Mohon tunggu...
Padlah Riyadi. CA . ACPA
Padlah Riyadi. CA . ACPA Mohon Tunggu... Akuntan - Profesional Akuntan

Akuntan pendidik yang menjalankan tugas profesional akuntansi serta pajak dan penanggung jawab Kantor Jasa Akuntan Padlah Riyadi., CA

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rekonstruksi Restorative Justice pada Sistem Pemidanaan di Indonesia Menurut UU No.1 Tahun 2023

13 Oktober 2024   09:38 Diperbarui: 13 Oktober 2024   09:38 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REKONTRUKSI RESTORATIF JUSTICE DENGAN SISTEM PEMIDANAAN INDONESIA MENURUT UU NO. 1 TAHUN 2023"

Oleh:

Padlah Riyadi., MM., MH

PENDAHULUAN

Hakikatnya sebuah aturan hukum dibuat untuk memberikan perlindungan dan memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat luas. Hal tersebut dijelaskan dalam UUD 1945, maka dari itu negara Indonesia dituntut mampu menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang terjadi, sehingga dapat menciptakan rasa keadillan dan keamanan bagi masyarakat. Dalam sistem hukum pidana jika terjadi suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan orang lain, akibat hukumnya terhadap pelaku tidak hanya akan menjadi hak dari korban tindak pidana tersebut, namun akan meluas menjadi k epentingan dari keluarga, masyarakat dan juga negara. Peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia saat ini berkembang pesat, mulai dari jenis tindak pidana yang  dilakukan dan juga pelaku tindak pidana yang tidak terbatas dari segi usia maupun golongan saja. Salah satu dari pembagian hukum yang digunakan sebagai dasar untuk menegakkan keadilan di Indonesia ialah hukum pidana.

Restorative Justice pada fungsinya memberikan suatu pendekatan yang berbeda dalam proses memahami dan menangani suatu tindak pidana, yang dalam Restorative Justice memberikan pengartian yang sama akan suatu tindak pidana, namun dalam proses penyelesaiannya menghadirkan suatu proses yang berbeda dengan yang diatur dalam mekanisme melalui pengadilan dengan melibatkan para pihak langsung. Dalam hal ini bertujuan untuk memberikan solusi penyelesaian perkara pidana yang lebih cepat dan hemat, dan menjunjung rasa keadilan bagi kedua pihak serta upaya menghindarkan stigma negatif bagi para pihak. Konsep keadilan restoratif merupakan cara lain dalam peradilan pidana yang Digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. keadilan restoratif lebih mengutamakan integrasi pelaku dan korban atau masyarakat sebagai satu kesatuan untuk dapat mencari solusi serta mengembalikan kepada hubungan yang baik antara pelaku dan korban.

Restorative Justice hadir untuk merekonstruksi gagasan hukum pidana modern yang menekankan keseimbangan antara pelaku, korban, serta kepentingan masyarakat. Restorative justice berpijak pada dimensi dan nalar hukum substantif supaya dapat menghadirkan dimensi  Pasca disahkannya UU KUHP di awal tahun 2023, optimisme mengenai hukum pidana yang bercita hukum Pancasila kian menggeliat karena substansi dalam UU KUHP telah disesuaikan dengan kultur hukum bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, konsepsi Restorative Justice juga telah dirumuskan dalam UU KUHP sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai pasal di dalam UU KUHP. Seperti Pasal 54 UU KUHP menjelaskan bahwa dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban dan atau keluarga korban, kemudian Pasal 132 kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika telah ada penyelesaian diluar proses peradilan

Gagasan Restorative Justice dalam UU KUHP selain upaya untuk membangun cita hukum keindonesiaan juga berupaya menghadirkan koreksi atas sistem peradilan pidana yang menekankan pada pemidanaan pelaku, bukan pada pemulihan korban. Penekanan pada pemidanaan pelaku hanya cenderung menyederhanakan persoalan pidana karena persoalan pidana tidak hanya selesai ketika pelaku telah dipenjara. Penyelesaian persoalan pidana harus kompleks yang mana terdapat titik temu antara kepentingan hukum masyarakat, korban, serta pelaku tindak pidana. Berdasarkan penjelaskan tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa konsep Restorative Justice belum dijelaskan secara implisit dalam KUHP yang lama, melainkan dijelaskan didalam peraturan-peraturan diluar KUHP, sedangkan dalam KUHP baru (UU KUHP) telah dijelaskan secara implisit. Implikasi Restorative Justice pasca disahkannya RKUHP menjadi UU KUHP dalam perspektif hukum sejatinya telah terfasilitasi dalam UU KUHP dan tersebar di berbagai pasal.

Saat ini, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan merupakan lembaga yang menjadi tumpuan untuk  mengembangkan metode dalam menyelesaikan perkara tindak pidana itu. Dalam sistem peradilan saat ini, dikenal dua metode penyelesaian hukum  yaitu melalui jalur litigasi dan juga non litigasi. Pada umumnya, dalam langkah menyelesaikan suatu perkara pidana saat ini lebih sering menggunakan jalur litigasi atau mekanisme melalui peradilan. Dalam penerapannya langkah tersebut seringkali tidak sesuai dengan harapan dan malah menimbulkan suatu permasalahan baru, seperti pola pemidanaan yang bersifat pembalasan (revenge) sehingga berpotensi dapat menimbulkan rasa ketidakadilan, penumpukan perkara dan juga sering tidak memerhatikan hak-hak hukum dari korban tindak pidana.

Di samping itu, proses penyelesaian perkara melalui jalur litigasi memiliki berbagai kekurangan seperti proses penyelesaian yang panjang yang tentunya memakan waktu, tenaga dan juga biaya. Penyelesaian yang cenderung bersifat kaku, tidak memulihkan dampak kejahatan, tidak mencerminkan rasa keadilan terhadap masyarakat, kondisi lembaga permasyarakatan yang tidak memadai dan lain sebagainya. Hukum dibuat yang tujuannya untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi,agar peran hukum tersebut sesuai dengan apa yang diatur dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik  Indonesia 1945 yang menyatakan:

 "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial[1]." 

 

Atas dasar tersebut, muncul mekanisme baru dalam upaya penyelesaian permasalahan dalam bidang hukum pidana yang pelaksanaannya ialah melalui jalur non-litigasi, mekanisme tersebut ialah mekanisme "Restorative Justice". Model penyelesaian tindak pidana dengan mekanisme Restorative Justice merupakan upaya penyelesaian suatu perkara pidana dengan menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung dari pelaku tindak pidana, korban dan juga masyarakat dengan harapan agar terciptanya suatu keadilan bagi seluruh pihak dan upaya untuk mengembalikan  suatu keadaan kembali keeadaan semula seperti pada saat sebelum terjadinya tindak pidana tersebut.  Dalam menerapkan metode penyelesaian di luar pengadilan ini, digunakan menggunakan proses mediasi yang mempertemukan pihak-pihak yang bersangkutan.

