Pendidikan Islam di masyarakat mengembangkan sistem sosial yang berlandaskan gotong royong, gotong royong, mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam pemecahan masalah, bermusyawarah dengan baik, bersilaturahmi, dan kerelaan untuk mengedepankan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai kebaikan. Kami menghargai toleransi, menghormati keragaman dalam segala bentuknya, dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan.
 Ringkasnya, pendidikan Islam sebagai wahana atau wahana penambahan nilai moral dan ajaran agama, membentuk kepribadian muslim seutuhnya dan memaksimalkan potensi manusia baik jasmani maupun rohani, juga dimaksudkan untuk mengembangkan dan menyelaraskan seluruh umat manusia dengan Allah SWT. manusia dan seluruh alam, dengan cara keharmonisan antara setiap manusia dan budaya, dan berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia untuk mencapai standar hidup yang sempurna (manusia).
Lembaga-lembaga Islam, baik formal maupun informal, memainkan peran penting dalam konstruksi dan pengembangan kearifan lokal dan sosial. Pendidikan Islam senantiasa memiliki aspek keimanan dan syariah yang mengedepankan kehidupan, kelahiran kembali dan keseimbangan, serta menghargai manusia sebagai individu yang memiliki hak dan martabat manusia serta terbuka bagi semua peradaban.
3.Posisi Islam pada Masa Revolusi di Indonesia
 Perjuangan untuk memerdekakan Indonesia dari tahun 1945 sampai 1949 dikenal dengan Revolusi Indonesia. Bekas wilayah Hindia Belanda itu dijajah Jepang saat Perang Dunia II. Tak lama setelah Jepang menyerah, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Deklarasi ini ditolak oleh Belanda (dan beberapa sekutunya), yang kembali dan berusaha menduduki kembali Nusantara dengan pasukannya. Revolusi Islam di Indonesia adalah revolusi ganda.
Pertama, mengingat Perang Kemerdekaan, kaum santri yang melawan Belanda memahaminya sebagai perjuangan untuk tujuan Islam dan mengaturnya dengan gaya Islam. Sejarah Revolusi Indonesia sarat dengan penggambaran perang revolusi sebagai perang nasionalis. Dalam semangat religius ini, hampir separuh penduduknya, Muslim yang taat, ikut serta dalam perang. Perang salib Ulama dan Kiai meyakinkan mereka bahwa mereka melakukan perang salib melawan kaum kafir kolonial.Â
Tokoh-tokoh nasional mengesampingkan unsur-unsur Islam dalam menyusun akta pendirian Indonesia, tetapi juga mengesampingkan unsur-unsur Islam "Studi tentang perang anti-penjajah negeri berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini menunjukkan bagaimana Islam berfungsi sebagai ideologi revolusi pada era modern, "Kaum muslim yang taat percaya bahwasanya perang kemerdekaan adalah perang suci, setiap korban yang meninggal pada saat perang kemerdekaan adalah syuhada, dan bentuk supranatural Islam melindungi mereka dan membantu mereka menang.Â
Keyakinan semacam itu sangat meresahkan elit politik sehingga mereka akhirnya menyatakan perang suci dan memperingatkan agar tidak mengejek kekuatan supernatural ini sebagai takhayul yang tidak Islami. Padahal visi populer tentang Islam ini terus menyebar di kalangan massa, rakyat jelata bahkan masyarakat komunitas
 Berakar secara lokal dan seringkali toleran terhadap kemampuan radikal dan supranatural, ideologi revolusioner ini bertolak belakang dengan pemikiran Islam yang tumbuh di tingkat elit. Polisi Independen Islam setuju dengan pendapat akar rumput bahwa kemerdekaan dari Belanda adalah kewajiban agama. Namun, para elit Muslim yang taat ingin membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi fondasi negara-negara maju di dunia modern.Â
Mereka menciptakan mekanisme yang dapat diputuskan dan didukung oleh negara. Mereka berusaha untuk mengabadikan hukum Islam dalam konstitusi sebagai fitur inti dari Islam. Saifulkan Angel berusia 16 tahun ketika Belanda kembali ke Kalimantan Selatan untuk merebut kembali wilayah jajahannya pada tahun 1946. Dalam menghadapi revolusi, ia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan bergabung dengan organisasi milisi lokal untuk melawan penjajah dan pasukannya.Â
Kunci keterlibatannya dengan Lasker adalah dorongan dari seorang pria bernama H. Mahuni, seorang pemuka agama setempat di pedesaan kota Marabahan. Karakter keras kepala ini mendorong pria Muslim untuk bergabung melawan Belanda, membuat mereka percaya bahwa ini adalah perang suci. Siapapun yang mati di pihak Indonesia dalam perang menjadi syahid, dan syahid tersebut akan mendapat pahala dari Allah di akhirat. "Bagi umat Islam, mereka dipandang sebagai martir yang membebaskan imannya dan membebaskan kita untuk menjalankan [Islam]," kata Saifulkan Anggay.