"Hehe, elo emang the best deh Sil." Ucapku sambil mulai melakukan ritual sarapan pagi yang disponsori oleh Sila.
"Eh Tar, bisa-bisanya sih elo enggak terima tawaran dari perusahaan Adiputra yang mau elo kerja sebagai manager di sana. Semua orang pada berdoa siang malam, tahajut tiada henti karena pengen kerja di sana. Nah elo, itu perusahaan terbaik di kota ini Tar."
Aku memandang Sila sekilas. Dari raut muka gadis itu aku tahu ada kekecewaan di dalamnya. "Sil, elo tahu kan perusahaan itu tempat magangnya Rendi dulu."
Aku memasang wajah sendu berharap Sila akan mengerti maksutku. Namun aku salah, gadis itu sepertinya shock dengan jawaban yang ku berikan.
"Apa?" Katanya dengan mata melotot seperti akan jatuh ke lantai.
"Iya Sil, gue dulu sering nganter Rendi ke tempat itu. Rendi juga sering kirim foto-fotonya di kantor itu. Kalau gue kerja di sana, gue pasti bakal inget lagi sama Rendi Sil.."
"Ya Allah ampun dah ni orang. Berapa kali musti gue bilang ke elo sih Tar? Rendi bukan jodoh elo, dia udah hianatin elo. Noh dia udah kawin noh sama sahabat elo sendiri kan, sahabat elo waktu SMA. Laki-laki kayak gitu masih elo belain."
"Gue enggak belain Rendi Sil, gue benci ama dia. Makanya gue berusaha lupain dia. Dan itu salah satu caranya."
"Elo bukan ngelupain dia Tar, tapi elo nyiksa diri elo sendiri. Ah udah ah, capek gue ngomongin masalah ini sama elo. Nih, dengerin ya. Gue ke sini mau ngasih kabar baik buat elo."
"Apa?"
"Nih perusahaan Bokap gue lagi butuh manager, menurut gue elu udah masuk spesifikasi banget . Secara elu kan lulusan terbaik. Yaa, tapi perusahaan bokap gue enggak sebagus perusahaan Adiputra sih."