1.Membentuk kelompok ulama untuk melayani sebagai pendeta di wilayah yang lebih luas. Metode ini digunakan oleh lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan pesantren atau langgar di Jawa, daya di Aceh dan surau di Minangkabau. Mata pelajaran utama adalah Ushul Fiqh, Fiqh dan Arabiyah.Â
Situasi pelatihan seperti ini terus berlanjut dan terus berkembang hingga saat ini. Pimpinan Pergerakan Nasional menyadari bahwa pelaksanaan diklat tersebut harus diubah dan diklat nasional harus dimasukkan dalam diklat mereka. Dengan demikian, sekolah swasta muncul sebagai hasil rintisan kemerdekaan, awalnya dibentuk berdasarkan kebijakan seperti taman siswa, ksatria, sekolah, dll, yang sesuai dengan Islam atau dengan pola Islam.
 Islam Pada masa awalnya, Islam Jawa dibentuk oleh budaya Jawa dan membuat banyak kelonggaran terhadap sistem kepercayaan Hindu dan Buddha. Ini membuat Islamisasi lebih mudah,atau setidaknya tidak terlalu sulit. Para patron khususnya Wali Songo sangat mempengaruhi perkembangan Islam di pulau Jawa. Raja Kertawijaya, penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan Sunan Giri, tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama Islam asalkan dilakukan dengan sadar, dengan iman dan tanpa paksaan atau kekerasan.
b)Pada Masa Penjajahan
 Pedagang Barat datang ke Indonesia yang karakternya sangat berbeda dengan pedagang Muslim Arab, Persia, dan India. Banyak pedagang barat beragama Kristen dan melakukannya dengan kekerasan, terutama dengan teknologi senjata yang lebih baik daripada orang Indonesia. Tujuan mereka adalah menaklukan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir kepulauan Indonesia. Mula-mula mereka menjalin hubungan dagang karena Indonesia kaya akan rempah-rempah lalu mereka ingin memonopoli perdagangan.
 Saat itu, kekuatan kolonial tidak berani mencampuri urusan Islam karena mereka tidak mengenal ajaran Islam maupun bahasa Arab dan tidak mengenal sistem sosial Islam. Pada tahun 1808, pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada pemerintah agar urusan agama tidak terganggu dan para pemimpin agama diizinkan untuk memutuskan masalah perkawinan dan warisan.Â
Pada tahun 1867 campur tangan mereka terhadap instruksi penguasa dan wedana (pembantu penguasa) untuk mengontrol ulama dan tidak melanggar instruksi gubernur jenderal menjadi lebih terlihat. Kemudian, pada tahun 1882, mereka mengatur pengadilan agama hanya mengurusi perkawinan, waris, perwalian dan perwakafan.Â
Apalagi setelah datangnya Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah Islam di Indonesia, karena ia mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negara Arab, Jawa dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik Islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah Islam dalam tiga kategori:
1)Ibadah
Pemerintah kolonial memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menjalankan agamanya selama tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
2)Ranah sosial