 

Restorative Justice pada fungsinya memberikan suatu pendekatan yang berbeda dalam proses memahami dan menangani suatu tindak pidana, yang dalam Restorative Justice memberikan pengartian yang sama akan suatu tindak pidana, namun dalam proses penyelesaiannya menghadirkan suatu proses yang berbeda pada mekanisme melalui pengadilan dengan melibatkan  para pihak langsung. Dalam hal ini bertujuan memberikan solusi  penyelesaian perkara pidana yang lebih cepat dan hemat, dan menjunjung rasa keadilan bagi kedua pihak serta upaya menghindarkan stigma negatif  bagi para pihak. Konsep keadilan restoratif merupakan cara lain dalam peradilan pidana yang digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana, keadilan restoratif  lebih mengutamakan integrasi pelaku dan korban atau masyarakat sebagai satu kesatuan untuk dapat mencari solusi serta mengembalikan kepada hubungan yang baik antara pelaku dan korban.

 

Kelompok kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan pengertian keadilan restoratif sebagai suatu proses yang melibatkan semua pihak bersangketa dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang[2]. Menurut, Bagir Manan prinsip keadilan restoratif adalah membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai stakeholders yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian berkeadilan bagi semua pihak[3]. 

 

Tujuan utama dari keadilan restoratif itu sendiri untuk memberikan pemulihan atas perbaikan terhadap dampak yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Dalam sistem hukum pidana, pemidanaan bukanlah satu satunya tujuan akhir untuk mencapai tujuan dari penegakan hukum pidana. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan dari hukum pidana agar menciptakan ketertiban dan keadilan, seperti dengan cara penyelesaian keadilan restoratif terutama pada perkara-perkara yang tergolong ringan.

 

Kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan partisipatif untuk menanggulangi kejahatan. Sistem peradilan pidana atau criminal justice system merupakan suatu mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.  Remington dan Ohlin mengemukakan bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya[4].

 

 Saat ini keadilan restoratif mulai banyak dipraktikkan dalam menyelesaikan perkara pidana karena adanya pergeseran paradigma penegakan hukum pidana dari retributive justice menjadi keadilan restoratif yang pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat.  Secara historis keadilan restoratif pertamakali dikenalkan oleh Albert Eglash yang mana pada tahun 1977 membagi tiga kategori peradilan pidana yakni retributive justice, distributive justice, dan restorative justice [5].  Paradigma retributive justice melihat kejahatan sebagai bagian persoalan antar negara dengan individu pelaku karena hukum yang ditetapkan oleh negara untuk menjaga ketertiban, ketentraman, dan keamanan kehidupan masyarakat telah dilanggar oleh pelaku. Retributive Justice memandang bahwa wujud pertanggungjawaban pelaku harus bermuara pada penjatuhan sanksi pidana. Kerugian atau penderitaan korban dianggap sudah impas dan dibayar atau dipulihkan oleh pelaku dengan menjalani dan menerima proses pemidanaan. Sehingga dengan dijatuhkannya sanksi pidana, dikatakan bahwa substansi maupun prosedur penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini dijalankan hampir tidak memberikan pemulihan penderitaan bagi korban tindak pidana. 

 

Selama ini sanksi pidana lebih kepada pembayaran atau penebusan kesalahan pelaku kepada negara dari pada wujud pertanggungjawaban pelaku atas perbuatan jahatnya kepada korban. Padahal yang mengalami penderitaan dan kerugian akibat dari suatu tindak pidana tersebut ialah korban. Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.

 

Pada prinsipnya keadilan restoratif merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian melalui cara mediasi penal, namun tidak dapat diterapkan pada semua jenis atau tingkatan pidana, akan tetapi dalam tindak pidana ringan dapat dilakukan penerapan keadilan restoratif seperti dalam beberapa kasus lalu lintas, kasus anak dan kekerasan dalam rumah tangga. Keadilan restoratif dirasa lebih dapat mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan murah yang amat penting untuk perlindungan hak dari korban maupun pelaku. Mekanisme mediasi yang merupakan bagian dari alternative dispute resolution (ADR) selama ini hanya dikenal dalam ranah hukum privat. Alternative dispute resolution merupakan sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesain sengketa selain dari proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum.

 

Di dalam sistem peradilan Indonesia keadilan restoratif merupakan suatu hal yang baru meskipun secara tidak langsung sudah diterapkan dalam sistem penyelesaian hukum adat melalui musyawarah mufakat. Pada keadilan restoratif, terdapat suatu perkembangan penyelesaian perkara pidana yang lebih dapat memulihkan hak-hak korban dan mengakomodir kepentingan para pihak dengan memberikan keadilan dan kemanfaatan.

 

Restorative Justice merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang menekankan adanya pemulihan kepada korban dan keseimbangan terkait dengan tindak pidana dengan tingkat ketercelaan di masyarakat. Restorative justice juga merupakan implementasi dari asas peradilan cepat yang menekankan pada aspek efektivitas, efisiensi, serta berbiaya terjangkau. Restorative Justice sejatinya merupakan "kritik" terhadap proses penegakan hukum pidana konvensional yang cenderung menekankan aspek "pemidanaan" sebagai "aspek primer" dalam sistem peradilan pidana. Hal ini cenderung menafikkan pelaku dan korban tindak pidana yang terkadang terabaikan oleh proses penegakan hukum pidana secara konvensional yang menekankan pada law as a text and process [6].

 

KUHP baru dalam perkembangannya kemudian diundangkan melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP) pada tanggal 2 Januari 2023[7].  Pengundangan RKUHP sebagai Undang-Undang menjadi hal penting karena upaya memperjuangkan pengesahan RKUHP bahkan dimulai sejak tahun 1963 dan baru disahkan pada tahun 2023.  Selain itu, aspek penting dalam UU KUHP adalah spirit hukum dengan mengedepankan cita keindonesiaan. Dalam konteks ini, tentu kajian mengenai Restorative Justice relevan dikaitkan dengan pasca disahkannya UU KUHP. Kajian mengenai Restorative Justice serta UU KUHP juga menarik jika dikaitkan dengan perspektif hukum berkeadilan  yang menekankan aspek keseimbangan hukum dalam dimensi ketuhanan, keadilan, serta kemanusiaan.  Perspektif hukum tersebut menarik untuk dikaji berkaitan dengan aspek kemanusiaan dan ciita  hukum kedepan. Penelitian mengenai Restorative Justice dan RKUHP sejatinya pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, seperti:

 

  • Eko Syaputra (2021) tentang Penerapan Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Masa Yang Akan Datang yang berfokus pada urgensi penuangan serta penerapan konsep Restorative Justice dalam RKUHP. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh

 

  • Ida Made Oka Wijaya (2022) tentang Restorative Justice dalam Tinjauan Hukum Progresif: Eksistensi dan Implikasi yang berfokus pada analisis hukum progresif mengenai penerapan Restorative Justice salah satunya dalam RKUHP. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

 

  • Muhammad Fatahillah Akbar (2022) tentang Pembaharuan Keadilan Restoratif dalam Sistem  Peradilan Pidana Indonesia yang berfokus bahwa keadilan restoratif atau Restorative Justice seyogyanya merupakan konsepsi dan semangat dasar dalam RKUHP yang bercita hukum keindonesiaan [8]. 

 

 

  • KUHP Baru Indonesia

 

  • Revisi KUHP

 

  • Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, melalui Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat dilepaskan dari landasan dan sekaligus tujuan nasional yang ingin dicapai seperti dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pada alinea keempat.

