.
''Ya bu, terima kasih.'' Tak lupa Rhea langsung menjawab dengan nada berbicara yang cepat. Lalu, ia melanjutkan berbicara pada teman-temannya.
''Tapi, apakah dia mengetahui namaku?''
''Hm... sepertinya tidak.'' Terlontar candaan yang dikatan oleh Dikta.
Rhea menjawab candaan Dikta itu dengan nada serius.
''Ya tidak salah juga, orang tidak mengenalku dan aku juga tidak mengenal passion dan bakatku.''
''Tapi Rhea, meskipun nilaimu kali ini tidak bagus. Ya, walaupun selalu begitu. Pasti akan ada bidang yang kamu suka dan bisa kamu kuasai.'' Dengan berpikir sebentar Gangga melanjutkan sarannya ''bukankah kamu suka menulis? postinglah kata-katamu di Instagram! Kamu harus mencobanya. Itu sedang booming akhir-akhir ini.''
Percakapan itu menjadi akhir dari pertemuan mereka hari ini. Terdengar klakson mobil yang telah cukup menunggu lama di depan gerbang sekolah, ibu Gangga. Ia pamit pada ketiga temannya. Lalu, disusul oleh Dikta dan Yuri yang pergi berbeda arah meninggalkan Rhea sendirisn. Alhasil, rencana ke kafe hari ini harus batal karena jika sendiri tidak akan asyik baginya sehingga ia memilih untuk pulang ke rumah.
Sepulangnya di rumah, ia bertemu dengan kakaknya. Jisa mengejeknya karena melihat Rhea yang bagaimana bisa murid kelas 3 SMA masih dapat tersenyum sumringah dengan beban yang akan dilaluinya nanti. Ia juga menambahkan bahwa bukan berarti jika usia 17 tahun adalah usia anak kelas 3 SMA kecuali ia belajar, maka bisa dikatakan sudah kelas 3 SMA. Namun, Rhea menentang opini Jisa bahwa dia tidak seperti itu. dia merasa sudah giat belajar. Lalu Jisa memberitahu Rhea jika ia giat belajar, ia akan mendapatkan peringkat satu dan bisa masuk Universitas Indonesia. Menyebalkan. Seperti itu orang-orang yang menilai kerja kerasku. Kerutunya pada diri sendiri.
Di sisi lain, di dalam sebuah mobil Mercy berwarna hitam sepulang sekolah yang akan menuju tempat les Buckminsterflurrence itu sebelum berangkat terjadi pembincangan serius antara ibu dan anak. Ibu Gangga terlihat agak marah atas apa yang telah Gangga raih hari itu.
''Ah, apakah kamu tidak punya harga diri? Aku tidak bisa bercerita kepada siapapun karena merasa malu. Kita menghabiskan hampir 10 juta perbulan untuk konsultasi dan semuanya. Tapi apa? Peringkat 2 lagi? Tak bisakah kamu mengalahkan perempuan itu?''
Ibunya memegang erat kertas hasil ujian percobaan tadi siang yang telah ia minta duluan pada Pak Toni untuk dikonsultasikan pada guru les Gangga. Kertas itu di genggam erat hingga kusut dan hampir sobek. Namun, ibunya masih bisa mengontrol. Gangga melihatnya, ia merasa kesal atas kerja kerasnya yang lagi-lagi dikecewakan oleh ibunya sendiri. Dengan mata yang sedikit berkaca-kaca ia memberanikan diri.
''Bisakah aku mengganti jurusanku agar aku menjadi peringkat 1?''
''Kau berbicara seperti itu lagi? Kamu sengaja ingin membuat ibu gila? Tidakkah kamu merasa bersalah pada ibu dan ayah?''
Saying, ia tidak bisa membalas perataan ibunya itu. semua yang ia raskaan ia urungkan kembali dan disimpan di dalam hati hingga akan ada saatnya bom waktu itu tiba-tiba meledak.
''Maafkan aku, aku akan berusaha lebih keras lagi.''
Tinggal 223 hari menuju ujian masuk universitas, Gangga makin merasa terbebani dengan tanda jalan ke depannya. Ia menjalani hidupnya atau hidup ibunya? Ia berpikir bahwa ia lahir hanya untuk memenuhi mimpi ibunya. Semakin ia mengikuti tanda jalan yang ditentukan oleh ibunya, semakin pula ia kehilangan jati dirinya sendiri. Ia seperti benar-benar robot yang diatur oleh orang tuanya sendiri hanya untuk dibanggakan pada orang-orang di sekitarnya.
Di kamarnya, Rhea membuka aplikasi Instagram dan membuat akun baru dengan nama 'Artpreciatetheday' ia memilih nama ini untuk mengunggah kata-kata isi hati yang ia pikirkan yang asalnya hanya tersimpan pada note di handphonenya. Sama seperti saran yang diberi Gangga. Tidak cukup berharap banyak karena semua orang dirasanya bisa melakukan hal kecil ini. Di waktu itu juga, ia langsung memposting unggahan pertamanya. Dipotretnya sebuah foto aesthetic pada tempat meja belajarnya yang dipenuhi buku-buku soal dengan caption 'kata-kata tidak hanya da di kepala, tetapi juga ada di hati.' Sama dengan hal yang telah ia alami tadi sore sepulang sekolah.
Tak lama, muncul notifikasi dari seseorang dengan fake akunnya bernama 'feel_empty' dan mengirimkan Rhea pesan.
'Aku juga merasa terluka seharian ini karena perkataan seseorang. Kata-katamu memberiku semangat, terima kasih.'
Lalu Rhea membalasnya.
''Aku juga, ada yang seenaknya menilaiku bahkan sepertinya orang itu tidak mengetahui namaku sekalipun. Kadang, aku merasa bahwa itu salahku sepenuhnya. Yang melukai kita baik-baik saja, tapi kenapa kita yang merasa sulit?''
''Tapi meski begitu, jangan salahkan diri sendiri!''
''Ya, kamu benar! Maaf tiba-tiba mengeluh. Aku merasa frustasi sekali akhir-akhir ini.''
''Tidak apa-apa. Kamu kelas 3 SMA kan? Aku juga sama. Ayo kita berteman sesama murid kelas 3 SMA.''
''Baiklah, terima kasih untuk hari ini.''
Di hari yang sama saat ia membuat akun itu, sudah ada yang ia panggil penggemar kata-katanya. Padahal, baru saja ia bertemu orang tersebut. Namun, terasa nyaman seperti sudah kenal lama wlaau hanya dalam chat. Sekarang, ada 6 orang pengikut akunnya. Akun dirinya sendiri, Yuri, Dikta, Gangga, dan penggemarnya.
