Suara lonceng pintu masuk bergetar yang menandakan ada seseorang membukanya. Dikta disambut hangat oleh pelayan di cafe tersebut. Suara perempuan yang didengar oleh telinganya itu terdengar taka sing baginya.
''Selamat datang di cafe kami, Silahkan langsung memesan di sebelah sini.'' Seorang perempuan dengan serbet coklat kotak-kotak itu menyambutnya. Saat membalikkan badan, ia terkejut, Dikta ikut terkejut.
''Bora?'' ia memastikan bahwa itu memang Bora dengan bertanya dan mengerutkan alis wajahnya menunjukkan kebingungan dan ketidakmenyangkaan bahwa si murid peringkat satu ini bekerja paruh waktu di sebuah cafe dekat tempat lesnya, padahal pikirnya tidak akan ada satu detik pun yang akan ia buang jika bukan untuk belajar.
Bora mengantarkan minuman yang Dikta pesan dan mulai membuka pembicaraan.
''Apa kamu akan bilang pada teman-teman lain bahwa aku bekerja paruh waktu?'' Bora menunjukkan wajah yang datar dan tidak menatap Dikta saat ia berbicara. Pandangan matanya hanya melihat ke lantai-lantai cafe yang berkilauan warna-warni.
Dengan suasana yang tidak enak itu, Dikta berusaha mencairkannya.
''Apa? Memangnya aneh bila seorang siswa terbaik bekerja paruh waktu?''
Rasa cemas yang ada pada diri Bora semakin meninggi.
''Bukan begitu, padahal aku selalu bilang tidak mau menyia-nyiakan satu detik pun waktuku kepada siapa pun. Aku harap kamu tidak akan mengatakan hal ini pada teman lain. Tolong jadikan ini sebagai rahasia.''
''Oke, aku mengerti.'' Terpikir Dikta bahwa kalimat ini akan cukup meyakinkan temannya itu.
''Kamu tidak akan menanyakan lebih jauh bagaimana aku? Kenapa aku harus berbohong bahwa aku pergi les privat setelah pulang sekolah? Kenapa aku bekerja paruh waktu?'' Bora agak sedikit menekan nada bicaranya pada Dikta.