 

  • Dari perumusan tujuan nasional yang tertuang dalam alinea ke empat UUD NRI 1945 tersebut, dapat diketahui dua tujuan nasional yang utama yaitu (1) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dan (2) untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Menurut Barda Nawai Arief, terlihat dua kata kunci dari tujuan nasional, yaitu "perlindungan masyarakat" dan "kesejahteraan masyarakat". Dua kata kunci itu identik dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan/ dunia keilmuan dengan sebutan "social defence" dan "social welfare". Dengan adanya dua kata kunci inipun terlihat adanya asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional. Perlu dicatat, bahwa kedua istilah ini pun sering didapatkan dalam satu istilah saja, yaitu "social defence" karena di dalam istilah "perlindungan masyarakat" sudah tercakup juga "kesejahteraan masyarakat"[9]

 

  • Penyusunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru) ini dimaksudkan untuk menggantikan Watboek van Starfrecht atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan masa kolonial. Penggantian tersebut merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional, yang dimaksudkan menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional[10], kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

  • Teori Abolisionisme

 

  • Salah satu upaya menekan tingkat kejahatan adalah dengan cara memidanakan pelaku tindak pidana dengan pidana penjara. Upaya pemidanaan seorang dengan pembatasan akses bermasyarakat dengan pidana penjara tidak jarang menimbulkan suatu persoalan. Dimana penjara dianggap sebagai The Graduate School of Crime (Sekolah tinggi untuk kriminal).[11] Penempatan orang dalam penjara pada hakikatnya merupakan upaya pengengkangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Karena itulah para penghuni mengalami kesakitan akibat berbagai kehilangan baik kehilangan akan rasa aman, relasi, seksual, otonomi, maupun kehilangan kekuasaan atas barang yang dimilikinya. Oleh karenanya dilihat dari sisi humanisme pemenjaraan seseorang adalah melanggar Hak Asasi Manusia. Maka munculah paham Abilisionisme, yang menghendaki adanya penghapusan hukuman mati hingga reformasi terhadap sistem pemenjaraan digantikan jenis hukuman lainnya. 

 

  • Konsep Restorative Justice

 

  • Konsep Restorative Justice

 

Konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana yaitu ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis, atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.

 

Dengan demikian konsep keadilan restoratif menitikberatkan suatu keadilan berdasarkan perdamaian, dimana dalam penyelesaian suatu perkara tidak mengenal keadilan berdasarkan balas dendam atau pemberian hukuman terhadap pelaku. Penerapan konsep ini merupakan bentuk perkembangan sistem peradilan pidana yang menitikberatkan keterlibatan antara pelaku dan korban dalam penyelesaian suatu perkara, dimana hal tersebut bukan merupakan salah satu mekanisme yang dikenal dalam hukum acara pidana konvensional saat ini.

 

  • Konsep Restorative Justice dalam KUHP Baru

 

Pegesahan RKUHP menjadi UU KUHP sejatinya merupakan salah satu momentum penting dalam upaya pembaruan hukum pidana di Indonesia. Hal ini karena secara formal menandai tentang diberlakukannya hukum pidana buatan Indonesia yang diharapkan dapat mengimplementasikan cita hukum Indonesia. Disahkannya RKUHP menjadi UU KUHP sejatinya adalah upaya formal dalam memutus "dominasi" hukum positif Indonesia yang didasarkan pada produk hukum kolonial, yaitu Belanda. KUHP dengan kultur hukum Belanda tentu memiliki perbedaan substansi dengan Indonesia. Perbedaan kultur hukum antara Belanda dan Indonesia menimbulkan adanya legal gap yang mana ketidaksesuaian akan cita hukum suatu masyarakat dengan cita hukum suatu peraturan perundang- undangan dapat menimbulkan inkonsistensi dan disparitas dalam penerapannya. Perbedaan kultur hukum antara Belanda dan Indonesia berimplikasi pada konsepsi dan penerapan KUHP di masyarakat. Wetboek Van Straafrecht (WvS) yang kemudian menjadi  KUHP memiliki karakter hukum Eropa Kontinental yang kuat sehingga mengedepankan hukum positif yang bersifat tertulis. Hal ini sebagaimana terejawentah dalam Pasal 1 KUHP yang menegaskan mengenai asas legalitas sebagai asas utama dalam hukum pidana. Di Indonesia, pemahaman dan pandangan dengan karakter hukum Eropa Kontinental sebagaimana dalam KUHP dianggap tidak relevan di masyarakat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Van Vollenhoven bahwa sebelum hukum positif  hadir di Hindia Belanda (nama Indonesia saat era penjajahan), masyarakat telah eksis dengan hukum tidak tertulis, yang lazimnya disebut dengan hukum adat. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa selain harus didasarkan pada hukum tertulis, masyarakat Indonesia juga tunduk pada hukum tidak tertulis yang sifatnya lokal[12].

 

Pasca disahkannya UU KUHP di awal tahun 2023, optimisme mengenai hukum pidana yang bercita hukum Pancasila kian menggeliat karena substansi dalam UU KUHP telah disesuaikan dengan kultur hukum bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, konsepsi restorative justice juga telah dirumuskan dalam UU KUHP sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai pasal di dalam UU KUHP. Seperti Pasal 54 UU KUHP menjelaskan bahwa dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban dan atau keluarga korban, kemudian Pasal 132 kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika telah ada penyelesaian diluar proses peradilan. Oleh karenanya gagasan restorative justice dalam UU KUHP selain upaya untuk membangun cita hukum keindonesiaan juga berupaya menghadirkan koreksi atas sistem peradilan pidana yang menekankan pada pemidanaan pelaku, bukan pada pemulihan korban. Penekanan pada pemidanaan pelaku hanya cenderung menyederhanakan persoalan pidana karena persoalan pidana tidak hanya selesai ketika pelaku telah dipenjara. Penyelesaian persoalan pidana harus kompleks yang mana terdapat titik temu antara kepentingan hukum masyarakat, korban, serta pelaku tindak pidana. Berdasarkan penjelaskan tersebut, peulis menarik kesimpulan bahwa konsep Restorative Justice belum dijelaskan secara implisit dalam KUHP yang lama, melainkan dijelaskan didalam peraturan-peraturan diluar KUHP, sedangkan dalam KUHP baru (UU KUHP) telah dijelaskan secara implisit mengenai konsep Restorative Justice sebagaimana tertuang dalam Pasal 51, 52, 53, 54 dan 132.

 

Selain itu sebelum adanya KUHP baru, konsep Restorative Justice cenderung kurang ditekankan dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Salah satu buktinya yaitu pada kasus nenek Minah yang telah penulis jelaskan pada latar belakang masalah diatas. Setelah adanya kasus tersebut, ada upaya untuk memperkenalkan Restorative Justice dalam beberapa kasus, terutama pada kasus tindak pidana ringan. Setelah adanya KUHP baru, konsep restorative justice menjadi lebih diperinci dan terstruktur, walaupun saat ini KUHP baru belum mulai diterapkan.

 

  • Tujuan Restorative Justice

 

Pelaksanaan Restorative Justice dalam menyelesaikan kasus-kasus kriminal memiliki tujuan yaitu untuk memberdayakan korban. Pelaku didorong agar memperhatikan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan terpenuhinya kebutuhan materil, emosional dan sosial sang korban. Keberhasilan keadilan restoratif diukur oleh sebesar apa kerugian telah dipulihkan pelaku, bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Intinya,  sedapat mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara. Tapi, seperti dikatakan Kent Roach, keadilan restoratif  bukan hanya memberikan alternatif bagi penuntutan dan pemenjaraan, melainkan juga meminta tanggungjawab pelaku[13].