Lain tempat, kegiatan Dikta sekarang berbeda...
Di suatu ruangan dengan meja-meja yang penuh dengan kertas juga buku, terpampang jelas pula spanduk bertuliskan Cybertron Sport Academy. Dikta duduk di hadapan pelatihnya, masih ada sisa cucuran keringatnya, sudah selesai latihan tes fisik untuk masuk kejuruan Pendidikan Olahraga.
''Dikta, kamu sudah menyelesaikan latihan fisik hari ini. Aku ingin tahu, kamu pernah bermain sepakbola?''
Perasaan Dikta mulai tidak enak karena teringat kejadiannya 6 tahun lalu. Ia mengalami cedera pada tulang keringnya karena bermain sepak bola hingga memerlukan waktu pemulihan selama satu bulan bahkan lebih. Guru olahraga di SMP-nya pun menyarankan Dikta untuk tidak bermain sepak bola lagi karena ia takkan bisa bermain dengan baik mengingat keadaan kakinya yang sudah rapuh pada tulang keringnya saat itu.
Dengan perasaan yang cukup canggung ia berkata ''Ya, tapi hanya sampai SMP saja.''
Lalu guru lesnya tersebut memberitahu hasil tesnya kali ini.
''Hasil tes fisikmu sudah bagus. Tapi nilai akademikmu masih kurang, Sepertinya kamu harus ikut pendaftaran regular. Kamu harus berusaha lebih keras lagi, setelah itu kita cari universitas yang lebih melihat hasil fisik dibandingkan akademik. Belajar juga dengan giat. Mungkin dengan ini kamu akan mempunyai peluang besar untuk lolos di pendidikan olahraga.''
Seketika, ia teringat pada Bora, si murid peringkat satu. Ia ingin Bora mengajarkannya untuk membantunya masuk universitas. Namun, diurungkan niatnya karena ia tahu Bora tidak akan menghiraukan orang sedetik pun saat di sekolah. Orang-orang juga tahu bahwa sepulang sekolah Bora akan memakai waktu emasnya untuk mengahadap buku terus menerus di sebuah tempat les melebihi kualitas Gangga yang tidak seorang pun tahu tempatnya karena dianggap akan snagat mahal.
Sepulang dari tempat kursus itu, ia menuju ke sebuah cafe di dekat tempat lesnya yang bahkan belum pernah ia kunjungi sekalipun walaupun hampir setiap hari untuk sekedar menenangkan pikirannya dan akan memesan makanan bila cacing di perutnya meminta.
Suara lonceng pintu masuk bergetar yang menandakan ada seseorang membukanya. Dikta disambut hangat oleh pelayan di cafe tersebut. Suara perempuan yang didengar oleh telinganya itu terdengar taka sing baginya.
''Selamat datang di cafe kami, Silahkan langsung memesan di sebelah sini.'' Seorang perempuan dengan serbet coklat kotak-kotak itu menyambutnya. Saat membalikkan badan, ia terkejut, Dikta ikut terkejut.
''Bora?'' ia memastikan bahwa itu memang Bora dengan bertanya dan mengerutkan alis wajahnya menunjukkan kebingungan dan ketidakmenyangkaan bahwa si murid peringkat satu ini bekerja paruh waktu di sebuah cafe dekat tempat lesnya, padahal pikirnya tidak akan ada satu detik pun yang akan ia buang jika bukan untuk belajar.
Bora mengantarkan minuman yang Dikta pesan dan mulai membuka pembicaraan.
''Apa kamu akan bilang pada teman-teman lain bahwa aku bekerja paruh waktu?'' Bora menunjukkan wajah yang datar dan tidak menatap Dikta saat ia berbicara. Pandangan matanya hanya melihat ke lantai-lantai cafe yang berkilauan warna-warni.
Dengan suasana yang tidak enak itu, Dikta berusaha mencairkannya.
''Apa? Memangnya aneh bila seorang siswa terbaik bekerja paruh waktu?''
Rasa cemas yang ada pada diri Bora semakin meninggi.
''Bukan begitu, padahal aku selalu bilang tidak mau menyia-nyiakan satu detik pun waktuku kepada siapa pun. Aku harap kamu tidak akan mengatakan hal ini pada teman lain. Tolong jadikan ini sebagai rahasia.''
''Oke, aku mengerti.'' Terpikir Dikta bahwa kalimat ini akan cukup meyakinkan temannya itu.
''Kamu tidak akan menanyakan lebih jauh bagaimana aku? Kenapa aku harus berbohong bahwa aku pergi les privat setelah pulang sekolah? Kenapa aku bekerja paruh waktu?'' Bora agak sedikit menekan nada bicaranya pada Dikta.
''Ya, pasti kamu punya alasan tersendiri. Aku tidak perlu mengetahui apa alasanmu itu. Tapi aku ingin berkata bahwa kamu hebat sekali, bahkan jika aku menjadi dirimu aku tidak akan bisa sepertimu. Mendapat peringkat satu walaupun harus berusaha keras dalam hidup.''
Bora berani menggangkat kepalanya sedikit dari posisi menunduk tadi dengan melihat pada mata Dikta.
''Hanya yang pernah meraskan yang tahu rasanya. Seberapa dalam, luas, dan sakitnya. Aku harus pergi, tolong jaga rahasiaku.''
Waktu menunjukkan pukul 7.40 WIB yang artinya 5 menit lagi bel masuk akan berbunyi. Terdengar langkah sepatu yang tergesa-gesa berjalan menuju lorong lorong sepi. Oh, itu adalah wali kelas 12-A6, Pak Toni. Tidak biasanya ia berjalan ditemani oleh seorang murid di belakangnya. Sambil berjalan, Pak Toni pun mengamati para siswa di kaca transparan sepanjang lorong yang masih saja asyik dengan buku tebal dihadapan meja mereka. Sesampainya di kelas 12-A6 ia meggeserkan pintu dan mulai mengajar.
''Pagi semuanya, ada murid baru di kelas kita.'' Pembukaan kalimat yang to the point dari Pak Toni.
Sera berbisik pada Chevio ''Murid baru? Mengapa dia pindah di kelas 3 SMA? Bukannya ini pertama kalinya?''
Pak Toni melanjutkan pembicaraannya.
''Nah, silahkan perkenalkan dirimu!''
''Halo, saya Kale. Senang bertemu dengan kalian semua.''
Tatapan Yuri sangat tajam pada murid baru itu dan juga begitu sebaliknya. Entah ada apa diantara mereka berdua. Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah takdir yang memang mempertemukan kembali mereka. Ya, mereka sudah saling kenal. Namun, hubungan antar mereka tidak cukup baik akibat suatu hal rumit hingga menyebabkan Yuri bagai segitiga yang menonjol di dalam suatu lingkaran dan tidak tahan dengan itu.
