Mohon tunggu...
Padlah Riyadi. CA . ACPA
Padlah Riyadi. CA . ACPA Mohon Tunggu... Akuntan - Profesional Akuntan

Akuntan pendidik yang menjalankan tugas profesional akuntansi serta pajak dan penanggung jawab Kantor Jasa Akuntan Padlah Riyadi., CA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rekonstruksi Restorative Justice pada Sistem Pemidanaan di Indonesia Menurut UU No.1 Tahun 2023

13 Oktober 2024   09:38 Diperbarui: 13 Oktober 2024   09:38 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

  • Konsep Restorative Justice

 

  • Konsep Restorative Justice

 

Konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana yaitu ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis, atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.

 

Dengan demikian konsep keadilan restoratif menitikberatkan suatu keadilan berdasarkan perdamaian, dimana dalam penyelesaian suatu perkara tidak mengenal keadilan berdasarkan balas dendam atau pemberian hukuman terhadap pelaku. Penerapan konsep ini merupakan bentuk perkembangan sistem peradilan pidana yang menitikberatkan keterlibatan antara pelaku dan korban dalam penyelesaian suatu perkara, dimana hal tersebut bukan merupakan salah satu mekanisme yang dikenal dalam hukum acara pidana konvensional saat ini.

 

  • Konsep Restorative Justice dalam KUHP Baru

 

Pegesahan RKUHP menjadi UU KUHP sejatinya merupakan salah satu momentum penting dalam upaya pembaruan hukum pidana di Indonesia. Hal ini karena secara formal menandai tentang diberlakukannya hukum pidana buatan Indonesia yang diharapkan dapat mengimplementasikan cita hukum Indonesia. Disahkannya RKUHP menjadi UU KUHP sejatinya adalah upaya formal dalam memutus "dominasi" hukum positif Indonesia yang didasarkan pada produk hukum kolonial, yaitu Belanda. KUHP dengan kultur hukum Belanda tentu memiliki perbedaan substansi dengan Indonesia. Perbedaan kultur hukum antara Belanda dan Indonesia menimbulkan adanya legal gap yang mana ketidaksesuaian akan cita hukum suatu masyarakat dengan cita hukum suatu peraturan perundang- undangan dapat menimbulkan inkonsistensi dan disparitas dalam penerapannya. Perbedaan kultur hukum antara Belanda dan Indonesia berimplikasi pada konsepsi dan penerapan KUHP di masyarakat. Wetboek Van Straafrecht (WvS) yang kemudian menjadi  KUHP memiliki karakter hukum Eropa Kontinental yang kuat sehingga mengedepankan hukum positif yang bersifat tertulis. Hal ini sebagaimana terejawentah dalam Pasal 1 KUHP yang menegaskan mengenai asas legalitas sebagai asas utama dalam hukum pidana. Di Indonesia, pemahaman dan pandangan dengan karakter hukum Eropa Kontinental sebagaimana dalam KUHP dianggap tidak relevan di masyarakat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Van Vollenhoven bahwa sebelum hukum positif  hadir di Hindia Belanda (nama Indonesia saat era penjajahan), masyarakat telah eksis dengan hukum tidak tertulis, yang lazimnya disebut dengan hukum adat. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa selain harus didasarkan pada hukum tertulis, masyarakat Indonesia juga tunduk pada hukum tidak tertulis yang sifatnya lokal[12].

 

Pasca disahkannya UU KUHP di awal tahun 2023, optimisme mengenai hukum pidana yang bercita hukum Pancasila kian menggeliat karena substansi dalam UU KUHP telah disesuaikan dengan kultur hukum bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, konsepsi restorative justice juga telah dirumuskan dalam UU KUHP sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai pasal di dalam UU KUHP. Seperti Pasal 54 UU KUHP menjelaskan bahwa dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban dan atau keluarga korban, kemudian Pasal 132 kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika telah ada penyelesaian diluar proses peradilan. Oleh karenanya gagasan restorative justice dalam UU KUHP selain upaya untuk membangun cita hukum keindonesiaan juga berupaya menghadirkan koreksi atas sistem peradilan pidana yang menekankan pada pemidanaan pelaku, bukan pada pemulihan korban. Penekanan pada pemidanaan pelaku hanya cenderung menyederhanakan persoalan pidana karena persoalan pidana tidak hanya selesai ketika pelaku telah dipenjara. Penyelesaian persoalan pidana harus kompleks yang mana terdapat titik temu antara kepentingan hukum masyarakat, korban, serta pelaku tindak pidana. Berdasarkan penjelaskan tersebut, peulis menarik kesimpulan bahwa konsep Restorative Justice belum dijelaskan secara implisit dalam KUHP yang lama, melainkan dijelaskan didalam peraturan-peraturan diluar KUHP, sedangkan dalam KUHP baru (UU KUHP) telah dijelaskan secara implisit mengenai konsep Restorative Justice sebagaimana tertuang dalam Pasal 51, 52, 53, 54 dan 132.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun