Degg, jantungku seperti berhenti berdetak. Apa yang Rika katakan? Aina telah meninggal. Dan aku tidak mengetahuinya aku sama sekali tidak tahu tentang berita ini. Sahabat macam apa aku  ini.
"Sejak bayi Aim dibesarkan seorang diri oleh Mas Rendi." Imbuh Rika.
Sampai di apartement, aku segera membuka laptop. Membuka sosial media yang tiga tahun ini tidak pernah ku aktifkan. Ya, untuk bangkit dari keterpurukan ini adalah cara yang ku pilih. Menonaktifkan semua sosial media serta mengganti nomor ponselku. Hingga aku tidak memiliki akses lagi untuk kehidupan masa lalu.
"Ya Allah..", seruku sambil menangis. Saat melihat berita meninggalnya Aina sekitar dua tahun lalu di grup SMA. Banyak sekali berita tentang meninggalnya Aina. Aina meninggal karena pendarahan setelah melahirkan. Teman-temanki berusaha menghubungiku, melalui inbox semua sosial mediaku, tapi aku tidak tahu sama sekali.
Aku menangis sesenggukan. Menyesali semua yang telah terjadi. Aku sedih, Aina adalah sahabatku. Banyak sekali kenangan seru dan manis yang kami ciptakan berdua. Tapi kini dia telah pergi. "Aina maafkan aku, tiga tahun ini aku sangat membencimu." Sesal ku.
***
Beberapa waktu berlalu. Rasa sesal untuk Aina masih tetap ada. Hanya doa yang bisa ku lantunkan untuk membayar rasa benci ku selama ini kepadanya.
"Ibu silakan masuk, Bapak sudah menunggu di dalam." Ucap sekertaris direktur perusahaan Widyatama. Atasan ku memintaku kemari untuk sebuah pekerjaan.
Aku masuk ke ruang direktur sambil membawa laptop dan beberapa berkas. Ku buka pintu perlahan sambil mengucap salam. Setelah mendengar balasan salam aku mulai masuk perlahan.
Betapa terkejutnya saat ku lihat Rendi duduk di sebuah kursi besar, kursi yang biasa dipakai oleh direktur. Jadi Rendi adalah direktur perusahaan ini. Bisa jadi, aku tidak banyak mendengar tentang perusahaan ini.
"Silakan duduk Tari." Ucap Rendi. Aku menjadi salah tingkah sekarang. Jantungku berdegup sangat kencang. Bagaimana aku bisa bekerja sekarang?