Siangnya, Yuri memanggil Kale untuk berbincang. Kiranya memperbaiki hubungan mereka, ternyata hanya angan-angan. Yuri malah memintanya untuk pura-pura tidak mengenalnya apalagi dekat. Yuri langsung membuka pembicaraan dengan nadanya yang terlihat seperti meluapkan kembali amarah yang pernah ada dalam dirinya pada Kale.
''Apa-apaan kamu? Kenapa tiba-tiba muncul? Katakana padaku. Kenapa kamu pindah ke sekolah ini? Apa kamu sudah gila? Kamu ingin membuat aku menderita lagi?''
''Yuri, tenanglah. Aku juga tidak tahu kamu bersekolah di sini. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi. Aku bukannya sengaja pindah ke sekolah ini.'' Kale menjawab dengan tenang seperti biasanya.
''Kale, ini permintaanku. Berpura-puralah untuk tidak mengenaliku di sekolah ini.jangan menyapaku juga karena kita tidak saling kenal. Kita baru bertemu hari ini. Mengerti?''
''baiklah, aku sudah mengerti. Jadi, berhentilah memarahiku. Aku minta maaf soal itu. sekarang, aku adalah orang yang berbeda dengan masa laluku. Aku berubah semenjak aku dikeluarkan dari sekolah itu.''
Yuri tidak menggubris kalimat yang dilontarkan padanya dan pergi meinggalkan Kale sendiri dengan terburu-buru. Hatinya semakin hancur karena Kale masih merasa bersalah pada Yuri 2 tahun lalu bahkan masih terbawa hingga sekarang. Terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Yuri masih belum bisa mengikhlaskan permintaan maaf Kale. Semua dikarekanakan karena membuat Yuri sampai pindah sekolah untuk mengatasi traumanya.
105 hari menuju Ujian Masuk Universitas
Berusaha menata hidup kembali setelah jatuh tanpa berusaha bangun untuk sekian lama, rasanya seperti memanjat sumur. Barangkali, karena itu selama ini ia memilih pasrah menggantung nasib pada waktu yang akan datang dan keajaiban yang mungkin hadir, pikir Rhea. Ia akan memulai kembali hidunya seperti biasa. Membuka jendela untuk melihat matahari pagi, mandi setiap hari, lalu pergi ke sekolah dan kembali mengikuti pembelajaran seperti biasanya dengan baik dan sungguh-sungguh walaupun masih belum ada tanda di jalan hidupnya.
''Kamu begitu naif. Aku tidak memintamu untuk menentukan ingin jadi apa. Aku meminta kamu untuk menuliskan cita-cita di lembar profile SMA-mu. Kamu harus pura-pura memiliki cita-cita. Kamu juga harus pura-pura putus asa. Ini adalah cara kerjanya. Murid lain mengisi profile mereka dengan jurusan yang mereka inginkan. Apa ini? Kamu menulis pekerjaan berbeda setiap tahun.'' Itu adalah kata-kata yang dilontarkan oleh wali kelas kepada Rhea pagi itu.
Ia kembali ke kelas dengan wajah muram dan duduk dengan lesu di bangku coklatnya di samping Yuri. Terlihat di sana sahabat-sahabatnya sedang menunggu hasil konsultasinya pagi itu.
''Aku tidak punya cita-cita. Tapi, aku harus punya agar bisa masuk universitas.''
Rhea mengeluhkan apa yang dikatakan oleh wali kelas pagi itu dan mengadu pada sahabat-sahabatnya.
Gangga, seseorang yang penuh ambisi untuk masuk universitas karena dukungan dan paksaan orangtuanya berusaha meyakinkan dan memberitahu untuk tidak menyalahkan diri sendiri pada Rhea dan teman-temannya.
''Memang, orang dewasa menganggap di usia 17 tahun ini kita harus penuh impian dan harapan. Begitulah.''
''Oh iya, kamu akan belajar menghafal KUHP-kan?'' Rhea bertanya kepada Gangga dan mengembalikan senyumnya yang rusak pagi itu.
Gangga mengangguk-anggukan kepalanya.
''Ya, itu akan membantuku untuk masuk ke jurusan hukum.''
''Wah! Keren sekali. Bagaimana denganmu Bora?'' Dikta membanggakan teman sebangkunya itu dan bertanya pada yang lain.
Bora menjawab dengan yakin karena ia telah mantap memiilh apa yang akan ia jalani untuk hidupnya.
''Aku akan daftar ke jurusan Administrasi Negara atau Hubungan Internasional. Nantinya aku akan mengikuti ujian masuk pegawai negeri?''
''Ah, berarti kamu harus mengikuti ujian lagi. Apakah kamu tidak lelah?'' Kale ikut antusias pada jawaban yang dilontarkan Bora.
''Semuanya pun akan begitu jika ingin menjadi pegawai negeri.'' Bora menjelaskan informasi yang menurutnya siswa kelas 12 harus tahu.
Dikta meledek Kale dengan menyindirnya, secara tak sengaja ini berhubungan tepat dengan apa yang dirasakan keduanya dengan hubungan renggang yang teah disepakati tadi siang.
''Astaga, hal seperti itu saja kamu belum tahu! Makannya tanyakan saja pada Yuri.''
''Wah keren! Semua orang tahu apa yang akan dilakukan ke depannya. Aku paham kenapa wali kelas memarahiku.'' Lagi-lagi Rhea mengeluhkan dirinya dengan ekspresi sedikit tertawa pada teman-temannya.
Aku merasa cemas. Semua orang sedang menuju tempat mereka masing-masing dengan perahunya. Tapi, aku tidak tahu harus ke mana padahal perahuku sama-sama sedang berlayar pada laut yang sama namun tidak ada arah yang harus aku tuju. Andai saja aku menjadi seperti Gangga atau Yuri, semuanya akan terlihat mudah jika aku mempunyai kemampuan yang lebih dari diriku yang seperti ini.
Sore itu, Gangga sudah dijemput ibunya seperti biasa di depan gerbang sekolah. Dengan hati yang senang, ia memasuki mobil di bangku belakang dan meminta izin pada ibunya untuk pergi ke pantai setelah ujian percobaan ke-2 selesai dengan apa yang tadi ia dan teman-temannya diskusikan. Tanpa basa-basi ia memulai pembicaraan karena ia piker pastinya akan diijinkan karena hanya sekedar bermain ke pantai di hari ke 100 menuju unjian masuk universitas.
Dengan helaan nafas panjang yang dihembuskan, ibunya memulai pembicaraan saat Gangga telah duduk di jok belakang mobil itu.
''Gangga! Setiap detik sangat berarti sekarang. Besok sudah H-102 ujian masuk universitas dan akan diadkan evaluasi ujian percobaan. Dan, berhentilah berbicara pada temanmu yang tidak penting. Guru lesmu mengkhawatirkanmu, kamu terlalu banyak bergaul dengan teman sekelas.''
''Aku jarang berbicara dengan orang lain di sekolah. Jangan khawatir.'' Ia menyakinkan ibunya.
Malamnya, ia bilang pada username artpreciatetheday bahwa ia akan pergi ke pantai bersama teman-temannya tulat hari. Dan ia rela menjadwal ulang jam lesnya hanya untuk bermain sekedar menghabiskan waktu sorenya setelah sulitnya mengerjakan ujian percobaan. Sambil mengetik chat-chat yang dikirimkannya, Gangga keluar kamar. Kaget, ia bertemu dengan ibunya di ruangan tengah. Ibunya melihat ia asyik bermain handphonenya yang bahkan sambil berjalan. Takut ia terganggu pada ujian percobaan kali ini, ibunya menyita handphone Gangga.
Terdnegar bunyi notifikasi dari handphone itu. Ada pesan masuk dari username artpreciatetheday. Pesannya hanya dibaca oleh feel_empty dengan depat. Rhea mempertanyakan mengapa ia membaca pesannya dengan cepat namun tidak membalas hingga sekarang. Pikirannya kalang kabut. Pikirnya, mungkin Gangga sudah tertidur. Tiba-tiba, ada telpon masuk dari username feel_empty itu.
Diangkatnya dengan cepat oleh Rhea. Terdengar sura ibunya Gangga berbicara.
''Halo, Rhea? Aku meminta maaf karena menelponmu larut malam begini. Aku ibunya Gangga. Ya Rhea, aku tahu ini sudah memasuki waktu yang penting untuk kalian berdua masuk universitas. Aku yakin ini akan berakibat tidak baik jika kalian masih mengobrol sampai larut seperti ini. Aku harap kamu tidak lagi menghubungi Gangga.''
Gangga yang telah keluar dari kamar mandi mendengar perbincangan ibunya pada Rhea itu dan menguping di depan pintu kamar ibunya. Sontak, ia kaget atas perlakuan ibunya yang ssampai seperti itu untuk mengkhawatirkannya. Gangga masuk kamar ibunya dan langsung meluapkan emosinya.
''Apa yang ibu lakukan? Aku tahu ini untuk kebaikanku karena aku anakmu. Membenci atau tidak, aku terlahir di keluarga ini. Jadi, aku tetap bertahan. Tapi kenapa? Kenapa ibu melakukan ini juga pada teman-temanku? Siapakah ibu sampai berani melakukan itu pada temanku? Apa hak ibu sampai Rhea pun ibu ganggu?''
''kamu... apakah dia pacarmu? Apakah kamu jatuh cinta? Ini adalah hal terakhir yang kamu butuhkan di tahun ini. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu bersikap seperti ini! Kamu hanya memiliki waktu 102 hari lagi. Apa kamu gila? Ini semua karena dia? Berhenti berbicara dengannya. Aku akan mengambil handphone ini!''
Gangga tidak berkutik. Ia diam termenung, memasang wajah dengan kerutan alis dan nafas dengan tanpa ritme. Gangga tidak berbicara satupun kata. Ia berusaha mengambil kembali handphone itu yang ibunya pegang dengan paksa. Ibunya mengambil kembali pula dari genggaman Gangga. Namun, tenaga Gangga lebih kuat hingga membuat ibunya melepaskan tangannya itu dari genggaman tangan Gangga. Dengan kesal dan kecewa, Gangga meninggalkan ibunya dan pergi ke kamarnya untuk kembali belajar bahwa dalam ujian percobaan kali ini ia akan membuktikan bisa mencapai peringkat satu itu.
100 hari menuju Ujian Masuk Universitas
Dengan terburu buru Dikta sebagai ketua kelas 3-A6 terlihat berlari kecil diantara lorong-lorong sepi dan kosong lalu masuk kelas dengan nafas yang terengah-engah dan berbicara walaupun belum sempat mengatur nafasnya.
''Si peringkat satu, ia menghilang!'' Sedikit kata yang ia lontarkan namun dapat seketika mengguncangkan semua siswa di kelas itu.
Teringat, Rhea mengambil kembali handphonenya dan membuka pesan kemarin yang dikirimkan Gangga.
''Aku ingin mati, haruskah aku bunuh diri?''
2 hari yang lalu, ujian percobaan masuk universitas kembali diadakan oleh sekolah untuk evaluasi bulan ini. Semua siswa telah mempersiapkan diri lebih matang dan belajar dari kesalahan pada ujian percobaan sebelumnya. Ini semua akan segera berkahir, semua siswa harus bertahan demi masa depan dan menguatkan dirinya masing-masing. Hanya tingga menghitung hari untuk ujian masuk universitas terhitung 102 hari lagi. Namun, pasti ada kalanya juga tidak percaya pada diri sendiri.
Berbeda dengan diri Bora yang seperti biasanya. Ia melakukan kesalahan besar pada ujian kali ini. Ia tidak percaya pada dirinya sendiri. Telah menghafal materi yang kemungkinan akan muncul tapi percuma, semuany akacau karena ia tidak focus. Padhaal, h-1 jam lagi ujian akan dimulai. Namun, ia mengurungkan diri kali ini untuk bekerja keras sedikit lagi. Jarinya menyobek kertas kecil lalu dituliskannya materi pokok yang sulit ia hafal. Saat ujian, ia melihat kertas itu dengan hati-hati. Kali ini ia mengacaukannya. Tempat yang menyesakkan itu terus berjalan tanpa ada harapan.
''Lihat ini! Apa aku bilang, kamu pasti akan bisa peringkat satu. Kamu sudah bekerja keras, mana mungkin nilaimu tidak naik. Kamu baru pertama kali jadi peringkat satu di satu sekolahkan? Luar biasa!'' Kale berkata bangga pada sahabatnya itu.
Gangga hanya membalas temannya itu dengan senyuman yang sangat manis. Ia langsung mengambil handphonenya dan membuka aplika Instagram lalu memberi tahu username dengan nama 'artpreciatetheday' itu bahwa kali ini ia benar-benar menang.
''Untungnya nilaiku naik, ibuku pasti akan senang.''
''Itu bagus! Selamat ya! Kamu bisa berkompromi lagi dengan ibumu soal jurusan yang ingin kamu ubah.''
Lain halnya dengan Bora, baru kali ia merasa sangat kalah. Tidak pernah ada yang mengalahkannya hingga hari ini datang. Seseorang yang pernah menganggapnya bukan saingan kini ia anggap itu pengkhianatan karena Gangga pernah mengatakan ia bukan saingannya.
''Kalau terus-terusan peringkat satu, itu tidak manusiawikan? Lagipula ini bukan ujian akhir, ini hanya latihan ujian. Akupun sama, tetap mengacaukannya seperti biasa.'' Dikta mencoba menyemangati sahabatnya itu karena terlihat murung akibat kejadian hari ini.
Bora masih menyesali apa yang ia dapatkan dan meminta untuk Dikta pergi.
''Bisakah kamu pergi? Aku sedang ingin sendiri.''
Sepulang dari sekolah dengan kabar bahagia itu, Gangga langsung bersemangat untuk membuat laporan rencana hidup yang akan ia presentasikan pada ibunya malam itu juga. Terlihat ia sangat gugup dan bingung. Mundar-mandir di depan kamar ibunya. Namun, akhirnya ia membulatkan tekad dan memberanikan diri untuk mengetuk pintu yang ada di depannya. Ia mengajak ibunya keluar kamar dan mulai mempresentasikan tujuan hidupnya.
''Ada yang ingin aku sampaikan pada ibu. Ini adalah pengumuman terpenting di hidupku, aku ingin mempresentasikannya pada ibu. Mungkin ibu sedang lelah. Tapi aku sudah mempersiapkannya, jadi aku harap ibu dapat memahami ini.''
''Kamu melakukan hal seperti ini saat periode ujian terhitung 101 hari lagi. Baiklah, ibu akan dengarkan.'' Ibunya berbicara dengan lembut mengharapkan anaknya itu mempresentasikan apa yang telah ia harapkan untuk masa depannya.
Gangga mencoba tetap tenang dan yakin atas apa yang akan ia kemukakan malem itu. berharap pula ibunya dapat mengerti dirinya sebab telah berhasil mencapai apa yang ibunya suruh. Sehingga, kini gilirannya untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
''Kalau begitu, aku akan mulai. Pekerjaan di bidang perfilman dan cerita mengenai kesuksesannya. Pekerjaan di bidang ini adalah sutradara, produser, sutradara teater, serial, dan radio juga. Inilah bagian terpentingnya. Di 5 tahun ke depan, jumlah pekerja di dunia perfilman yang dibutuhkan akan terus meningkat. Pekerjaan yang terkait dengan bidang perfilman terhitung 68,9%. Banyak mahasiswa dari lulusan film mendapatkan pekerjaan yang berhubungan dengan film. Penghasilannya juga terus meningkat.''
Ia melihat wajah ibunya yang langsung berubah drastic seketika saat ia baru memulai paparannya itu. seketika wajah yang tadinya bak putri yang ramah itu langsung berubah menjadi monster yang sangat mengerikan. Seperti biasanya, ibunya mengepal tangannya yang didalamnya ada kertas yang Gangga beri. Matanya melotot mengarah pada Gangga menunjukkan banyaknya kekecewaan yang ia dapat hari ini dari anak kandungnya sendiri. Melihat ibunya seperti itu, ia langsung merubah lagi haluannya dan menghapus topik tadi.
''Aku akan masuk jurusan Bisnis Administrasi Hukum seperti yang ibu mau. Tapi, setelah aku masuk kuliah, aku ingin hidup sesuai keinginanku sendiri. Aku tahu ibu tidak suka aku menyukai perfilman, tapi aku tidak asal pikir saja. Aku juga meriset segalanya tentang kemuanku ini.''
Dengan situasi yang tidak mengenakan itu, hatinya terus berdebar-debar akibat apa yang telah ia katakan pada ibunya. Hal yang telah ia simpan sejak lama akhirnya keluar dari mulutnya dengan perasaan takut tapi berhasil ia lontarkan tanpa terbata-bata.
''Kamu tidak waras? Kamu tidak mengerti ibu? Ibu bilang tidak boleh! Ibu bilang, tidak boleh! Sutradara film? Kamu tahu bagaimana aku membesarkanmu? Untuk membuat kamu menjadi pengacara, agar kamu masuk ke Universitas Indonesia, aku menghabiskan waktu dan uang hanya untukmu. Aku lakukan segalanya sampai kamu ada di titik ini. Apa? perfilman? Kamu sudah gila? Jika ayahmu tahu tentang ini, dia akan pingsan karena ini!''
Plak! Tangan halus itu terlempar pada pipi sebelah kanan Gangga. Kali ini, rasa cinta pun dapat membuat seseorang melakukan kekerasan. Kekecewaan yang mengebom hati ibunya pun seketika juga menjadikan suasana semakin rumit dan tidak enak. Gangga tidak putus asa, ia terus meyakinkan ibunya. Bahkan, baru kali ini dirinya berani seperti ini. Bom waktu yang ia simpan sangat lama itu sudah hancur dilemparkan hari ini.
''Tapi itu bukan yang aku inginkan! Ibu menyeretku sampai sini karena keinginanku? Ini ambisi kalian! Ini keinginan ibu dan ayah! Ibu hanya ingin memamerkan anaknya yang pintar ini menjadi pengacara di depan orang lain. Bukankah itu yang kalian butuhkan? Ini bukan hidup ibu! Ini hidupku!''
Hati seorang ibu yang mengasihi dan memberi tanpa mengharap balasan kini sangat rapuh. Pecah bagai kaca yang dihantam barang berat seketika. Tidak akan bisa lagi ia tata dan perbaiki seperti semula.
''Aku sudah memberimu makan dan membesarkanmu dan segala yang kamu inginkan selalu dipenuhi. Kalau begitu, pergilah! Pergi dan jalani kehidupanmu! Aku ingin lihat bagaimana hidupmu. Hiduplah sesuai keinginanmu!''
Ia meninggalkan ibunya dan keluar rumah ke taman dekat rumahnya untuk mencari udara segar. Harapan yang telah ia bangun hari ini karena pencapaiannya runtuh seketika. Tempat tanpa ular berbisa dan kobaran api, tetap bisa jadi neraka. Aku tidak percaya ini, aku ingin keluar dari meraka ini. Ia mengrimi pesan pada username artpreciatetheday.
''Aku ingin mati, haruskah aku bunuh diri?''
Dengan mendapat pesan seperti itu, Rhea terbangun langsung dari tempat tidurnya dan beranjak pergi keluar untuk menemui Gangga. Rasa khawatirnya pada Gangga cukup melonjak saat ia bertemu.
''Kamu membuatku khawatir, kenapa kamu ingin mati? Sekarang sudah larut, ayo pulang ke rumah dan sampai bertemu di sekolah besok. Oke? Gangga, jangan terlalu khawatir. 100 hari kemudian, semuanya akan baik-baik saja.kamu pintar! Semuanya akan berjalan mudah bagimu. Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik!'' Rhea meyakinkan Gangga bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Gangga mengangguk dan mengerti apa yang Rhea bicarakan.
''Baiklah, terima kasih Rhea!''
Pagi harinya, Rhea berangkat sekolah sendiri. Hari ini, ia tidak berangkat dengan Dikta. Sesampainya di sekolah, Rhea meihat bangku di sebelah Dikta yang masih kosong. Dikta tertidur dan ia membangunkannya untuk menanyakan dimanakah Gangga. Namun, Dikta malah menjawab dengan jutek mengapa ia bertanya tentang Gangga kepadanya. Ia tidak tahu menahu dan meminta bukankah Rhea lebih dekat akhir-akhir ini dengannya. Tiba-tiba, Leo memanggil Dikta dan memintanya untuk menemui wali kelas. Ia pun pergi dari bangkunya menuju kantor.
Sambil menyusuri lorong-lorong menuju kelasnya dari kantor guru, ia memikirkan apa yang tadi wali kelasnya bilang tentang sahabatnya. Bagaimana bisa ia tidak tahu menahu sahabatnya itu pergi.
''Gangga kabur dari rumah tadi malam dan masih belum kembali. Apa kamu tahu sesuatu? Ibunya melapor ke sekolah pagi ini untuk mencari Gangga. Karena kamu ketua kelas sekaligus sahabat dekatnya, aku memanggilmu siapa tahu kamu mengetahui keadaan Gangga sekarang.''
Dikta memasuki kelas 3-A6 lalu berbicara dengan nafas yang terengah-engah karena belum sempat mengatur nafasnya. Ia mendekati Rhea yang pagi itu menanyakan Gangga padanya. Ternyata, ini adalah tanda dari Rhea pada dirinya.
''Si peringkat satu, ia menghilang!'' Sedikit kata yang ia lontarkan namun dapat seketika mengguncangkan semua siswa di kelas itu.
''Apa? Apa maksudmu menghilang?''
''Gangga pergi dari rumah, dia menghilang dejak tadi malam. Kamu tahu hal ini?''
Teringat, Rhea mengambil kembali handphonenya dan membuka pesan kemarin yang dikirimkan Gangga sebelum menemuinya. 'Aku ingin mati, haruskah aku bunuh diri?' Rasa khawatirnya semakin bertambah dengan berita ini. Rhea mencoba menelpon Gangga terus menerus. Namun, tidak ada hasil karena handphonenya dimatikan.
''Ponselnya masih mati. Haruskah aku mencarinya? Sulit sekali bila aku harus menunggu tanpa berbuat apa-apa.''
Dikta tidak ingin sahabatnya hilang lagi, sehingga ia tidak mengijinkan untuk mengambil arah sendiri dalam kehendaknya.
''Orang tuanya pasti sudah menelpon polisi. Jangan khawatir. Dia akan baik-baik saja. Dia pasti akan mennghubungi kita.''
Aku tidak tahan lagi dengan neraka ini. Sudah terlihat di depannya beberapa langkah apartement tempatnya tinggal. Ia membalikkan badan 180 dejarat dan berjalan menjauhi tempat itu. kenangan-kenangan yang ia lalui saat melewati jalan itu diputarkan oleh otaknya secara visual. Dilihatnya mobil Mercy berwarna hitam itu melewati jalan di depan tempat trotoar dan lampu jalan dimana ia berdiri tepat. Dirinya juga melihat Gangga yang berada di belakang jok mobil itu dengan perasaan yang selalu cemas.
Jalan yang setiap kali ia lalui, pemandangan yang selalu ia lihat. Tapi, mengapa ia belum pernah melewati jalan ke arah sana? Ia berjalan terus menuju tempat pemberhentian bus. Walaupun setiap hari ia melihatnya, tidak pernah sekalipun ia naik bus. Ia tahu nama nama derah, tapi ia tidak pernah pergi kesana. Banyak sekali jalan yang dapat ia lalui di dunia ini. Tapi, kenapa tidak ada jalan untuknya untuk ia lalui?
Gangga terbangun dari tidur lelapnya krena matahari yang mulai mengerumuni dan tersentak membuatnya terbangun karena polisi tidur yang bus itu lewati. Tak sadar, ia melihat sekelilingnya sangat berbeda dari tadi malam. Juga hanya ia yang berada di dalam bus itu. Ada tempat pemberhentian di depan, ia membayar bus itu dan turun.
Gangga menyusuri jalan di tempat itu dari pemberhentian bus tadi. Ia melihat hamparan luas air berwarna biru dan duduk sambil memeluk kedua kakinya. Perutnya lapar, melihat isi dompetnya yang ia bawa tidak banyak. Ia menyalakan handphonenya, suara notifikasi terdengar sangat bertautan tanpa henti hampir selama satu menit. Lalu, Gangga mengirim foto pantai di hadapannya pada grup chat bersama sahabat-sahabatnya. Lantas, kini keberadaannya sudah diketahui. Mereka berkata bahwa Gangga bersennag-senang sendiri dan meninggalkan mereka diambang kesusahan karena mengkhawatirkannya.
Dikta : Gangga arkata, kamu dimana?
Yuri : Kami khawatir! Hubungilah kami jika engkau sudah menyalakan handphonemu.
Rhea : Hei! Kamu anak kecil? Tiba-tiba kabur dari rumah?!
Kale : Itu bisa saja terjadi. Gangga, semua orang menglhawatirkanmu.
''Oh, dia membacanya. Gangga membacanya.'' Rhea yang sedari tadi menatap layar handphonenya girang karena Gangga sudah mengaktifkan handphonenya dan memberitahu teman-temannya.
Hamparan laut berwana biru dengan gunung hijau dan langit yang membari warna kuning sungguh cocok dalam pewarnaan alam indah ini. Banyak pula burung-burung putih yang menghiasi bak icon karakter gif yang berterbangan. Suara derusan ombak yang mengamuk juga membuat riuh hati siapapun orang yang berada di tempat itu.
Gangga kembali ke tempat pemberhentian tadi menunggu teman-temannya datang. Menahan lapar, saat mereka datang ia tidak dapat mengontrol wajahnya yang terlihat lesu seperti belum makan selama seminggu. Ia tidak menghiraukan celotehan-celotehan yang teman-temannya beri dan mengalihkan pembicaraan dengan kepolosannya.
''Jika pergi kea rah sana, ada laut. Seperti yang aku kirimkan, ayo kita Pergi melihat laut.''
Melihatnya berbicar aseperti itu sambil memegang perut, Dikta nyeloteh sambil tertwa melihat tingkah aneh sahabatnya itu.
Mendengar celotehan Gangga, Dikta kesal ia masih menghargai laut dibandingkan perutnya.
'' Hei, tidak perlu melihat laut. Ayo kita cari makan saja!''
Kale ikut meneruskan perkataan Dikta.
''Kamu itu anak pintar. Kenapa kamu kabur dari rumah tanpa membawa apa-apa? Huh... kita sudah jauh-jauh ke pantai aku pikir kita akan makan barbeque.''
''Hehe, maaf. Ini kabur dari rumah yang tidak aku rencanakan.''
''Tapi kita juga suka walau hanya berkumpul makan di pinggir pantai seperti ini. Ehem... Bagaimana keadaanmu hari ini? Bagaimanakah kesanmu setelah kabur dari rumah untuk pertama kalinya dalam hidupmu?'' Rhea bertingkah seperti seorang wartawan yang sedang mewawancarai secara live.
''Ah... bagaimana ya? Hanya, aku merasa bodoh.''
''Apa-apaan? Murid peringkat satu berkata seperti itu?'' Lagi-lagi Dikta selalu comment dengan apa yang Gangga katakan.
Gangga tidak menghiraukannya, ia melanjutkan pembicaraannya.
''Saat aku berdiri di jalanan, aku tidak tahu harus pergi kemana. Jadi, aku hanya jalan tanpa memikirkan apa-apa. Setelah aku berjalan dan berjalan lagi, aku sampai ke pantai. Setelah terus menunggu, kalian datang. Dan aku pikir, ini bukan hal yang buruk. Mungkin aku akan melakukannya lagi lain kali. Hahaha...''
Kadang, kita memang akan mendapatkan hal yang lebih berharga saat kita berada jauh dari tujuan awal dan kehilangan arah. Mereka semua menghabiskan waktu bersama untuk mengakhiri langit yang mulai sekarang sudah mulai berwarna pink-orange dan bermain dengan air asin pantai.
''Matahari mulai terbenam. Haruskah kita pulang sekarang?'' Yuri melihat mata sapi itu dengan berdiri dari teman-temannya yang sedang terduduk.
Namun, taka da yang ingin pulang sekarang. Mereka masih ingin menikmat masa remajanya itu.
''Saat kamu bilang kamu ingin mati, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya akan sangat menyesal jika itu benar-benar terjadi hingga kau menghilang.''
''Maaf. Aku tidaka bermaksud seperti itu. aku hanya sangat marah saat itu.'' Gangga menyesal telah berkata seperti itu sebab tidak biasanya ia mengatakan hal kasar walaupun pada dirinya sendiri. Tapi, kali itu membuat ia sangat marah.
Semua orang di pantai itu diam tak berkutik dan hanya menyimak apa yang sedang Gangga dan Rhea bicarakan. Tak biasanya ia terlihat sangat dekat seperti itu.
''Tidak apa-apa. Keinginanmu untuk mati itu bukan salahmu. Atau kabur dari rumah seperti ini, semuanya bukan salahmu. Ini juga bukan karena kamu terlalu lemah dan bukan karena kamu membangkan pada orang tuamu juga. Ya, kita masih 17 tahun. Menurutku, orang dewasa dan dunialah yang membuatmu berpikir kalau kamu salah. Kamu tidak punya kesalahan sama sekali. Jadi, ayo kita lalui ini bersama. Aku tidak ingin kehilangan sahabatku.''
''Terima kasih!''
''Wah, ahahaha... Rhea memang hebat berkata-kata.'' Dikta menyanjung sahabatnya itu dengan senang tapi agak sedikit meledek.
''Benar juga. Setelah kamu sering menulis di Instagram, kamu jadi semakin pandai berkata-kata hingga penulis terkenal mengikuti akunmu. Kamu memang ditakdirkan sebagai seorang penulis.'' Gangga pun ikut menyanjung sahabatnya itu.
''Hm... itu berkatmu juga!''
Hari sudah cukup gelap saat itu, terlihat lampu mobil yang silau menyeret mendekati Gangga dan Rhea. Rhea melambaikan tangannya pada si pengemudi, Jisa. Ya, kakaknya menjemput mereka sebab sudah tidak ada lagi jadwal bus yang berhenti menarik penumpang di sebuah tempat pemberhentian bus yang terakhir itu. Rhea melambaikan tangannya seperti salam selamat datang pada kakanya.
Dibuka kaca mobilnya, Jisa tidak berhenti mengoceh pada mereka berdua dan tidak sadar bahwa sudah hampir 2 menit ia berbicara sendiri sebab mereka hanya tertunduk diam. Selang itu, Jisa memperbolehkan mereka berdua masuk dan duduk di belakang. Diambilnya satu kantung keresek putih di jok samping kemudinya lalu diberikan pada mereka berdua. Tak lupa, Jisa juga membelikan mereka kopi panas untuk menghangatkan tubuh mereka sehabis bermain di pantai tadi.
Di tengah perjalanan, Jisa memberhentikan mobilnya dan melihat ke belakang mereka berdua sedang tertidur pulas. Ia keluar mobil lalu memencet tombal bertuliskan panggil pada kontak yang dinamainya 'ibu'.
''Halo, ibu. Aku sudah bertemu mereka. Mereka baik-baik saja, Jangan khawatir. Pasti aka nada kalanya mereka seperti ini.''
Rhea terbangun dari tidurnya dan mengambil ponsel di tas abu miliknya. Dicarinya kontak bernama 'Ibu Gangga' lalu mengirimkan pesan panjang.
'Halo, maaf mengganggu waktu istirahat di larut mala mini. Aku Rhea Adisty, teman sekelas Gangga. Aku tahu ini membuat kecewa. Tapi aku rasa, ibu akan mengerti perasaan Gangga setelah melihat ini. Aku akan megirim beberapa hal.'
Dilihatnya beberapa tangkap layar yang dikirimkan oleh Rhea berisi chatnay dengan Gangga dari hari ke hari mengenai perasaannya.
'Aku tahu ibuku sangat menyayangiku. Dia selalu datang ke pertemuan sekolah dan mencarikanku tempat les terbaik. Dia selalu sibuk mengurusiku. Tapi aku berharap dia bisa mengerti perasaanku juga. Kadang aku berpikir, kehidupan yang kujalani ini adalah hidupku atau hidup iibuku? Aku ingin melarikan diri dari tempat ini. Aku ingn mati. Haruskah aku bunuh diri?'
Ibunya mengeluarkan air mata emasnya yang sangat deras. Kesedihan yang ia alami semakin membuat dirinya merasa bersalah akan anaknya itu. semua terluapkan dengan tangisannya yang sangat rintih. Bahkan, saat Gangga pulang ia masih meneteskan air mata karena belum habis semua kekeceawaan yang ada pada dirinya dalam merawat anak. Ia tidak memarahi Gangga yang sudah kabur dari rumah sejak itu. gangga melihat baru kali ini ibunya meneteskan air mata yang menunjukkan luka yang menganga sangat dalam di lubuk hatinya. Sejak saat itu, hubungan ia dan ibunya mulai baik kembali seperti biasanya.
Hari-H ujian masuk universitas...
Tanggal 12 April pagi hari yang cukup dingin karena matahari masih malu-malu untuk muncul. Satu hari yang dapat menentukan nasib mereka. Di luar, terdengar para junior-junior yang menyemangati seniornya untuk ujian masuk universitas.
''Semampumu saja, kami tidak berharap banyak...'' Jisa bukan memberi Rhea semnagat, hanya saja pasti Rhea pun akan mengerti akan kemampuan dirinya. Namun, belum saja ia menyelesaikan kalimatnya tapi mulutnya di tutup oleh tangan ayahnya karena takut membuat Rhea menjadi rendah diri dalam satu hari penentuan ini.
''Sssttt... putriku, tidak perlu gugup. Lakukan saja seperti biasanya, ya! Semangat!!'' Ayahnya memberikan jinjingan kotak yang telah ibu Rhea masak untuk makan siang istirahatnya nanti dengan kertas kecil bertuliskan 'Kami menyayangimu Rhea, semangat. Makan sesuatu yang manis baik untuk membuat pikiranmu jernih.'
Tak mau kalah, ibunya juga menyerukan semangat pada Rhea sambil mengelus rambutnya diirngin kepalan tangan kirinya.
''Rhea, semangat!''
''Siap, aku akan lakukan yang terbaik. Aku pergi, ya.''
Sembari berjalan dan meninggalkan keluarganya, ia bertemu dengan Yuri dan Bora yang saat itu juga pergi meninggalkan keluarga mereka di depan gerbang masuk tempat ujian. Tak berbeda dengan yang lainnya, Gangga pun sangat matang persiapannya untuk mengikuti ujian masuk universitasnya. Bahkan, bisa dibilang orang yang paling hapal dengan berbagai jenis soal dan tingkat kesulitan soalnya. Dan Dikta, ia juga sudah cukup dengan kesetengahan siapnya seperti Rhea. Tapi, itu tidak akan masalah.
Ujian masuk universitas kala itu dilakukan mereka dengan baik dan lancar. Semua focus mengerjakan soal-soal yang dituliskan untuk mereka taruhkan menjadi kesuksesan mereka. Mereka asyik sendiri menjawab soal-soal itu.
Hari kelulusan tiba, semua siswa di sekolah terutama kelas 3-A6 telah siap mendengar nama mereka untuk dipanggil ke depan dan dikalungkan medali lalu menerima buku laporan kelulusan.
''Berikutnya, Gangga Arkata.'' Dengan tegas Pak Toni menyebut nama siswa kebanggaannya itu dan melanjutkan pembicaraanya setelah Gangga maju ke depan untuk mendengar sambutan Pak Toni.
''Nama, Gangga Arkata. Siswa ini telah menyelesaikan 3 tahun masa SMA dengan sangat baik. Maka,saya beri buku laporan padamu. Selamat!''
''Ah, aku gagal. Aku mengacaukannya lagi. Haha...untung saja esai yang ku tulis membantuku.'' Keluh Rhea pada teman-temannya setelah ujian masuk universitas itu selesai dua hari lalu saat acara kelulusan.
Sama halnya seperti Dikta, ia belum lolos masuk jurusan pendidikan olahraga karena nilai akademiknya masih kurang. Namun, ia tida berhenti di situ dan akan berjuang lebih kera tahun depan.
''Sepertinya aku juga harus mengulang ujian masuk universitas lagi tahun depan. Aku sedang mencari tempat les. Aku akan masuk kuliah tahun depan, hehe...''
''Aku yakin kau pasti berhasil. Coba bandingkan nanti nilaimu dengan yang sebelumnya pasti akan meningkat.'' Gangga ikut menyemangati sahbatnya.
Dengan bangga, Rhea memberi semangat pula pada Gangga.
''Oh, ibumu pasti senang karena kamu masuk jurusan Administrasi Bisnis Hukum Universitas Indonesiakan? Selamat! ''
''Ya begitulah... tapi aku juga sudah bergabung dengan klub perfilman disana. Kali ini ibuku mengijinkannya.''
Melihat semua temannya sangat senang seperti itu, Bora melontarkan pertanyaan pada Rhea dan memberinya selanat.
''Rhea, kadang aku membaca tulisanmu di Instagram, tulisanmu bagus! Tak heran kamu masuk Universitas Airlangga. Aku tahu kamu pasti lolos, kamu penulis hebat. Selamat!''
''Terima kasih. Tapi, kenapa kamu baru menyadari itu sekarang? Ya dengan bantuan Tuhan... aku akhirnya lolos di jurusan Jurnalistik. Aku benar-benar di ujung nasib kala itu.'' Dengan malu --malu kucing, Rhea merendahkan dirinya dari siswa monster belajar itu.
''Kamu juga hebat sekali! Mendapat beasiswa penuh di Universitas Brawijaya. Bora emamng hebat!'' Kale menanggapi pula apa yang telah Bora capai di 17 tahun ini.
Lain halnya dengan Yuri, iia terlihat hanya diam dan menyimak percakapan teman-temannya. Melihatnya seperti itu, Gangga mencoba membuka pembicaraan.
''Dan Yuri, apa alasanmu mengambil jurusan Psikologi?''
''Ah... sebenarnya aku memilih jurusan pendidikan karena permintaan ayahku. Tapi karena aku tidak lolos seleksi nilainya, tiba-tiba aku menemukan apa yang aku minati. Aku ingin membantu anak-anak yang memiliki kesulitan sepertiku.'' Yuri menjawabnya dengan yakin dan disambangi dengan alasannya.
Setelah dilahirkan ke dunia, setiap orang punya perahunya masing-masing. Orang lain tidak bisa mendayung perahu milikmu. Maka dari itu, kita harus mendayung maju tanpa henti. Kami menyelesaikan masa 17 tahun ini bersama dengan hal yang menyenangkan atau hal yang dibenci. Saat ini, usia 18 tahun bukanlah usia anak-anak lagi. Kami sudah melalui waktu bersama. Dan sekarang, kami perlu mendayung perahu ke dermaga kami masing-masing. Kita harus pergi ke arah yang berbeda. Tapi itu tidak masalah. Perjalanan kita tidak hanya sampai di sini. Inilah awalnya. Setiap orang memiliki lautnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H