 

Pada umumnya korban bersifat pasif (tidak disertakan) dalam proses peradilan pidana konvensional, namun dalam peradilan pidana restoratif korban diberi kesempatan berperan serta di dalamnya. Barithwaite mengungkapkan bahwa cara demikian melahirkan perasaan malu dan pertanggungjawaban pelaku dan keluarga atas tindakan yang salah oleh pelaku, juga memotivasi pelaku dan keluarganya untuk memperbaiki secara proporsional.[14]

 

  • Prinsip Restorative Justice

 

Prinsip keadilan restoratif secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah model penyelesaian perkara di luar lembaga pengadilan atau sering disebut dengan out of court settlement yang lebih memperhatikan keadilan, tujuan dan keinginan para pihak dengan konsep victim awarness work, menurut Komariah E. Sapardjaja, prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam pendekatan keadilan restoratif adalah [15]:

 

  • Keadilan yang dituntut adalah adanya upaya pemulihan bagi pihak yang dirugikan.

 

  • Siapapun yang terlibat dan terkena dampak tindak pidana harus mendapat kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam menindaklanjutinya.

 

  • Pemerintah berperan dalam menciptakan ketertiban umum sementara masyarakat membangun dan memelihara perdamaian.

 

Restorative Justice timbul karena adanya, ketidakpuasan dengan sistem peradilan pidana yang telah ada, yang mana tidak dapat melibatkan pihak-pihak yang berkonflik, melainkan hanya antara negara dan pelaku. Korban maupun masyarakat setempat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik, berbeda dengan sistem restorative justice dimana korban dan masyarakat dilibatkan sebagai pihak untuk menyelesaikan konflik.

 

Timbulnya Restorative Justice, karena sistem peradilan pidana tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, karena gagal memberikan ruang yang cukup pada kepentingan para calon korban dan calon terdakwa, dengan kata lain sistem peradilan pidana yang konvensional saat ini diberbagai negara di dunia kerap menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan.

 

  • Sistem Pemidanaan di Indonesia

 

  • Pengertian Sistem Pemidanaan

 

  • Sudarto menjelaskan, bahwa dilihat dari sudut pandang fungsional (dalam arti luas) maka sistem pemidanaan berarti sistem aksi. Pada dasarnya sistem pemidanaan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu, pertama, dalam arti luas, sistem pemidanaan dapat dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut bekerjanya atau prosesnya yang dapat diartikan, yaitu antara lain sebagai berikut [16]

 

  • Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi / operasionalisasi / konkretisasi pidana;

 

  • Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.

 

Kedua, dalam arti sempit, sistem pemidanaan dilihat dari sudutnormatif/substantif, yaitu hanya dilihat dari Norma-norma hukum pidana substantif. Hukum pidana subtantif dapat dianggap sebagai sekumpulan syarat-syarat yang secara formal memberikan wewenang untuk menerapkan saksi-sanksi kriminal. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan pemidanaan diartikan sebagai penghukuman.

 

Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan bahwa kedua hal tersebut terdapat perbedaan, hukum pidana materiil merupakan aturan yang mengatur perbuatan apa yang dilarang terhadap seseorang serta ancaman hukuman apabila seseorang melanggar aturan tersebut. Sedangkan hukum pidana formil mengatur mengenai bagaimana hukum pidana materiil dipertahankan melalui hukum acara pidana[17] 

 

Sudarto menyatakan bahwa "pemidanaan" adalah sinomin dengan perkataan penghukuman[18]. Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa penghukuman merupakan pengejawantahan dari kata dasar hukum, sehingga dapat dijabarkan sebagai sarana untuk memutuskan suatu peristiwa hukum[19]. Memutuskan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut satu bidang hukum pidana saja, melainkan juga bidang hukum lainya, seperti hukum perdata, hukum administrasi, hukum tata usaha negara dan lain sebagainya. Sehingga penetapan hukum dalam hukum pidana, istilah tersebut harus lebih disempitkan artinya. Pengertian penghukuman dalam perkara pidana sering kali dikenal dengan sinonim "pemidanaan" atau "pemberian/ penjatuhan pidana" oleh hakim[20]

 

  • Restorative Justice dalam Sistem Pemidanaan

 

  • Pengertian Restorative Justice

 

  • Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya "Restorative Justice an Overview" menjelaskan bahwa :

 

  •  Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake aparticular offence come together to resolve collectively how to deal with theaftermath of the offence and its implication for the future [21].

 


 

  •  (Restorative Justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).

 

  • Tujuan Restorative Justice

 

  • Pendekatan Restorative Justice bertujuan untuk[22] :

 

  • Meletakkan keputusan kepada pihak-pihak yang paling terlibat dalam perkara pidana;

 

  • Memfokuskan hukum lebih pada pemulihan, dan idealnya serta lebih berkembangnya hukum;

 

  • Mengurangi kemungkinan permusuhan atau masalah lain di masa depan;

 

  • Korban dilibatkan secara langsung dalam proses agar tercapai hasil yang memuaskan;

 

  • Pelaku menyadari akibat dari perbuatannya terhadap orang lain dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya;

 

  • Perbaikan terhadap kerugian lebih cepat, dengan memerhatikan kehendak korban dan pelaku;

 

  • Korban dan pelaku mengakhiri secara langsung permasalahan yang terjadi dan pengembalian kepada masyarakat dapat dilakukan lebih efektif.

 

  • Tujuan utama keadilan restoratif adalah pemulihan sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. Hal ini berarti bahwa proses penanggulangan tindak pidana melalui pendekatan restoratif adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana, yang bertujuan untuk memulihkan keadaan yang di dalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban melalui cara yang disepakati oleh para pihak yang terlibat di dalamnya

 

  • Model Sistem Pendekatan Restorative Justice

 

  • Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan Restorative Justice tidak akan menjadi suatu realitas yang dapat di implementasikan jika tidak dapat dibangun atau dikembangkan suatu model struktural dengan paradigma restoratif yang akan menjadi pilihan alternatif dalam sistem hukum pidana. Dalam hal ini ada berbagai macam model sistem pendekatan restoratif yang dijabarkan oleh Van Ness, antara lain[23]

 

  • Unified System

 

  • Dual Track System

 

  • Safeguard System

 

  • Hybrid System

 

  • .

 

PEMBAHASAN MASALAH

 

Rekonstruksi atau Pengaturan Restoratif Justice  dengan Sistem Pemidanaan di Indonesia  Pasca UU No. 1 Tahun 2023

 

  • Pengaturan Restorative Justice Dalam Praktik Pemidanaan di  Beberapa Negara

 

Sejarah berkembangnya hukum pidana di dunia memperlihatkan adanya perhatian yang semakin besar terhadap kepentingan korban dalam penegakan hukum pidana yang berjalan beriringan juga dengan mulai munculnya pendekatan baru mengenai tujuan pemidanaan, dari sekadar pencegahan (deterrence) dan pembalasan (retributive), menjadi rehabilitasi. Di tengah perkembangan tersebut juga lahir pemikiran mengenai Restorative Justice, suatu terminologi yang pertama kali diperkenalkan oleh Albert Eglash yang dalam tulisannya mengidentifikasi tiga tipe sistem peradilan pidana, yaitu retributif, distributif, dan restoratif[24]. Perkembangan penerapan Restorative Justice dalam sistem hukum pidana menunjukkan adanya perkembangan ke arah positif. Terdapat beberapa kesamaan praktik dan pemikiran dalam penerapan program restoratif mulai dari tingkat nasional di beberapa negara hingga internasional, sebagai contoh dengan mengutamakan kepentingan korban, adanya komunikasi antara pelaku dan korban, pengembalian kondisi terhadap korban dan masyarakat, serta pelibatan kelompok masyarakat alih-alih menjadikan pemidanaan sebagai momok pribadi. 

 

  • Pengaturan Restorative Justice Dalam Konsep Pemidanaan

 

  • Sejarah dalam bidang hukum pidana mengungkapkan evolusi mengenai tindak pidana dari konsep "privat atau pribadi" atau individu menuju kepada lingkup "publik" atau sosial. Dengan evolusi ini, tindak pidana kemudian diartikan sebagai sebuah pelanggaran hukum pidana yang diatur oleh negara, yang dalam prosesnya terdakwa akan dituntut oleh penuntut umum dan diputus oleh hakim. Orientasi diberikan pada penghukuman bagi pelaku dan proses peradilan hanya berpusat pada pelaku dan negara. Dengan kerangka ini, lambat laun korban berikut pemenuhan hak-haknya mulai terabaikan. Baru pada sekitar 1970-an, kesadaran pentingnya peran vital korban digaungkan. Publik mulai menyadari pentingnya peran korban. Gerakan korban diakui secara luas sejalan dengan lahirnya konsep Restorative Justice.[25] 

 

  • Pengaturan Restorative Justice Pada Perkara Tindak Pidana Ringan

 

Dalam pelaksanaan Restorative Justice, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum. Dasar hukum Restorative Justice pada perkara tindak pidana ringan termuat dalam beberapa peraturan berikut ini[26]:

 

  • Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

 

  • Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)

 

  • Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

 

  • Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice

 

  • Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan

 

  • Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif

 

  • Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan keadilan restoratif

 

  • Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan Restorative Justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

 

Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara pidana berikut ini:

 

  • Tindak Pidana Anak

 

  • Tindak Pidana Perempuan yang berhadapan dengan hukum

 

  • Tindak Pidana Narkotika

 

  • Tindak Pidana Informasi dan transaksi elektronik

 

  • Tindak Pidana lalu lintas

 

Syarat Pelaksanaan Restorative Justice

 

  • Syarat pelaksanaan Restorative Justice adalah termuat dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.

 

  • Melansir situs Kompolnas, penanganan tindak pidana dengan Restorative Justice harus memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan umum berlaku pada kegiatan penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan. Sedangkan persyaratan khusus hanya berlaku untuk tindak pidana berdasarkan Restorative Justice pada kegiatan penyelidikan atau penyidikan.

 

Berikut ini persyaratan umum pelaksanaan Restorative Justice secara materiil, meliputi:

 

  • Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat

 

  • Tidak berdampak konflik sosial

 

  • Tidak berpotensi memecah belah bangsa

 

  • Tidak radikalisme dan separatisme

 

  • Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan

 

  • Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.

 

  • Pengaturan  Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

 

  • Berdasarkan penjelasan terdahulu, kita dapat menarik simpulan bahwa Restoratve Justice adalah sebuah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, pelaku, atau pihak yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan Dengan definisi dan prinsip seperti di atas, sebenarnya nilai-nilai bukan sesuatu yang berasal dari luar Indonesia. Nilai-nilai Restoratve Justice pada hakikatnya tertanam dalam kondisi sosiologis masyarakat di Indonesia, bahkan sebelum istilah dan terminologi Restoratve Justice sendiri dikenal secara luas. Praktik penanganan sengketa dengan melibatkan pihak yang terdampak dan masyarakat sebenarnya sudah banyak dilakukan di Nusantara dan Indonesia. Bahkan penanganan sengketa di luar proses peradilan formal telah dilakukan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia tidak berasal dan bersifat dari perkotaan dan tidak pula sekuler, sehingga nilai sosial yang diutamakan cenderung menitikberatkan pada hubungan pribadi dengan karakteristik tenggang rasa, solidaritas komunal, dan penghindaran perselisihan

 

  • Salah satu contoh peradilan adat yang memiliki konsep yang sejalan dengan konsep Restoratve Justice adalah Peradilan Perdamaian Adat di Aceh, Bale Mediasi di Nuta Tenggara Barat (NTB), ritual adat Mela Sareka di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pengadilan Adat di Papua salah satunya yang di dalam masyarakat hukum adat Enggros Tobati, Sough, Kayu Batu. Masyarakat Adat Banjar juga mengenal adanya adat Badamai yakni penyelesaian sengketa baik yang bersifat keperdataan maupun pidana. Juga terdapat praktik penanganan sengketa lainnya di Sulawesi Selatan.

 

  • Rekonstruksi atau Pengaturan Arah Perubahan Mekanisme Restorative Justice pasca UU No. 1 Tahun 2023

 

  • Dalam pandangan beberapa ahli dan dengan mengacu kepada The Basic Principles on the use Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters yang diadopsi oleh PBB, telah ditegaskan bahwa Restorative Justice berorientasi pada proses dan outcome/hasil. Pelaksanaan program-program Restorative Justice juga tidak hanya dapat dilakukan di luar sistem peradilan pidana (seperti mekanisme diversi) saja, melainkan juga dapat dilakukan di dalam tiap tahapan-tahapan sistem peradilan pidana.

 

  • Pada bagian ini juga dijelaskan kerangka konseptual beberapa mekanisme peradilan pidana yang sejalan dengan keadilan restoratif yang perlu dikuatkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia ke depan (melalui KUHP Baru)[27], beberapa mekanisme ini dipandang memiliki peluang besar untuk melembagakan prinsip-prinsip keadilan restoratif di Indonesia. 

 

  • Pemulihan Hak Korban

 

  • Sebagai program langsung (direct programme) keadilan restoratif, pemulihan korban berprinsip bahwa respons terhadap kejahatan harus sebisa mungkin memulihkan hak korban. Beberapa indikator pemulihan hak korban adalah:

 

  • Keterbukaan informasi oleh peradilan kepada korban;

 

  • Peradilan selalu mempertimbangkan baik pendapat, pandangan, maupun kebutuhan korban;

 

  • Peradilan mengakomodir bantuan bagi korban yang membutuhkan; dan

 

  • Mekanisme informal (mediasi, arbritasi) digunakan untuk memfasilitasi konsiliasi dan pemulihan korban. Selain itu, mekanisme prosedural teknis seperti restitusi, kompensasi, dan bantuan korban harus senantiasa berjalan optimal demi pemulihan hak korban.

 

  • Mediasi Penal

 

  • Mediasi penal adalah salah satu bentuk dari Restorative Justice dimana penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti hakim, penuntut umum atau kepolisian dimana mediasi penal membuka ruang bagi dialog korban, pelaku, maupun masyarakat terkait untuk melakukan rekonsiliasi, pemulihan korban, serta perbaikan kerugian nyata yang dialami korban. Di beberapa negara Mediasi Penal (Victim-Offender Mediation) harus bisa dilaksanakan pada semua tahapan peradilan, termasuk pasca penjatuhan hukuman sebagai indikator pemberian pembebasan bersyarat. Selain itu, pelaksanaannya dapat dibantu oleh mediator/fasilitator dari pihak ketiga, dan prosesnya juga harus sejalan dengan prinsip keadilan restoratif, serta memastikan tidak adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku yang dapat menghambat proses restorasi.

 

  • Diversi

 

  • Sebagai program langsung (direct programme) keadilan restoratif, Diversi merupakan alternatif penyelesaian perkara di luar peradilan yang membuka peluang dialog dan keterlibatan korban, pelaku, maupun masyarakat terkait dalam memperbaiki kerugian dan pemulihan korban. Diversi juga berpotensi membawa dampak positif seperti penghindaran hukuman penjara, penghindaran stigma bagi pelaku, menghadirkan peradilan yang partisipatoris, serta memberikan respons yang efektif terhadap tindak pidana. Selain pada perkara anak, di beberapa negara Diversi juga dapat diterapkan pada pelaku dewasa yang melakukan tindak pidana ringan (petty crimes) yang baru dilakukan pertama kali.

 

  • Pidana Pengawasan

 

  • Sebagai program pendukung (enabler programme) keadilan restoratif, Pidana Pengawasan berpotensi menghasilkan pemulihan korban ketika hakim mencantumkan syarat pemulihan korban oleh pelaku pada putusannya. Selain itu, karena sifatnya yang non-pemenjaraan, mekanisme ini juga merupakan upaya untuk menggeser penyelesaian pidana yang retributif dan inkapasitasi, ke arah pendekatan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Mekanisme ini juga dapat mencegah residivisme serta mengurangi overcrowding lapas. Dalam melaksanakan pidana pengawasan, perlu diperhatikan:

 

  • Batasan tindak pidana dengan pidana pengawasan;

 

  • Pelaksaan putusan pidana pengawasan; serta

 

  • Pengawasan (supervisi dan pendampingan) pelaksanaan pidana pengawasan.

 

  • Pengesampingan Perkara Atas Kebijakan Penuntutan (Seponering)

 

  • Sebagai program pendukung (enabler programme) keadilan restoratif, Seponering (menyampingkan perkara demi kepentingan umum) dapat mendorong reintegrasi (calon) pelaku pada masyarakat, serta mengurangi overcrowding lapas. Namun perlu dicatat, tujuan keadilan restoratif bukanlah semata-mata untuk mengesampingkan perkara (drop case). Kendati demikian, Seponering tetap menjadi enabler programme selama pelaksanaannya mendorong prinsip keadilan restoratif. Beberapa hal yang harus diperhatikan seputar Seponering:

 

  • pengesampingan perkara harus dilaksanakan via kebijakan tuntutan (beleidsregel/quasilegislation) yang selalu dapat diuji pelaksanaannya; dan

 

  • kebijakan pengesampingan perkara ini harus transparan dan dapat diakses publik.

 

  • Pemaafan Hakim (Judicial Pardon)

 

  • Sebagai program pendukung (enabler programme) keadilan restoratif, Pemaafan Hakim dapat menghadirkan ruang bagi hakim untuk mendengarkan dan mempertimbangkan penda- pat serta pandangan korban terkait kasus yang dialaminya. Seperti halnya di Belanda, dalam menjatuhkan putusan Pemaafan Hakim, hakim terlebih dahulu mendengarkan pandangan korban mengenai putusan apa yang adil baginya. Kendati de- mikian, hakim tidak harus selalu mengikuti pendapat korban, sebab hakim ditempatkan sebagai penentu keadilan bagi semua pihak yang terkait.

 

  • Keadilan restoratif sebagaimana pada dasarnya adalah sebuah pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional.  Hal ini didasarkan pada dua indikator yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanisme yang ditawarkannya. Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaakeadilan restoratif diperhitungkan kembali. Keberadaan pendekatan ini barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri.

 

  • Gagasan Restorative Justice ini pun sudah diakomodir dalam KUHP baru, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan. Sehingga pada akhirnya Restorative Justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat. Kedepan dalam rangka mencapai tujuan hukum yang merupakan hasil dari pemikiran bangsa Indonesia. KUHP kedepan diharapkan menyasar pada 4 (empat) hal, yaitu:

 

  • Pencegahan dan penanggulangan kejahatan;

 

  • Perbaikan pada pelaku;

 

  • Pencegahan terhadap tindakan sewenang- wenang di luar hukum; dan;

 

  • Penyelesaian konflik dalam masyarakat.

 

Keempat tolok ukur ini diletakkan dalam kerangka perlindungan masyarakat yang dicapai melalui tujuan pemidanaan. Dengan demikian, KUHP baru, yang disahkan tangal  2 Juli 2023 yang terdiri dari 37 bab 624 pasal dan 345 halaman yang akan berlaku tanggal 2 Januari 2026 berdampak terhadap perubahan-perubahan substansial terkait perlindungan masyarakat yang menggeser paradigma hukum pidana nasional. Perubahan ini dipastikan akan berdampak pada banyak aspek, salah satu yang terutama adalah terhadap kondisi dan kebijakan pemasyarakatan.

 

Implementasi  Restorative Justice Pasca Disahkannya KUHP Baru (UU No.1 Tahun 2023)

 

Pengesahan RKUHP menjadi UU KUHP sejatinya merupakan salah satu momentum penting dalam upaya pembaruan hukum pidana di Indonesia. Hal ini karena secara formal menandai tentang diberlakukannya hukum pidana made in Indonesia yang diharapkan daoat mengimplementasikan cita hukum Indonesia. Disahkannya RKUHP menjadi UU KUHP sejatinya adalah upaya formal dalam memutus "dominasi" hukum positif Indonesia yang didasarkan pada produk hukum kolonial, yaitu Belanda. Diketahui bahwa KUHP sejatinya merupakan tindak lanjut dari Wetboek Van Straafrecht (WvS) yang merupakan produk hukum di era penjajahan Belanda[28]. 

 

Di Indonesia, pemahaman dan pandangan dengan karakter hukum Eropa Kontinental sebagaimana dalam KUHP dianggap tidak relevan di masyarakat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Van Vollenhoven bahwa sebelum hukum positif  hadir di Hindia Belanda (nama Indonesia saat era penjajahan Belanda) eksis, masyarakat telah eksis dengan hukum tidak tertulis, yang lazimnya disebut dengan hukum adat. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa selain harus didasarkan pada hukum tertulis, masyarakat Indonesia juga tunduk pada hukum tidak tertulis yang sifatnya lokal artinya berlaku pada tempat dan wilayah tertentu. Kedua, substansi dalam KUHP juga berdasarkan pada realitas hukum masyarakat Eropa Barat sehingga jika diterapkan secara langsung pada masyarakat Indonesia dengan budaya ketimuran, maka hal tersebut sejatinya tidak akan menemui relevansi dan titik temu. Hal ini dapat dicontohkan dengan delik overspel dalam Wetboek Van Straafrecht (WvS) yang kemudian menjadi KUHP yang kemudian dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi zina. Padahal, ketentuan overspel dalam Wetboek Van Straafrecht (WvS) memiliki perbedaan dengan substansi zina yang dipahami masyarakat Indonesia. Overspel dalam Wetboek Van Straafrecht (WvS) hanya dipahami sebagai hubungan laki-laki dan perempuan layaknya suami istri yang salah satunya telah berstatus sebagai suami atau istri.

 

Dalam KUHP maupun KUHAP semua kasus pidana harus diselesaikan melalui sistem peradilan pidana terpadu melalui aparatur penegak hukum. Hal ini berarti, penyelesaian sengketa dengan melibatkan peran masyarakat yang sejatinya genuine diakui dan berkembang di masyarakat justru tidak mendapatkan fasilitasi dalam hukum pidana positif di Indonesia (KUHP dan KUHAP).

 

Pasca disahkannya UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP baru) di tanggal 2 Januari 2023, optimisme mengenai hukum pidana yang bercita hukum Pancasila kian menggeliat karena substansi dalam UU KUHP telah disesuaikan dengan kultur hukum bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, termasuk konsepsi Restorative Justice yang juga telah dirumuskan dalam UU KUHP. Gagasan Restorative Justice dalam UU KUHP selain upaya untuk membangun cita hukum ke Indonesiaan juga berupaya menghadirkan koreksi atas sistem peradilan pidana yang menekankan pada pemidanaan pelaku, bukan pada pemulihan korban. Penekanan pada pemidanaan pelaku hanya cenderung menyederhanakan persoalan pidana karena persoalan pidana tidak hanya selesai ketika pelaku telah dipenjara. Penyelesaian persoalan pidana harus kompleks yang mana terdapat titik temu antara kepentingan hukum masyarakat, korban, serta pelaku tindak pidana. Restorative Justice sejatinya eksis sebelum disahkannya UU KUHP yang telah tersebar di berbagai peraturan internal institusi penegak hukum, seperti[29]: 

 

  • Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR),

 

  • Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak,

 

  • Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, termasuk juga terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

 

  • Berbagai ketentuan Restorative Justice tersebut, kelemahan utama peraturan yang tersebar di masing-masing institusi adalah potensi disharmonisasi ketentuan Restorative Justice yang dapat menyebabkan ego sektoral masing-masing institusi penegak hukum yang membuat ketentuan Restorative Justice berbeda antar satu institusi penegak hukum dengan institusi penegak hukum lainnya. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat.

 

  • Dalam substansi UU KUHP sendiri ketentuan Restorative Justice sejatinya tersebar di berbagai Pasal khususnya terkait dengan substansi yang berkaitan dengan perbaikan serta pemulihan korban tindak pidana, rehabilitasi dang anti rugi bagi pelaku tindak pidana, kerugian lingkungan atas tindak pidana, termasuk juga upaya melibatkan masyarakat. Selain itu, terkait dengan substansi pidana pokok dalam UU KUHP juga mengalami perubahan yang signifikan yang meliputi pidana penjara, tutupan, pengawasan, denda, serta kerja sosial.

 

  • Implikasi Restorative Justice pasca disahkannya RKUHP menjadi UU KUHP dalam perspektif hukum berbasis nilai kebaikan secara universal merupakan substansi Restorative Justice yang sejatinya telah terfasilitasi dalam UU KUHP baru dan tersebar di berbagai pasal. Salah satu pasal tersebut yaitu Pasal 51 UU KUHP yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang dalam perspektif hukum yang berkeadilan dan berkemanusian relevan untuk mendidik kembali narapidana dan linier dengan nilai ketuhanan yang menghendaki adanya konsepsi 'taubatan nasuha' yang mana sikap maha pengampun yang dimiliki oleh Tuhan menjadi dasar bahwa manusia yang berperangai buruk sekalipun bisa berubah ke jalan yang lebih baik[30]. 

 

  • Selain itu, Pasal 52 UU KUHP yang menegaskan bahwa pemidanaan tidak boleh merendahkan martabat manusia yang berarti, menjaga martabat manusia adalah perintah Tuhan dan orang yang mengabaikan martabat sesama manusia adalah orang yang melampaui batas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa substansi Restorative Justice yang telah terfasilitasi dalam UU KUHP sejatinya telah relevan dengan gagasan hukum bersumber kepada keadilan dan melindungi martabat manusia. Keadilan restoratif (Restorative Justice) merupakan konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan titik tekan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang konvensional yang ada pada saat ini.

 

  • Konsepsi keadilan restoratif (Restorative Justice) dalam sistem penegakan hukum pidana telah diimplementasikan oleh tiga struktur utama dalam penegakan hukum, yakni

 

  • Kepolisian,

 

  • Kejaksaan dan

 

  • Mahkamah Agung,

 

  • Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Rencana Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut dengan Perpol tentang Keadilan Restoratif) menyebutkan:

 

  • Keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

 

  • Selanjutnya, Pasal 1 angka (1, 2, 3 dan 4) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (selanjutnya disebut dengan Perjak tentang Keadilan Restoratif) menyebutkan:

 

  • Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku/Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

 

  • Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danl atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

 

  • Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

 

  • Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

 

Terlepas dari kenyataan tersebut, pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara termasuk kebijakan hukum pidana di Indonesia yang dimulai dari kebijakan internal instansi aparat penegak hukum, baik di Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan[31]

 

 

 

PENUTUP

 

  • Kesimpulan

 

  • Definisi dan Konsep: UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memperkenalkan konsep keadilan restoratif (Restorative Justice) sebagai pendekatan baru dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Keadilan restoratif didefinisikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan.  Adapun prinsip dasarnya yang harus dipatuhi :

 

  • Penerapan Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana tidak semata-mata bertujuan untuk menghentikan perkara

 

  • Restorative justice dapat dilakukan dalam setiap tahapan proses peradilan pidana.

 

  • Pelaksanaan restorative justice harus menghormati prinsip kesetaraan gender dan non-diskriminasi, mempertimbang- kan ketimpangan relasi kuasa dan faktor kerentanan berba- sis umur, latar belakang sosial, pendidikan, ekonomi.

 

  • Pelaksanaan Restorative Justice harus memastikan adanya pemberdayaan dan partisipasi aktif dari para pihak, mulai dari pelaku, korban, maupun pihak lain yang terkait yang terlibat.

 

  • Restorative Justice berprinsip   pada kesukarelaan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

 

  • Pada kasus anak, penerapan Restorative Justice harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.

 

  • Dalam konteks pembaharuan hukum pidana di Indonesia lewat Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru mengakomodir dan memasukan prinsip Restorative Justice, dimana rumusan tentang jenis-jenis pidana  (strafmaat) mengandung sifat restoratif. Sehingga sangat mungkin sekali konsep  Restorative Justice (Keadilan Restoratif) ini  dapat dijadikan bagian dari pembaharuan hukum pidana di Indonesia di masa yang akan datang.Mmungkin  pembahasan, pengesahan, dan pemberlakuan Rancangan KUHP yang sesuai dengan nilai-nilai ke Indonesiaan. Mengingat KUHP yang berlaku sekarang sudah tidak cocok lagi dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan  pada Hukum Adat (traditional law) serta  nilai-nilai kebhinekaan lainnya.

 

  • Implikasi Restorative Justice pasca disahkannya RKUHP menjadi UU KUHP dalam perspektif hukum yang berkeadilan dan bermartabat terfasilitasi dalam UU KUHP dan tersebar di berbagai pasal. Salah satu pasal tersebut yaitu Pasal 51 UU KUHP yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang dalam perspektif  hukum yang berkeadilan dan memanusiakan manusia tersebut relevan untuk mendidik kembali narapidana dan linier dengan nilai ketuhanan yang menghendaki adanya konsepsi taubatan nasuha' yang mana sikap maha pengampun yang dimiliki oleh Tuhan menjadi dasar bahwa manusia yang berperangai buruk sekalipun bisa berubah ke jalan yang lebih baik. Selain itu, Pasal 52 UU KUHP yang menegaskan bahwa pemidanaan tidak boleh merendahkan martabat manusia yang berarti, menjaga martabat manusia adalah perintah Tuhan dan orang yang mengabaikan martabat sesama manusia adalah orang yang melampaui batas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa substansi Restorative Justice yang telah terfasilitasi dalam UU KUHP pasal 51, 52, 53, 54 dan khusus Pasal 132 menyebutkan kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika telah ada penyelesaian diluar proses peradilan, sejatinya telah relevan dengan gagasan dan tujuan hukum itu sendiri.

 

  • Hukum dan keadilan yang hidup di masyarakat menekankan pemulihan hak-hak korban dan keseimbangan perlindungan antar kepentingan korban dan pelaku serta pihak lainnya yang terkait dengan azas keadilan bersama. Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung menerapkan penyelesaian perkara pidana tetap dapat dilakukan secara kekeluargaan atau berdasarkan keadilan restoratif dengan memenuhi syarat formil dan materil yang didasarkan pada ketentuan dan peraturan lain diluar KUHP  diantaranya :

 

  • Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

 

  • Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

 

  • Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

 

  • Keputusan Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

  • Peraturan Perundangan:

 

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

 

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Tentang Hukum Pidana

 

Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

 

Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)

 

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP

 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

 

  • Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012

 

  • Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana

 

  • Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020
    Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

 

  • Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

 

  • Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021
    Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

 

  • Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice

 

  • Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan

 

  • Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif

 

  • Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

 

  • Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

 

  •  

 

  •  

 

  •  

 

  • Buku-Buku:

 

  • A. Asep Saepudin Jahar, Raju Moh Hazmi, "Construction of Legal Justice, Certainty, and Benefits in the Supreme Court Decision Number 46P/HUM/2018," Cita Huk., vol. 9, no. 1, p. 162, 2021.

 

  • A. Safa'at, Dinamika Negara dan Islam dalam Perkembangan Hukum dan Politik di Indonesia, 1st ed. Jakarta: Konstitusi Press, 2018.

 

  • Abidin Farid, Zainal , Hukum Pidana I,Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2007 Achjani Zulfa, Eva , Keadilan Restoratif, FHUI, Jakarta, 2009.

 

  • Burt Galaway dan Joe Hudson, Criminal Justice, Restitution and Reconciliation (Criminal Justice) Penggantian Kerugian dan Perdamaian). Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1990 diakses dari wbsite http://www.restorativejustice.org pada tanggal 04 Juli 2021.
  • ehuli, "Perspectives of Legal Culture," Rev. Sociol., vol. 51, no. 2, pp. 257--282, Aug. 2021, doi: 10.5613/rzs.51.2.4.
  • Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Pers, Jakarta, 2011,
  • Christianto, "Norma Persatuan Sebagai Batasan Perbuatan Pidana Penyebaran Ujaran Kebencian Melalui Internet," Verit. Justitia, vol. 6, no. 1, pp. 94--126, 2020, doi: 10.25123/vej.3501.
  • Criminology, 2003.
  • D. E. Prasetio, F. P. Disantara, N. H. Azzahra, and D. Perwitasari, "The Legal Pluralism Strategy of Sendi Traditional Court in the Era of Modernization Law," Rechtsidee, vol. 8, pp. 1--14, Mar. 2021, doi: 10.21070/jihr.2021.8.702.

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2019, hlm 36

  • Efendi, D. O. Susanti, and R. I. Tektona, Penelitian Hukum Doktrinal. Surabaya: Laksbang Justitia, 2019.

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2014,

Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011.

F. Akbar, "Pembaharuan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia," Masal. Huk., vol. 51, no. 2, p. 200, 2022

G.Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan,:Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2013.

  • Ghunarsa Sujatnika, "Pengaruh Konstitusi Berketuhanan Dalam Praktik Ketatanegaraan (Perbandingan Antara Indonesia Dengan Berbagai Negara)," Huk. dan Pembang., vol. 48, no. 4, pp. 1689--1699, 2017, doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.

H. Thahir, Ijtihad Maqasidi: Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas, 1st ed. Yogyakarta: LKIS, 2015.

H. Widodo and F. P. Disantara, "Problematik Kepastian Hukum Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Masa Pandemi COVID-19," J. Suara Huk., vol. 3, no. 1, p. 197, Mar. 2021, doi: 10.26740/jsh.v3n1.p197-226.

  • Hadi Utomo, Warsito , Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005.

Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Akademik Pressindo, Jakarta, 1986.

Handbook on Restorative Justice Programme, New York: United Nations, 2006, hlm 19

  • Hanum, "Prospek Keadilan Restoratif dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia," Veritas, vol. 7, no. 1, p. 3, 2021.

Hariman Satria, "Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana", Jurnal Media Hukum, Vol. 25, No.1, 2018.

  • Hobson, A. Twyman-ghoshal, R. Banwell-moore, and D. P. Ash, "Restorative Justice , Youth Violence , and Policing : A Review of the Evidence," MDPI, vol. 11, no. 62, pp. 1--20, 2022.
  • Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale, Pennsylvania Waterloo, Ontario; Herald Press, 1990, hlm. 181. Diakses dari website http://www.restorativejustice.org pada tanggal 04 Januari 2021
  • Institute for Criminal Justice Reform, 2022, Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, https://leip.or.id/wp-content/uploads/2022/11/221014-Ebook_Peluang-Penerapan-RJ-dalam-SPP-di-Indonesia..pdf
  • Iqrak Sulhin, Covid-19, Pemenjaraan Berlebihan, Dan Potensi Katastrofe Kemanusiaan, Jurnal Hukum & Pembangunan Volume 50 No. 2 26 September 2020
  • Iqrak Sulhin, Covid-19, Pemenjaraan Berlebihan, Dan Potensi Katastrofe Kemanusiaan, Jurnal Hukum & Pembangunan Volume 50 No. 2 26 September 2020
  • Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, 5th ed. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2018.
  • J. S. and A. V. H. Annemieke Wolthuis, Jacques Claessen, "Dutch developments: restorative justice in legislation and in practice," Int. J. Restor. Justice, vol. 2, no. 1, p. 119, 2019.

Jim Consedine, Restoratve Justice Healing The effect of Crime, Royal New Zealand Foundation of the Birth, published 2018

Johan Nasution, 2012. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandumg: Mandar Maju, hal. 98.

Johnny Ibrahim, 2014. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Bandung: Remaja Rosdakarya.

  • Julaiddin, Henny Puspita Sari, Kebijakan Hukum Di Tengah Penanganan Wabah Corona Virus Disease (Covid-19)Jurnal .Unnes Lau Review, Volume 2, Issue 4, Juni 2020
  • Julaiddin, Henny Puspita Sari, Kebijakan Hukum Di Tengah Penanganan Wabah Corona Virus Disease (Covid-19)Jurnal .Unnes Lau Review, Volume 2, Issue 4, Juni 2020

Kamus Besar Bahsa Indonesia, KKBI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun