"Apa?" Ucapku dalam hati. Aku ingin menangis saat ini. Ternyata selama ini aku salah, Rendi tidak pernah menghianatiku.
Kenapa kau mau menerima Aim sebagaimana putramu?" Tanyaku kembali.
"Sepertimu yang menyayangi nya." Jawaban Rendi singkat. Tapi aku sangat faham apa maksudnya. Aim tidak berdosa, dia hidup sendiri.
Sejenak aku sangat salut dengan Rendi. Rasa benci dan marah yang selama ini ku rasakan untuknya kini hilang sudah. Mungkin Rendi benar, jika waktu itu dia mengatakan yang sebenarnya aku tidak akan menjadi Tari yang sekarang. Aku masih akan tetap menjadi Tari yang lemah.
"Aku harus pulang, sudah sore." Pamitku. Aku takut jika berlama-lama di sini akan menumbuhkan benih-benih yang telah terpendam.
"Aku akan mengantarmu."
"Ah, ah ti tidak tidak perlu. Mobil ku di kantor. Aku bisa ke sana naik taksi online. Aim membutuhkan mu." Ucapku gagap jantungku berdetak kencang
*****
Sejak saat itu Rendi sering membawa Aim menemuiku. Kami bertiga jadi sering menghabiskan waktu bersama. Aku sering menolak saat Rendi mengajakku tapi wajah polos Aim membuatku tidak bisa menolak. Apalagi bocah kecil itu semakin pintar, dia akan merengek dan menangis jika aku tidak menuruti permintaannya.
Mau tidak mau aku semakin sering bertemu Rendi. Meskipun tanpa terasa pelan-pelan rasa cinta di hatiku tumbuh kembali. Tapi tenang, aku bisa menahannya. Ini semua untuk Aim. Rendi pun melakukan nya pasti juga untuk Aim.
"Ciee, ada yang CLBK ni yee.."