Mohon tunggu...
Putri Permata
Putri Permata Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Jangan pernah merendahkan siapapun dalam hidup, bukan karna siapa mereka tapi siapa kita?

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Yakin Mau Menyerah?

15 Februari 2021   10:46 Diperbarui: 15 Februari 2021   11:05 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 1 

Jane adalah seorang wanita yang mengajarkanku banyak hal, memberiku banyak tamparan kata kata yang sontak mebuatku terbangun dari ekspetasi yang sia-sia. Jane adalah kakak sulungku, kakak yang jutek, tidak peduli akan apapun itu. Selain kami, ada Kak Shea yang menengahi antara aku dan Kak Jane. Kami memiliki seorang Ibu dan Ayah yang sangat kami sayangi dan menyayangi kami. Bukan kami. Lebih tepatnya aku tidak.

"Ada apa sih kak berisik banget, masih pagi jangan teriak-teriak dong! Lagi asik mimpi nih." Teriak Kak Shea

"Sepatu hitam yang kemarin lusa kamu pakai kemana SHEA?!" Dengan sedikit penekanan pada perkataan Shea.

"Tadi aku lihat di atas rak kak." Kataku sambil memakan roti.

"Oke." Jawab Kak Jane singkat.

Suasana pagi di rumah seperti biasanya, ricuh saling mencari barang masing-masing. Saat sarapan bersama, keluarga kami selalu bersenda gurau. Rutinitas pagi seperti biasanya selalu dilalui dari hari ke hari. Sampai suatu ketika suasana yang hangat itu berubah menjadi tegang saat Kak Shea pulang larut malam. Ayah adalah orang yang tidak suka anak gadisnya pulang larut malam, Maghrib saja tatapan Ayah sudah berubah seperti tatapan singa yang siap menerkam.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.00 WIB. Lalu terdengar suara hentakan kaki dari luar, Kak Shea pulang.

"Assalamualaikum, aw ssakit." Seruan dari luar, suaranya terdengar kesakitan.

"Waalaikumsalam, Shea!" teriakan Ibu dari luar. Aku, Ayah, dan Kak Jane langsung bergegas keluar dan melihat Kak Shea sudah berlumuran darah.

"Kamu kenapa? Kecelakaan dimana? Kenapa pulang selarut ini?" Tanya Ayah

"Jadi, tadi itu" belum sempat Kak Shea menjelaskan apa yang terjadi padanya, Ayah sudah melanjutkan ucapannya tadi.

"Ya sudah kita langsung ke rumah sakit saja sekarang, luka kamu perlu diobati Shea." Lanjut Ayah.

Kami pun bergegas pergi ke rumah sakit menggunakan mobil, luka Kak Shea pun segera ditangani oleh suster di sana. Lalu Kak Shea menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata Kak Shea dihipnotis oleh seseorang, namun tak ada barang yang diambil sebelum Kak Shea dan penghipnotis nya kecelakaan, saat Kak Shea sadar ia sudah dikerumuni oleh warga, dan motor nya hilang. Sepertinya diambil oleh orang yang menghipnotis Kak Shea. 

Lalu Kak Shea pun diantar pulang oleh ojek yang dipanggilkan oleh salah seorang warga. Setelah Kak Shea menceritakan semuanya, ia menangis tersedu-sedu terdengar isakan yang sesak dari Kak Shea. Kak Shea menangis bukan karena luka yang ia alami, melainkan ia takut dimarahi oleh Ayah. Karena telah pulang larut dan motor baru dibeli 1 bulan oleh Ayah telah hilang. Namun Ayah tidak mempermasalahkan hal itu, ia hanya memberitahu kepada para anak gadisnya untuk tidak pulang malam lagi apapun alsannya.

Lalu kami pun pulang karena untungnya luka Kak Shea tidak terlalu parah. Jadi dokter sudah memperbolehkan Kak Shea untuk pulang. Saat di rumah, Ibu merawat Kak Shea dan Ayah menganggap masalah ini sudah selesai. Keesokan harinya rutinitas pagi yang biasa ku alami tidak kualami lagi hari ini. Kak Jane sudah berangkat kuliah, Ayah sudah berangkat kerja, dan Ibu sedang merawat luka Kak Shea. Aku sarapan sendiri di meja makan dan tidak ada teriakan Kak Shea setiap pagi yang menanyakan sepatu, kerudung, tas dan barang lain sebelum dia berangkat kuliah.

Selama beberapa hari kedepan semua berjalan seperti semestinya. Kak Shea pun sembuh dan awalnya aku mengira setelah Kak Shea sehat, kericuhan serta senda gurau akan terjadi lagi. Namun kali ini berbeda, semua asik dengan urusannya masing-masing.

Bagian 2 

Di SMA Nusa Cendikia yang familiar dengan sebutan Nuski ini terkenal sekali dengan murid-muridnya yang pintar dan good looking. Saat itu diadakan seleksi berbagai olimpiade untuk mewakili nama Nuski pada bulan Desember mendatang.

"Na kamu mau ikut gak tuh, lumayan buat nambah sertifikat." Tanya seseorang dari belakangku. Yang ternyata asal suara itu dari sahabatku, Reina.

"Emmm tapi gak tahu masih bingung, kamu gak ikut juga Re?" tanya ku pada Reina  

"Aku akan coba ikut Matematika aja deh. Karena kamu tahu kan Na, aku suka dengan Matematika tapi tidak dengan konsep Fisika. Kalo kamu kan suka banget sama konsep Fisika Na dari SMP." Jelas Reina

Aku hanya termenung, memikirkan ikut tes atau tidak. Karena di sisi lain aku menyukai konsep Fisika dan ingin membanggakan orang tua. Tapi di sisi lain aku takut akan kegagalan, karena notabene kepintaran siswa-siswi di Nuski tidak dapat diragukan. Bahkan teman SMP ku yang pernah memenangkan penghargaan sebagai juara ke-3 olimpiade Fisika se provinsi pun ada di sini.

"Na... Na... Nana.... Woi!! Narisha Aulia Putri Azzahra?!" Reina menyandarkan ku.

"Eh... Maaf Re tadi lagi mikir mikir" jawabku sambil cengengesan.

"Mikir apaan sampai lupa kenyataan gini Na?" Tanya Reina

"Eh eh.. engga Re cuma em bingung aja ikut seleksi atau enggak, kamu juga tahu kan Re anak Nuski itu pinter-pinter." Kataku terbata-bata.

Suara bel masuk pun berbunyi.

Selama jam pelajaran aku terus memikirkan mengenai seleksi olimpiade itu. Banyak sekali pertimbangan yang harus dipikirkan secara matang. Lamunanku terhenti saat Pak Rusli memanggil namaku dan menyuruhku untuk menyelesaikan soal Matematika yang sudah tertera di papan tulis. Saat itu aku merasa seperti terdorong ke jurang yang paling dalam, sedari tadi aku tidak memeperhatikan Pak Rusli.

Saat sedang mengerjakan soal yang diberikan Pak Rusli aku merasa sedikit kesulitan. Namun akhirnya aku bisa menyelesaikannya. Bel pulang pun berbunyI. Pada saat matahari sedang menjalankan tugasnya, aku bergegas pulang menuju rumah dan ingin segera memberitahu Ibu dan Ayah mengenai seleksi olimpiade ini.

"Assalamualaikum" ucapku sambil mengetuk pintu.

Tak ada jawaban dalam rumah, semua rasa kurasakan saat ini. Rasa panas Karena tadi matahari memancarkan sinarnya yang menusuk hingga kedalam kulitku. Rasa gelisah karena takut mendengar respon Ayah dan Ibu setelah mendengar kabar aku akan ikut seleksi.

Brakkk suara gebrakan pintu di dalam. Aku sontak berdiri dari kursi teras, dan saat aku akan masuk kedalam rumah aku mendengar perkataan Ayah.

"Iya ini semua gara-gara Ibu, selalu memaksakan kehendak. Kantor Ayah diperkirakan akan gulung tikar beberapa bulan kedepan."

Memaksakan? Ibu memaksakan apa hingga ayah marah seperti itu. Batinku

"Assalamualaikum" ucapku sambil menuju masuk rumah.

"Waalaikumsalam" sahut Ayah dan Ibu bersamaan. Ayah langsung memasuki kamarnya, ingin rasanya ku tanyakan pada Ibu apa yang sudah terjadi. Aku mulai ingat pada niat awal ku untuk meminta izin mengikuti seleksi olimpiade Fisika.

"Bu, a..a..ku boleh tidak untuk mengikuti seleksi olimpiade Fisika?" kataku membuka pemebicaraan.

Ibu tak menjawab pertanyaanku, ibu terlihat sedang menahan air matanya. Raut wajah ibu berubah, dengan wajah merah dan menunduk. Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini.

"Apa nak? Tadi kamu..." belum sempat ibu melanjutkan perkataannya aku sudah memotongnya.

"Enggak kok bu, Nana ganti baju dulu ya bu." Kataku sambil beranjak ke kamar.

Benar saja, saat aku masuk kamar aku mendengar isakan tangis Ibu. Ingin rasanya ku memeluk Ibu dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Namun aku tak kuasa. Bukan karena tidak peduli, tapi karena aku takut dan malu untuk melakukan semua itu. Di sisi lain aku mendengar suara bantingan dari kamar Ayah dan Ibu. Kak Shea pun pulang dan langsung mengetuk pintu kamar Ayah. Saat aku keluar dan melihat keadaan Ayah, Ayah sudah dalam keadaan pingsan.

Ayah mengidap penyakit diabetes dan juga darah tinggi. Kebiasaan Ayah ataupun Ibu, jika mereka sedang ada masalah mereka meminum obat dengan dosis yang tinggi. Ibu semakin terisak begitupun Kak Shea.

***

Makan malam pun tiba, mungkin ini saatnya aku membicarakan mengenai olimpiade itu. Karena formulir nya harus sudah terkumpul besok.

"Ayah, Ibu boleh tidak jika Nana ikut seleksi olimpiade Fisika?" tanyaku sedikit gemetar.

"Na, kamu tahu kan kalau ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan itu." Ucap Kak Shea.

"I...iya kak maaf, soalnya formulir pendaftaran harus sudah terkumpul besok pagi kak." Ucapku sambil menunduk.

"Ini pemberitahuan yang bagus, Shea. Adik kamu mau mengikuti seleksi olimpiade. Ibu setuju nak" kata Ibu santai seperti tadi siang tidak terjadi apa-apa.

"Kamu yakin bisa menang mengikuti seleksi ini?" tanya Ayah.

Saat mendengar pertanyaan Ayah, aku terkejut. Karena Ayah tak pernah menanyakan apapun saat aku meminta izin untuk mengikuti suatu perlombaan. Aku sangat senang, hatiku terasa berada di atas langit. Namun aku bingung jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ayah, agar Ayah yakin aku bisa memenangkan seleksi ini.

"Nana akan belajar lebih giat, dan berusaha lebih keras Yah." Jawabku setelah beberapa detik.

"Kamu pernah berkata seperti itu saat dulu kamu meminta izin untuk mengikuti olimpiade Fisika juga saat SMP. Namun faktanya kamu kalah. Tidak usah membuang-buang waktu dengan mengikuti seleksi yang akan sama hasilnya." Ucap Ayah.

Jujur saat Ayah berkata seperti itu aku merasa hatiku terasa tersayat oleh pisau tajam. Namun aku yakin semua perkataan Ayah adalah makna tersirat agar aku tetap semangat dan harus menang untuk olimpiade sekarang.

"Nana yakin Nana bisa Yah." Ucapku mantap.

"Tidak usah berlagak pintar. Kamu harus tahu seberapa minim kemampuanmu, jangan pernah membuang waktu untuk hal yang akan berujung sia-sia. Belajar saja dengan benar, tidak usah banyak tingkah yang membuat Ayah pusing." Jelas Ayah.

Saat itu aku merasa cabai yang kumakan telah menyumbat saluran pernapasanku. Perih,sakit dan rasa-rasanya inginku memuntahkannya lagi. Namun aku berfikir bahwa Ayah mengatakan itu semua karena ingin memotivasiku dan karena masih terbawa amarah tadi siang.

Makanan di piring Ayah pun sudah tidak ada lagi dan Ayah berlalu begitu cepat. Sedangkan aku masih termenung dan menunduk. Ingin rasanya ku menangis saat tadi, walaupun aku sudah beranggapan bahwa sebab Ayah berkata pedas tadi hanya karena terbawa emosi tadi siang, tapi aku merasa seperti ada panah yang menusuk dalam dadaku dan sulit untuk dilepaskan. Bahkan bernafas saja terasa sesak.

"Jangan banyak halu makanya, kamu hanya bisa membuat Ayah menjadi lebih pusing. Belajar saja yang benar, tidak usah banyak gaya." Ucap Kak Jane menyadarkanku

Aku hanya terdiam sendiri dimeja makan. Entah keputusan apa yang harus aku ambil, walaupun sudah jelas Ayah melarang. Tapi ingin rasanya aku membuktikan bahwa kali ini aku bisa.

Bagian 3

Pukul 07.00 WIB bel masuk berbunyi, keadaan kelas berubah menjadi sangat sunyi, saat kedatangan Pak Han. Kedatangan Pak Han ke kelas kami bukan tanpa alasan, ia menyuruh siswa mengumpulkan formulir pendaftaran seleksi olimpiade. Saat Pak Han menyebutkan nama yang akan mengikuti seleksi, tiba-tiba Pak Han menyebut namaku, padahal kan aku tidak mengumpulkan formulir itu.

Hah Narisha Aulia Putri Azzahra? Apa aku salah dengar. Batinku.

Pak Han langsung memutuskan untuk berlalu, karena Bu Rina akan segera memasuki kelas untuk mengisi mata pelajaran PKN.

"Re, tadi apakah aku tidak salah dengar kalau Pak Han memanggil namaku tadi?" tanyaku pada  Reina.

"Enggak kok Na, kamu gak salah dengar. Wid Tadi Pak Han memanggil nama Narisha kan?" tanya Reina pada teman sebangkunya Widya 

"Iya Re, kenapa emangnya?" jawab Widya

"Tapi aku tidak men" belum sempat aku meneruskan kataku, Reina langsung memotong pembicaraan. "Tadi kamu sendiri yang menitipkannya padaku Na, masih SMA sudah pikun" potong Reina sambil cengengesan dan menatapku seakan memberi isyarat untuk tidak bicara lagi.  Lalu dering pesan pun berbunyi, aku langsung melihatnya.

Setelah aku membaca pesan terakhir dari Reina, aku sedikit merasa senang. Karena, disaat keluargaku tidak mempercayai bahwa aku bisa. Di sisi lain ada Reina yang percaya bahwa aku bisa memenangkan olimpiade Fisika ini. Semangatku kembali bangkit, dan aku akan buktikan pada Ayah dan Kak Jane bahwa aku bisa.

***

Pembelajaran telah selesai, saatnya pulang dan belajar. Lima hari kedepan menuju seleksi dilaksanakan. Akupun bergegas pulang. Saat aku sampai dirumah, aku mendengar keributan terjadi lagi. Kali ini terdengar suara Kak Shea yang nenangis sambil berteriak, terdengar suara bentakan Ayah. Aku terkejut dan langsung bergegas membuka pintu. Saat baru saja aku memasuki rumah, Kak Shea dan Kak Jane menghampiriku penuh amarah.

"Semua terjadi semenjak kelahiranmu Narisha!" bentak Kak Shea padaku

"Semenjak kamu lahir, ada saja masalah. Dari awal kamu lahir, saat itu Ibu dan Ayah hampir bercerai." Lanjut Kak Jane

"Cukup! Jane, Shea!" teriak Ibu. Aku masih tidak mengerti apa maksud Kak Shea dan Kak Jane.

Ibu dan Ayah ribut, saling membentak di depan para anak gadisnya. Sampai Ayah mengucapkan hal yang tak pernah ku sangka.

"Tidak usah membela anak haram itu bu." Bentak Ayah

"Tarik ucapan Ayah sekarang!" sambil menunjuk Ayah dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tidak! Narisha itu bukan anak Ayah!" jelas Ayah, sontak membuatku sangat terkejut.

Anak haram? Bukan anak Ayah? Lantas aku anak siapa? Apakah ayah berkata seperti tadi karena sedang dilanda amarah? Aku harus bagaimana sekarang?

Tidak sampai disitu, Kak Jane dan Kak Shea memarahiku. Mereka mengucapkan banyak kata-kata tamparan bagiku. Aku tidak pernah membahagiakan Ayah dan Ibu, tapi Ayah dan Ibu masih mau mengeluarkan dana untuk kepentinganku. Saat aku lahir, sebelum aku dikumandangkan adzan oleh Ayah, Ayah mengajak Ibu pisah. Karena Ayah telah selingkuh dan Ayah menuduh bahwa aku bukanlah anaknya. Selama ini aku selalu saja tak pernah dianggap ada oleh Ayah, ternyata ini alasannya.

Aku bergegas untuk memasuki kamar dan air mata yang sedari tadi tertahan, tak dapat tertahan lagi. Berderai seperti hujan yang turun sangat deras. Aku merasa bingung saat itu, emosiku menjadi labil. Ingin rasanya ku marah dan meminta Ayah untuk menarik kata-kata nya tadi. Di sisi lain masih belum ada bukti bahwa aku bukan anak Ayah dan Ibu, lantas aku ini anak siapa?.

***

Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB sedari tadi aku tidak keluar kamar dan tetap dengan posisi tertidur sambil memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Saat aku melihat ke arah meja belajar, aku teringat akan seleksi olimpiade Fisika. Lalu aku memutuskan untuk bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan mengambil air wudhu. Setelah shalat, aku langsung duduk di kursi dan mulai menyiapkan buku-buku ilmu Fisika SMA. Aku mencoba untuk tetap fokus belajar, akan ku buktikan bahwa aku bisa. Setelah itu aku akan mencari tahu apa yang terjadi saat aku lahir, dan akar masalah ini.

Setelah beberapa jam kedepan yang kukira akan membuatku produktif, nihil. Sulit sekali rasanya untuk tidak memikirkan perkataan Ayah tadi siang, rasanya inilah perkataan Ayah yang sangat menusuk tepat pada hatiku. Otak dan hatiku bergemuruh saling bergelut antara logika dan perasaan. Logika menyuruhku untuk tetap belajar dan harus fokus agar bisa memenangkan seleksi Olimpiade Fisika. Namun perasaan mengatakan bahwa ia pun perlu diperhatikan, bukan hanya soal Olimpiade namun mengenai perkataan Ayah tadi siang.

Terkadang hidup itu memiliki banyak misteri yang tak dapat di prediksi atau dapat dikendalikan. Dunia ini sudah diatur oleh sang pencipta, dan aku yakin bahwa sang pencipta tahu apa yang terbaik bagi hambanya. Sang pencipta sudah mempersiapkan kejutan dibalik semua masalah dan akan memberikan jalan yang benar.

Lamunanku terhenti saat terdengar suara adzan Maghrib, aku bergegas mengambil air wudhu. Perasaanku sudah mulai membaik sekarang, namun tak terdengar suara dari luar. Kebetulan letak kamarku berdekatan dengan meja makan. 

Bagian 4

Sudah berjalan dua hari setelah masalah itu terjadi, suasana rumah seperti asing bagiku. Tidak ada tegur sapa, bahkan untuk sekedar melirik saja seperti tak ingin. Aku mencoba tetap fokus pada seleksi olimpiade Fisika yang tinggal menghitung hari. Walaupun pikiranku terbelah dua dengan masalah kemarin, aku akan memenangkan seleksi ini dan bisa mencari jalan keluar dari masalah kemarin.

Hari ini diadakan ulangan harian Fisika, untung saja aku sudah mulai terbiasa dengan berbagai konsep Fisika. Siswa 11 MIPA 5 terdiri dari 20 siswa, Bu Leni membagi siswa menjadi dua sesi, agar menghindari berbagai kecurangan. Bu Leni adalah seseorang yang perfeksionis dan sangat membenci apapun bentuk kecurangan yang dilakukan para siswa nya. Jika ada yang berbuat curang, Bu Leni tidak segan untuk mempermalukannya dan mengeluarkan kata-kata yang bisa menusuk langsung tepat sasaran pada hati.

Ulangan segera dimulai, aku dan Reina berbeda sesi. Reina sesi pertama dan aku sesi kedua. Saat sesi pertama sudah selesai, terlihat wajah Reina yang sangat merasa jengah dengan soal fisika.

"Bagaimana Re? mudah kah?" tanyaku pada Reina.

"Mudah? Mana ada! Sulit sekali, membuat aku jadi migrain." Jawab Reina sambil memijat kepalanya.

Lalu sesi kedua pun dipersilahkan masuk. Saat di dalam kelas, suasana menjadi hening seketika. Saat aku sedang mengerjakan soal terakhir, tiba tiba Widya memanggilku. Ia berniat meminjam penghapus, lalu beberapa saat kemudian Widya memanggil Bu Leni. Setelah Bu Leni menghampiri Widya, Bu Leni langsung menarik kertas ulanganku dengan kasar.

"Oh pantesan kamu bisa menyelesaikan soal-soal ini dengan mudah, kamu nyontek Narisha?!" ucap Bu Leni sambil menggebrak meja.

"Hah nyontek Bu? Narisha enggak nyontek Bu, Narisha belajar kemarin malam." Jawabku

  "Ini apa?! Widya menemukan kertas CONTEKAN ini pada penghapus kamu, Narisha Aulia Putri Azzahra!" ucap Bu Leni sambil memperlihatkan kertas dan sedikit penekanan pada kata 'contekan'.

"Tapi Bu, Narisha," belum sempat aku meneruskan ucapanku, Bu Leni langsung memotong, dan mengeluarkan kata-kata yang menyentuh hati dengan setuhan tajam.

"Kamu itu Narisha yang mengikuti seleksi olimpiade Fisika untuk perwakilan tahun ini kan? Bagaimana tanggapan sekolah lain jika tahu salah satu peserta olimpiade Fisika dari Nuski itu sangat cerdas, cerdas sekali dalam hal contek mencontek? Kamu berniat mempermalukan nama Nuski, Narisha? Sudah berapa jauh kamu mempersiapkan contekan untuk seleksi Olimpiade nanti? Atau bahkan kamu sudah mempersiapkan hal curang lainnya? Jawab Ibu Narisha!" jelas Bu Leni tanpa henti.

"Tidak Ibu, semua itu tidak benar. Narisha tidak mecontek Ibu." Jawabku

Tiba-tiba Aldi angkat bicara dan memberi pengakuan, bahwa ia melihat Widya yang memasukkan kertas itu ke selipan kertas pembungkus penghapus. Aldi melihat semuanya dan mencoba membantu menjelaskan kepada Bu Leni dengan menyamakan tulisan yang ada dalam lembar jawabanku dan pada kertas contekan itu. Namun Widya mencoba membela diri dengan mengatakan bahwa tidak mungkin seorang pencontek handal akan menyamakan tulisannya, sama saja bunuh diri. Perkataan Widya tadi sontak membuat Bu Leni kembali percaya pada pernyataan Widya. Bahkan Widya menuduh bahwa Aldi melakukan semua itu karena Aldi naksir sama aku, padahal kan Aldi berbicara soal fakta.

Inilah dunia, dimana kebenaran terlihat samar. Setelah perdebatan itu terjadi, akhirnya Bu Leni murka dan memutuskan untuk meninggalkan kelas. Yang paling parah adalah seluruh siswa dianggap tidak lulus bab ini.  Seketika suasana kelas menjadi ricuh, banyak yang menyalahkanku. Aku dan Aldi mencoba untuk menjelaskan semuanya, sayangnya saksi mata satu-satunya adalah Aldi.  Disaat semua orang tidak ada yang mempercayaiku aku harap Reina percaya padaku.

***

Di kamar aku merenung setelah mempelajari konsep Fisika kelas 12. Aku berharap esok pagi adalah hari yang baik, dan aku bisa memenangkan seleksi ini. Saat aku sedang menyiapkan barang yang akan aku bawa besok pagi, terdengar suara ketukan pintu yang bermakna  amarah. Lalu 

Ayah masuk dan langsung memarahiku. Kemarahan Ayah dilandaskan karena Ayah mendapatkan pesan dari Walikelas ku, mengenai contek mencontek saat ulangan fisika kemarin. 

Ayah marah besar, dan mengucapkan hal hal yang tidak ingin aku dengar saat ini. Esok pagi aku akan mengikuti seleksi, jadi aku tidak ingin hal apapun yang menghalangi ku untuk fokus terhadap olimpiade ini. 

Aku mencoba untuk tidak memikirkan omongan Ayah tadi yang membuatku gagal fokus. Ingin sekali ku membela diri dan menjelaskan kebenarannya kepada Ayah dan Ibu, tapi pasti Ayah mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat hati ini tersayat. Akupun memutuskan untuk beristirahat agar besok bisa lebih fresh.

Hari ini sudah tiba, hari dimana seleksi itu akan dilaksanakan. Aku menyiapkan segala hal dan mengecek barang bawaan ku. Setelah itu aku bergegas pergi ke sekolah dengan berpamitan kepada Ibu dan Ayah. Semoga hari ini aku diberi kelancaran dalam mengisi soal.

Reina sudah menungguku di depan kelas, dengan raut wajah yang gelisah.

Aneh sekali, tumben Rere menunggu ku di depan kelas. Dan mengapa raut wajah nya seakan gelisah. Batinku

"Na.. anu.." kata Reina terbata-bata.

"Ada apa Re? Ada masalah?" Tanya ku.

"Tadi Bu Leni mengumumkan bahwa kamu tidak dapat mengikuti seleksi ini dikarenakan insiden contek mencontek itu Na." Jelas Reina

Setelah mendengar penjelasan dari Reina itu aku langsung bergegas ke ruang guru, untuk memohon agar bisa mengikuti seleksi ini. Aku tidak boleh menyerah aku akan mencobanya. Tapi nihil, Bu Leni tidak mempercayaiku dan aku hanya bisa di permalukan di depan guru lainnya. Pupus sudah harapan ku ini. Mungkin benar kata Ayah dan Kak Jane bahwa aku ini tidak pantas untuk memenangkan seleksi olimpiade.

Para siswa yang menyaksikan aku dimarahi oleh Bu Leni saling berbisik, membicarakan aku. Mereka yakin bahwa aku ini hanya mengada-ada.

Seleksi akan segera dimulai, diharapkan para siswa yang mengikuti seleksi untuk memasuki ruangan seleksi masing-masing. Terdengar suara pengumuman itu pada speaker sekolah.

Reina datang kepadaku dan meminta maaf karena dia tidak bisa membantu apa-apa. Dia akan segera memasuki ruang seleksi. Rasanya ini sangat menusuk dadaku, terasa sesak. Aku tak mampu untuk menahan air mata yang sedari tadi meminta untuk keluar dan membasahi pipiku. Aku segera bergegas ke taman sekolah, disana banyak siswa lain yang sedang memburu Wi-Fi. Saat aku duduk, ada dua orang siswa berkata menyakitkan.

"Pintar sih, pintar mencontek maksudnya. Hahaha" kata siswi berambut pendek.

Rasanya ini sungguh tak adil bagiku, namun aku yakin kebenaran akan segera terungkap. Aku memutuskan untuk bergegas pulang, karena percuma saja aku berada di sekolah.

Saat aku diperjalanan pulang aku bertemu dengan adik dari ibuku, Tante Kiran namanya. Aku diajak untuk mampir sebentar ke kediamannya. Aku memutuskan untuk ikut karena ingin membantu membawa belanjaan Tante Kiran yang lumayan banyak. Saat sampai di rumahnya, tidak ada siapapun. Kak Reno dan Kak Rona sudah berangkat sekolah, hari ini kan bukan weekend.

Tante Kiran memberiku minum, ia menanyakan hal yang biasa ditanyakan seorang Tante pada sepupunya. Namun tiba-tiba Tante Kiran menanyakan hal mengenai masalah saat itu. Masalah Ayah dan Ibu bertengkar. Aku terkejut, bagaimana Tante Kiran bisa mengetahuinya?. Ternyata Ibu yang menceritakannya pada Tante Kiran.

Lalu aku memberanikan diri untuk menanyakan apakah benar aku ini anak haram. Tante Kiran menceritakan semuanya. Saat aku berada dalam kandungan Ibu, Ayah sudah tertangkap basah oleh Ibu dan Tante Kiran bahwa Ayah berselingkuh dengan seorang wanita yang menjadi sekretaris nya di kantor. 

Saat itu Ayah dan Ibu bertengkar hingga hampir saja Ayah meminta untuk pisah dari Ibu. Lalu Ayah menjelaskan bahwa ia melakukan semua ini karena Ibu sudah mengandung anak dari selingkuhan Ibu. Padahal Tante Kiran mengatakan bahwa aku adalah anak kandung Ayahku, namun Ayah sudah salah paham akan semua itu.

Saat aku lahir, Ayah sempat mengatakan bahwa aku adalah anak yang tak diinginkan. Setelah mendengar itu aku merasa sesak, namun masih ku tahan air mataku untuk tidak turun. Tante Kiran mengatakan bahwa sampai saat ini Ayah masih tidak percaya dengan perkataan Ibu dan Tante Kiran. Bahkan Ayah ingin melakukan tes DNA untuk membuktikannya. Namun Ibu tidak mau karena Ibu sudah merasa kecewa dengan tingkah Ayah. Selam ini Ibu selalu menutupi semua kesedihannya.

Setelah mendengar itu aku mulai tersadar, dan memutuskan untuk bergegas pulang.

***

Tiga hari sudah berlalu, namun masih saja aku di cap sebagai orang yang pintar mencontek. Dua hari kedepan akan diumumkan siapa yang lolos seleksi. Entah aku kuat mendengarnya atau tidak. Saat pelajaran Matematika berlangsung aku diminta untuk ke ruang guru, seorang diri. Aku bergegas ke ruang guru dan disana ada Aldi juga Widya. Aku merasa kebingungan, mengapa ada Aldi dan Widya disini. Tak lama kemudian Bu Leni menyuruhku untuk duduk.

Ternyata Widya disuruh mengakui kesalahannya di depanku oleh Bu Leni dan Aldi. Aldi telah menemukan bukti bahwa Widya yang telah menuduhku mencontek pada saat ulangan. Aldi melihat Widya sedang menulis sesuatu dalam secarik kertas dan terlihat mencurigakan. Lalu Aldi menyamakan tulisan di kertas itu dengan lembar jawaban Widya, ternyata sama. Aldi mendatangi Widya dan menyuruhnya untuk mengakui semua kesalahannya. Awalnya Widya menolak, namun Aldi mengancam akan menyebarkan foto Widya yang sedang menulis contekan di kertas ke akun Instagram 11 MIPA 5.

Widya menangis sambil mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku. Bu Leni pun melakukan hal yang sama kepadaku, ia meminta maaf dan menyuruhku untuk mengikuti seleksi sepulang sekolah. Saat mendengar boleh mengikuti seleksi aku merasa sangat senaang, karena itu adalah salah satu tujuan besarku. Lalu tanpa pikir panjang aku langsung menerima tawaran Bu Leni. Widya dihukum, selain hukuman dari sekolah ia juga mendapat makian dari seluruh siswa di Nuski.

Aku, Widya dan Aldi keluar dari ruang guru.

"Kamu tidak akan pernah terlihat baik, ketika kamu membuat orang lain terlihat buruk Wid." Ucap Aldi.

"Maaf ya Na, aku sangat menyesal. Aku merasa iri padamu." Ucap Widya.

"Iya tidak apa-apa Wid. Mungkin takdirnya sudah begini, bukan jalan kita tapi ini jalan Allah. Bukan juga kita yang menentukan, tapi ini keputusan Allah. Sudah ditetapkan aku akan mengalami seperti ini Wid. Maafkan aku juga ya Wid." Jawabku.

Setelah itu kami berlalu, aku mengucapkan terimakasih pada Aldi. Karena ia telah berbesar hati untuk membantuku memperlihatkan kebenaran.

Sepulang sekolah aku langsung memasuki ruang guru untuk mengikuti seleksi. Setelahnya aku langsung bergegas pulang, namun saat di perjalanan pulang aku merasakan pusing yang tak biasanya dan hidungku berdarah, setelah itu aku tak sadar.

Bagian 5 

Saat aku membuka mata, aku melihat Ayah, Ibu, Aldi dan seorang dokter. Setelah aku sadarkan diri aku berpura-pura menutup mata, karena saat itu lagi-lagi Ibu dan Ayah sedang bertengkar. Ayah meminta untuk melakukan tes DNA, namun Ibu menolak keras. Disana ada Aldi, aku sangat merasa malu. Dan aku memutuskan untuk bangun dan menuruti kata Ayah untuk tes DNA.

Setelah beberapa hari kedepan, pengumuman seleksi sudah tertera di mading. Terdapat namaku pada urutan ketiga. Aku sangat merasa senang, aku akan memberitahu Ibu dan Ayah soal ini. Saat aku berjalan menuju kelas, Bu Leni menyuruhku untuk mengikuti olimpiade Fisika besok. Sontak aku merasa kaget, namun aku yakin aku bisa.

Keesokan harinya aku sudah bersiap-siap untuk mengikuti olimpiade Fisika. Karena ini adalah olimpiade online jadi nilai akan otomatis keluar dan siapa yang jadi pemenangnya. Aku terkejut namaku ada pada deretan juara harapan 1, walaupun hanya juara harapan 1 aku merasa bangga.

***

Beberapa bulan kedepan setelah hasil tes DNA itu sudah keluar dan menyatakan aku adalah anak kandung Ayah. Ayah menjadi bersikap sangat peduli padaku dan ia sangat menyesali perbuatannya di masa lalu.

Beberapa olimpiade Fisika telah aku ikuti, walaupun harus mengalami beberapa kegagalan yang membuatku sempat menyerah dengan konsep-konsep fisika yang berbasis bahasa Inggris. Aku mencoba terus dan terus untuk memahaminya. Aku memiliki impian untuk bisa kuliah di Universitas Jepang dengan jurusan Ilmu teknologi dan komunikasi. Aku yakin aku bisa mendapatkan beasiswa ke sana.

Walaupun banyak sekali orang yang menyarankan aku untuk tidak berharap terlalu tinggi karena saingan untuk mendapatkan beasiswa ke Jepang bukan hanya dari satu daerah apalagi ilmu teknologi dan komunikasi sangat banyak peminatnya.

Ayah dan Ibu pun menyarankan aku agar tidak kuliah terlalu jauh, bukan karena masalah aku adalah seorang gadis yang awam namun soal biaya yang akan dikeluarkan juga. Namun aku akan terus berusaha dan akan mengambil beasiswa gratis biaya dan pemberian uang saku setiap bulannya.

Aku terus mencoba untuk menyempatkan waktu belajar soal-soal tes beasiswa Jepang. Tidak sedikit orang yang tidak percaya bahwa aku bisa memenangkan beasiswa itu. Hingga waktunya tiba untuk aku mengikuti tes pada akhir semester kelas 11. Ternyata saat aku sudah mencobanya, telah diumumkan bahwa aku gagal. Banyak perkataan orang yang membuat aku semakin merasa gagal.

Aku sempat ingin menyerah bukan karena malas untuk membagi waktu belajar pelajaran sekolah, olimpiade Fisika dan tes beasiswa. Hal yang paling mendukungku untuk menyerah adalah ekonomi keluargaku saat ini. Ayahku sudah tidak bekerja dan ia sakit-sakitan. Kak Shea dan Kak Jane selalu bertengkar masalah uang. Kak Jane sudah bekerja sekarang, namun harus membiayai kuliah Kak Shea. Sekarang saja sudah terlihat bahwa Kak Jane merasa kelelahan dan sulit untuk membagi uang, bagaimana jika aku kuliah nanti. Apakah aku harus memilih untuk bekerja saja, agar bisa membantu perekonomian keluarga.

Semenjak Ayah sudah tidak bekerja, Ibu dan Ayah sering bertengkar karena masalah keuangan. Untuk membeli bumbu dapur saja masih harus sering bertengkar terlebih dahulu. Ini adalah salah satu alasan kuat untuk aku memilih kerja, namun aku dilanda kebingungan. Jika aku memilih untuk bekerja, aku akan bekerja apa? Belum ada pekerjaan yang pasti aku dapatkan selepas lulus nanti.

***

Beberapa bulan kedepan aku mengikuti kerja paruh waktu di suatu kedai kopi. Aku akan mencoba mengikuti sekali lagi beasiswa itu. Untuk mengikuti seleksi itu aku harus menyiapkan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah Indonesia, aku tidak ingin menjadi beban bagi Ayah dan Ibu. Kak jane sudah pusing harus mengeluarkan uang terus menerus untuk keperluan kuliah Kak Shea. Aku mengikuti kerja paruh waktu ini bukan hanya untuk uang seleksi, namun aku ingin membantu Ayah dan Ibu. Aku juga akan menabung untuk keperluan kuliahku nanti.

Setelah pulang kerja paruh waktu aku langsung mengerjakan tugas yang sangat banyak dan membagi waktu untuk belajar tes beasiswa. Tidak satu pun anggota keluarga mengetahui bahwa aku mengikuti kerja paruh waktu. Aku akan buktikan pada semua orang bahwa aku bisa. Terutama aku akan buktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa melewati masa-masa sulit ini.aku yakin dengan ikhtiar dan do'a aku bisa melewati ini semua. Makian orang-orang yang sudah memaki keluargaku dan mengejekku karena memiliki mimpi yang lebih tinggi dari langit ke tujuh.

Bagian 6 

Hari ini adalah hari dimana seleksi akan dilaksanakan secara online. Tidak satupun orang mengetahui mengenai seleksi ku ini. Semoga saja kali ini aku mendapatkan hasil yang bisa membuat Ayah dan Ibu bangga.

Beberapa hari kemudian telah aku lewati, cacian dan makian telah aku terima. Banyak hambatan yang membuatku sempat ingin menyerah bahkan dari kakak ku sendiri. Namun aku harus terus berjuang. Walaupun terasa pahit, namun aku yakin pahit ini tidak akan selamanya pahit. Namanya hidup, jika tidak ada masalah bukanlah hidup.

Tepat hari Selasa, pengumuman tes beasiswa sudah keluar. Saat aku membuka email aku merasa jantungku akan jatuh. Dan saat kubuka, ternyata lagi-lagi aku tidak lulus. Tangis ku pecah saat itu juga, rasanya aku ingin menyerah saja sekarang.

Saat malam tiba aku ingin beristirahat dengan hal-hal apapun itu, seperti tugas. Sebelum tidur aku masih memikirkan mengenai pengumuman yang ku buka tadi sore di tempat kerja. Aku ingin membukanya sekali lagi dan membaca dengan jelas apa isi email tersebut. Saat aku baca kembali isinya. Dan ternyata saat aku membaca dengan baik dan teliti, aku di terima di Universitas itu. Aku sangat merasa senang, detak jantungku berhenti sejenak, aku sangat tidak menyangka ini akan terjadi padaku. Aku membacanya berulang kali, bahkan aku sampai membuka google translate untuk membuktikan semuanya.

Aku langsung beranjak dari Kasur dan segera menemui Ayah dan Ibu untuk memberitahu berita bahagia ini. Setelah aku memberitahu Ayah dan Ibu, mereka menangis bahagia. Namun mereka bingung untuk awal bulan di Jepang kan belum diberi uang saku, jadi harus menggunakan uang pribadi terlebih dahulu. Namun aku meyakinkan Ayah dan Ibu agar tidak usah khawatir dengan semua itu. Karena aku akan mulai kuliah di Jepang tahun depan, jadi aku masih bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhanku di Jepang.

Aku akan lebih giat bekerja, selepas lulus nanti aku akan menjadi pegawai kedai kopi. Aku akan belajar hemat dari sekarang. Perjuanganku tidak berujung sampai disini, entah badai seperti apa yang akan aku alami setelah aku kuliah di Jepang nanti. Karena kelak kamu akan mengerti, bahwa hidup akan sekeras ini bahkan bisa jadi lebih batu. Dan dengan ini kamu akan paham, bahwa sejatinya suatu kisah akan memberi pemahaman dan pendewasaan.

Naik turun semangat itu sudah biasa dalam suatu perjalanan, karena disamping itu sang pencipta sudah menyiapkan bahagia untukmu. Jadi berhenti bukanlah pilihan itu hanyalah ilusi, tetap teguh di jalan juang, harus yakinkan dirimu sendiri sebelum kamu meyakinkan orang lain. Berdamai dengan dirimu sendri, wajar jika seseorang melakukan kesalahan. Karena kamu hanyalah seorang manusia. Namun jangan sampai kamu melakukan kesalahan itu untuk kesekian kalinya.

Sadari bahwa kamu perlu yang namanya perubahan. Berusaha, berjuang, ikhtiar, dan do'a. Agar nanti jika kamu harus berhenti sejenak dan harus mengeluh sekali lagi, setidaknya bukan karena kesulitan yang itu-itu lagi. 

Nama : Putri Permatasari 

Kelas : 12 MIPA 5

Terima kasih telah membaca :) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun