"Ehh, Tuan Dirga memintaku untuk kemari. Perusahaan kami me.. ah, perusahaan kami.. ah, perusahaan kami me..."
"Tari minumlah dahulu." Rendi menyodorkan segelas air minum kepadaku. Ahh, betapa malunya diriku saat ini. Bagaimana bisa? Ahh, tidak, ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Segugup-gugupnya diriku belum pernah hal buruk seperti ini terjadi. Apa yang harus ku lakukan? Aku ingin kabur dari sini, aku ingin menghilang. Aku sangat malu.
"Terimakasih, Aim sangat menyukaimu. Anak itu merengek minta bertemu dengan tante cantiknya. Sampai dia sakit saat ini. Aku tidak tahu bagaimana mencarimu. Untunglah aku berhasil mencari tahu tentang tempat kerjamu. Dan membuat rencana ini bersama direktur perusahaanmu."
"Hahh..", ucapku kaget. Jadi ini bukan untuk pekerjaan.
"Tari maukah kau menemui Aim? Sejak tiga hari demamnya tidak turun, dia terus menanyakan mu."
Aku mengangguk mengiyakan. Rendi pun senang dengan jawaban ku. Ahh, apa yang telah ku lakukan? Bagaimana bisa aku menyetujui ini semua dengan mudah? Tapi entahlah, di hatiku saat ini hanya ada Aim. Aku tidak mungkin membiarkan anak itu dalam keadaan seperti ini. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh hati padanya.
"Mbak Tari datang..", Rika berlari menghampiriku saat aku telah sampai di rumah Rendi. Aku tersenyum membalas sambutan hangat darinya.
"Bagaimana Aim?" Kalimat pertama yang Rendi ucapkan. Aku dan Rendi ke sini dengan mobil yang sama, Rendi di belakang kemudi dan aku di sampingnya. Tapi kami tidak saling bicara.
"Badannya masih panas Mas, sejak kemarin perutnya tidak kemasukan makanan. Kondisi tubunya semakin lemas." Jawab Rika.
"Bolehkah aku menemui Aim?" Pintaku meminta izin. Ah bodohnya, bukankah Rendi membawaku kemari untuk menemui Aim. Kenapa aku malah minta izin untuk bertemu dengannya.
"Aku antar Mbak." Rika membawaku ke kamar Aim.