Â
- Pencegahan terhadap tindakan sewenang- wenang di luar hukum; dan;
Â
- Penyelesaian konflik dalam masyarakat.
Â
Keempat tolok ukur ini diletakkan dalam kerangka perlindungan masyarakat yang dicapai melalui tujuan pemidanaan. Dengan demikian, KUHP baru, yang disahkan tangal  2 Juli 2023 yang terdiri dari 37 bab 624 pasal dan 345 halaman yang akan berlaku tanggal 2 Januari 2026 berdampak terhadap perubahan-perubahan substansial terkait perlindungan masyarakat yang menggeser paradigma hukum pidana nasional. Perubahan ini dipastikan akan berdampak pada banyak aspek, salah satu yang terutama adalah terhadap kondisi dan kebijakan pemasyarakatan.
Â
Implementasi  Restorative Justice Pasca Disahkannya KUHP Baru (UU No.1 Tahun 2023)
Â
Pengesahan RKUHP menjadi UU KUHP sejatinya merupakan salah satu momentum penting dalam upaya pembaruan hukum pidana di Indonesia. Hal ini karena secara formal menandai tentang diberlakukannya hukum pidana made in Indonesia yang diharapkan daoat mengimplementasikan cita hukum Indonesia. Disahkannya RKUHP menjadi UU KUHP sejatinya adalah upaya formal dalam memutus "dominasi" hukum positif Indonesia yang didasarkan pada produk hukum kolonial, yaitu Belanda. Diketahui bahwa KUHP sejatinya merupakan tindak lanjut dari Wetboek Van Straafrecht (WvS) yang merupakan produk hukum di era penjajahan Belanda[28].Â
Â
Di Indonesia, pemahaman dan pandangan dengan karakter hukum Eropa Kontinental sebagaimana dalam KUHP dianggap tidak relevan di masyarakat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Van Vollenhoven bahwa sebelum hukum positif  hadir di Hindia Belanda (nama Indonesia saat era penjajahan Belanda) eksis, masyarakat telah eksis dengan hukum tidak tertulis, yang lazimnya disebut dengan hukum adat. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa selain harus didasarkan pada hukum tertulis, masyarakat Indonesia juga tunduk pada hukum tidak tertulis yang sifatnya lokal artinya berlaku pada tempat dan wilayah tertentu. Kedua, substansi dalam KUHP juga berdasarkan pada realitas hukum masyarakat Eropa Barat sehingga jika diterapkan secara langsung pada masyarakat Indonesia dengan budaya ketimuran, maka hal tersebut sejatinya tidak akan menemui relevansi dan titik temu. Hal ini dapat dicontohkan dengan delik overspel dalam Wetboek Van Straafrecht (WvS) yang kemudian menjadi KUHP yang kemudian dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi zina. Padahal, ketentuan overspel dalam Wetboek Van Straafrecht (WvS) memiliki perbedaan dengan substansi zina yang dipahami masyarakat Indonesia. Overspel dalam Wetboek Van Straafrecht (WvS) hanya dipahami sebagai hubungan laki-laki dan perempuan layaknya suami istri yang salah satunya telah berstatus sebagai suami atau istri.
Â