6. Mencuri Pandang
Aroma pagi yang sejuk menyeruak ke setiap celah sudut kamar Nivea. Dirinya sudah bangun sejak sepuluh menit yang lalu dan kini dia sedang memandang ke halaman samping yang menghadap kamarnya. Nivea berdiri, menyandarkan setengah bagian tubuh depannya pada dinding jendela yang telah dibukanya lebar-lebar. Pohon holly di sekeliling taman tampak berayun gemulai mengikuti arah angin.
"Selamat pagi nona. Ah, kau merusak sendok teh ini, nona?" ucap Seri kemudian setelah menghampiri keberadaan nampan yang semalam dibawakannya untuk gadis itu.
"Aku tidak sengaja, Seri." jawabnya tanpa menoleh kepada Seri.
"Tidak masalah, nona. Kita masih punya banyak persediaan sendok."
"Air hangatku sudah siap, Seri?"
"Tentu nona. Selagi Anda mandi, Saya akan merapikan kamar Anda dan menyiapkan gaunnya."
Sekian menit berlalu.
"Jangan Seri! Jangan kau sanggul rambutku!"
"Ya nona?"
"Kau bisa... mengikat rambutku setengah bagian saja?"
"Maksud Anda, setengah bagian atas saja yang Saya ikat, nona?"
"Benar Seri, biarkan sisanya terurai ke bahuku!"
"Saya mengerti nona."
Kedua tangan Seri telah menyelesaikan tugas menata rambut nonanya. Gadis itu juga menambahkan pita berwarna kuning yang senada dengan gaun yang dikenakan Nivea hari ini. Sementara Nivea masih memandangi wajahnya di cermin.
"Sudah cukup, nona? Apa... Anda merasa pekerjaan Saya kurang rapi?"
"Ah, tidak Seri! Ini sudah cukup. Kita pergi sekarang."
Duchess Elvira membuka pintu kamar anak gadisnya tepat di saat Nivea melangkah ke arah pintu dan hendak membukanya dari dalam.
"Astaga Ibu! Kau mengagetkanku."
"Oh, maaf anakku. Kau akan pergi sekarang?"
"Ya Ibu."
"Aku hanya ingin... mengingatkan agar kau dapat tiba lebih awal di rumah. Kau.. tidak lupa kan? Semalam kau mengatakan akan ikut dengan kami pergi ke istana."
"Tentu Ibu, mana mungkin aku melupakannya. Aku akan pulang lebih awal."
"Jaga dirimu Nak! Semoga harimu menyenangkan."
"Baik Bu. Selamat tinggal." Nivea sedikit membungkuk ke hadapan Ibunya dan berlalu pergi diikuti Seri yang sempat tersenyum mengangguk ke hadapan duchess Elvira.
Wanita cantik berusia lima puluhan itupun kembali menutup pintu kamar Nivea dan kembali melakukan kegiatannya sendiri.
"Anakmu sudah pergi Elvira?"
"Dia anakmu juga." jawabnya datar seraya mengambil posisi duduknya di kursi makan.
Duke Eduardo menghela nafas, "Dia begitu sering melewatkan sarapan bersama dengan kita. Aku merasa... kita seperti tidak mempunyai anak. Kenapa dia semakin sulit diatur?"
"Kau menyalahkanku? Apa ucapanmu berarti... kalau aku tidak bisa mendidiknya dengan benar?"
"Hahaha. Kau tersinggung Elvira? Aku hanya bertanya dan mungkin... aku sekedar mengeluh."
"Lebih baik kita mulai sarapannya sekarang. Kau juga harus segera berangkat melakukan pekerjaanmu."
"Hmm. Baiklah!" sambil menggeleng pria itu menepis pikirannya yang masih tertuju pada kelakuan anak gadisnya.
Sementara itu Nivea dan Seri sedang menikmati perjalanan mereka ke toko rotinya pagi ini. Sesekali Nivea terlihat membentuk lengkungan di sudut bibirnya setelah menatap beberapa kali keluar jalan.
"Tampaknya suasana hati Anda sedang baik, nona?"
"Apa aku terlihat begitu, Seri?"
"Tentu! Anda sering tersenyum sejak tadi."
"Ah, kau memperhatikanku ya?"
"Hahaha. Tidak juga nona. Hanya saja... Saya tidak sengaja menangkap basah senyum Anda beberapa kali."
"Baiklah! Entah kenapa hari ini... aku merasa begitu bersemangat pergi ke toko."
"Apa mungkin... sebenarnya Anda sudah tidak sabar untuk datang ke istana nanti malam?"
"Apa? Apa yang kau katakan, Seri? Huh, justru dengan mengingat hal itu, aku jadi tidak bersemangat menjalani hidup."
"Ah, Anda jangan bicara seperti itu, nona. Tersenyumlah nona! Tersenyum saja meski Anda tidak tahu hal apa yang membuat suasana hati Anda menjadi baik."
"Hahaha. Kau bercanda, Seri!"
"Tidak nona. Tentu Saya lebih senang melihat Anda tersenyum tanpa alasan, dibandingkan jika... Saya harus menyaksikan Anda bersedih atau marah-marah. Saya sudah cukup lama hidup berdampingan dengan Anda."
Nivea mengedipkan matanya, mengalihkan pandangannya dari jendela kecil itu kepada Seri.
"Aku tahu Seri. Terima kasih untuk semua hal yang kau lakukan selama ini untukku. Kau bukan hanya banyak membantuku, tapi... kau seperti sahabat dan saudara perempuan bagiku."
"Ah nona, Anda mengaduk emosiku pagi ini." dengan punggung tangannya Seri menyeka setitik air di sudut matanya. Gadis itu terharu mendengar ucapan nonanya.
Setibanya mereka di toko roti yang terletak di pusat kota yang cukup strategis itu, tentunya mereka langsung mengerjakan tugasnya masing-masing. Hingga waktunya tiba pembukaan operasional toko.
Pelanggan mulai berdatangan silih berganti, membawa roti-roti serta limun pilihan mereka dalam kantung kertasnya masing-masing. Kursi pelanggan yang ada di dalam toko juga sudah mulai terisi oleh pelanggan yang memilih menikmati kudapannya di tempat saja.
"Selamat siang, nona Nivea." lelaki yang mengenakan setelan jas hitam khas tahun itu, telah berdiri dengan sedikit membungkuk di hadapan Nivea. Menyapa sopan gadis itu di balik etalase rotinya.
Nivea yang sedang menunduk pun sontak mendongak ke arah lelaki itu.
"Ah, kau rupanya. Selamat siang, tuan.. Matias."
"Bolehkah jika aku duduk disana, menikmati rotimu dengan secangkir teh?" Matias mengarahkan pandangan Nivea kepada jajaran kursi pelanggan yang tampak masih kosong.
"Ah, tentu boleh tuan! Jika kau membeli rotiku... itu berarti kau adalah pelangganku. Aku... tidak mungkin tidak mengizinkanmu untuk duduk disana."
Lelaki itu tersenyum tipis dengan sebelah tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Memandang teduh wajah Nivea. Dan yang dilakukannya itu telah membuat Nivea menjadi cenderung bodoh, seperti hendak salah tingkah.
"Jadi... kau mau roti apa, tuan? Dan apa kau juga memesan teh?" pertanyaan yang dilayangkan gadis bergaun kuning itu membuyarkan lamunan Matias.
"Ah, ya.. Aku.. aku suka roti dengan selai cokelat di dalam. Tampaknya aku harus memesannya dua buah. Dan secangkir teh chamomile."
"Ah, baiklah! Teh chamomile sangat baik untuk pencernaan Anda, tuan. Kau memilih minuman mu dengan bijak."
Kedua mata cokelat lelaki itu masih terus memandangi Nivea yang sedang menyiapkan semua pesannanya. Dirinya memilih tak bersuara, dia tak ingin mengacaukan konsentrasi Nivea.
"Ini milikmu, tuan! Ada beberapa kursi kosong disana dan... kau tentu bebas memilih ingin duduk di kursi yang mana." dengan kedua tangannya Nivea menghadirkan sebuah nampan kayu yang berisi semua pesanan Matias di atas meja pemesanan itu.
Kedua tangan lelaki itupun meraih nampannya, "Tentu nona. Terima kasih. Aku akan duduk di kursi dengan posisi yang paling baik menurutku."
"Hah? Apa? Bukankah semua kursi itu sudah ku tata dengan posisi yang baik?" tanya Nivea membulatkan kedua matanya.
"Hahaha. Hanya saja, maksudku... Sudahlah! Jangan kau pikirkan nona! Aku permisi dulu." seraya kedua tangannya membopong nampan tadi ke meja yang dipilihnya di sudut ruang sana.
"Ah, coba lihat siapa itu yang duduk disana nona!" Seri menghampiri Nivea yang telah kembali pada posisi lurusnya menghadap ke pintu masuk toko.
"Siapa maksudmu? Apa kau membicarakan tuan Matias?"
"Aku rasa pemuda itu sengaja duduk menghadap kemari agar..."
"Agar apa Seri?"
"Agar dia bisa menikmati rotinya sambil sesekali mencuri pandang pada Anda."
"Hentikan leluconmu, Seri! Sebaiknya kau kembali ke dapur jika kau hanya akan mengatakan yang tidak-tidak."
"Baiklah nona. Saya akan diam saja."
Dan apa yang dikatakan oleh Seri memanglah suatu kebenaran. Lelaki yang sedang menyesap secangkir teh hangatnya itu sudah beberapa kali mencuri pandangannya kepada Nivea.
7. Pangeran Edmund
 Matias melangkah memasuki kamarnya, melepas jas hitam yang tadi dikenakannya. Dia melempar tubuhnya ke ranjang, terlentang menatap langit-langit kamarnya. Menghela nafas dan terbayang dalam ingatannya, tentang seseorang yang dia temui siang tadi di toko roti.
"Apa menyukai seseorang butuh alasan?" dirinya bicara sendiri bertanya akan hal itu. "Apa sebaiknya aku utarakan saja perasaanku padanya?"
Suara ketukan pintu disana, menghentikan sesaat otaknya yang sedang bekerja.
"Masuk!"
Seorang pelayan laki-laki melangkah menghampiri Matias yang kini duduk di ujung ranjang.
"Ada apa Rob?"
"Anda kedatangan tamu, tuan. Tuan Daniel datang mencari Anda."
"Baiklah! Aku akan keluar. Terima kasih Rob."
Matias mengusap ke belakang, rambut depannya yang sudah hampir menutupi dahi. Dia pun bangkit dari duduknya, hendak keluar dari kamar itu untuk menemui tamunya. Dan ketika Matias menghampirinya ke teras depan, tamu itu sedang berdiri di bawah pohon cherry dan mengayunkan salah satu tangkai daunnya disana.
"Apa yang kau lakukan disana Daniel? Kemarilah!" Matias setengah berteriak memanggilnya dari jauh.
Sahabatnya itu hanya tersenyum kemudian melangkah kian mendekat. Sedangkan Matias telah duduk lebih dulu di kursi yang ada.
"Pohon cherry itu tampak sangat terawat. Berdiri di bawah sana... rasanya sangat teduh." ucap lelaki bermata abu-abu itu kepada Matias. Dirinya juga sudah duduk di kursi santai itu.
Lalu hadir seorang pelayan wanita yang membawakan kudapan ke tengah mereka.
"Terima kasih, bibi Puff." ucap Matias ramah diiringi senyum tipis. Membuat pelayannya itu mengangguk ringan.
"Minumlah Daniel, teh buatan bibi Puff sangat nikmat." seraya mengangkat cangkirnya sendiri dan mulai menyesapnya.
"Benarkah?" Daniel pun ikut meraih cangkir miliknya dan meminumnya sedikit, "Kau benar! Bagaimana bibi Puff membuatnya?"
"Hmm. Entahlah! Hanya dia yang tahu. Oh ya, kau kesini untuk menemuiku atau...?"
"Kau jangan bercanda Matias! Kau selalu menggodaiku dengan adikmu."
"Hahaha. Baiklah!"
"Tapi sepertinya, aku datang di waktu yang kurang tepat. Kau tampak sangat lelah, Matias."
"Ah, tidak! Aku memang belum lama tiba di rumah. Tapi, kau datang saat aku sedang bersantai."
"Tapi kira-kira, apa yang sedang dilakukan Martha sekarang?"
"Hahaha. Kau ini Daniel! Kau boleh masuk dan mencarinya di dalam."
"Ah, tidak Matias. Aku hanya berbasa-basi. Dulu Martha teman sekelasku, kau juga tahu itu."
"Benarkah kau hanya berbasa-basi? Sekedar ingin mengetahuinya?"
"Ya, ku pikir begitu."
"Pohon cherry itu, Martha yang mengurusnya. Dia sangat perhatian pada semua tumbuhan yang ada di sekitar rumah ini. Dia juga menyewa tukang kebun yang handal."
"Ah, dia calon istri yang baik."
"Apa katamu?"
"Hah? Tidak Matias! Hahaha. Maafkan aku. Lalu, apa kau pernah bertemu dengan Rodrigues? Aku sulit menemuinya akhir-akhir ini."
"Tentu aku bertemu dengannya. Beberapa hari yang lalu, aku membawanya ke perkebunan. Dia akan melakukan penelitian terhadap anggur di wilayah ini. Dan aku berusaha membantunya."
"Benarkah? Ah, tampaknya dia cukup sibuk dengan studinya."
"Kakak.. Dimana rotiku?" suara nyaring Martha memecah perbincangan antara dua orang pemuda disana. Gadis itu melangkah dari arah dalam mencari keberadaan kakaknya di halaman depan. "Ah, kau disini Daniel?"
"Oh. Kau Martha. Aku sudah cukup lama tidak berbincang dengan kakakmu, jadi.. Jadi aku kemari. Hahaha. Benar kan, Matias?"
"Hmm. Itu benar! Apa yang kau lakukan disini Martha?"
"Mana roti pesananku?" sebelah tangannya menadah ke hadapan sang kakak.
"Roti? Roti apa? Astaga! Aku benar-benar tidak ingat. Maafkan aku Martha."
"Kau ini! Apa kau tidak jadi ke toko roti milik nona Nivea?"
"Aku kesana. Tentu aku pergi kesana. Tapi, aku langsung pulang setelah menyantap rotiku. Aku benar-benar tidak ingat membelinya untukmu."
"Huh. Bagaimana bisa kau begitu?" ucapnya dengan wajah cemberut. "Kalau begitu, aku permisi ke dalam dulu, Daniel." dengan senyum tipis gadis bergaun biru itu berlalu kembali ke dalam rumah.
***
Nivea telah menukar gaun kuning yang tadi pagi dikenakannya ke toko, dengan gaun berwarna hijau. Seri juga sudah selesai menata rambutnya dengan model sanggul yang pantas untuknya menghadiri undangan makan malam di istana. Nivea bangkit dari kursi meja riasnya, melangkah anggun menghampiri kedua orang tuanya yang menunggu di ruang tamu kediaman mereka.
"Ayo kita pergi sekarang! Ah, biarkan Seri ikut bersamaku. Dia akan menemaniku di kereta."
"Hmm. Baiklah! Terserah kau saja, Nivea." jawab sang Ayah.
Dan kemudian mereka pergi dengan kereta kudanya masing-masing. Nivea bersama Seri menggunakan keretanya yang dikemudikan tuan Willy. Sedangkan duke Eduardo dan duchess Elvira pergi menggunakan keretanya yang lain. Kereta mereka beriringan menuju ke istana yang terletak di sisi barat kota itu.
Dengan sangat baik keluarga kerajaan itu menyambut tamu undangannya yang telah melangkah, memasuki ruang utama dalam bangunan istana itu.
"Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia baginda raja dan keluarga." dengan sedikit membungkuk duke Eduardo memberi salam hormatnya di hadapan baginda raja dan permaisuri. Tak ketinggalan tampak pangeran serta tuan putri di balik tubuh permaisuri.
Begitupun duchess Elvira dan putrinya yang sedikit membungkuk mengikuti gerakan duke Eduardo. Sedangkan pelayan pribadi yang dibawa Nivea, menunggu di halaman depan istana bersama para kusirnya.
Baginda raja mempersilahkan keluarga itu menuju meja makan yang berada di bagian tengah istana. Para pelayan istana sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna untuk menjamu tamu istana malam ini. Hingga tiba waktunya mereka menikmati jamuan makan malam itu dengan khidmat. Dan ketika tampaknya semua orang yang ada di meja makan telah selesai dengan makanannya masing-masing, baginda raja mulai membuka perbincangan.
"Apa kalian menikmati suguhan kami, duke Eduardo?"
"Tentu yang mulia, sungguh kehormatan besar bagi kami dapat menikmati suguhan istana malam ini."
"Syukurlah kalau begitu. Aku juga sangat berterima kasih karena kau sekeluarga telah sudi menghadiri undangan dari kami. Dan... aku harus menyampaikan suatu hal yang menyangkut anak-anak kita."
Suasana di meja makan yang super mewah itu tampak mulai menegang. Terlebih Nivea, jantungnya berpacu lebih cepat. Rasanya dia ingin meronta. Gadis itu menelan ludah mendengar kalimat akhir yang diucapkan baginda raja.
"Baiklah baginda raja. Kami akan mendengarkan hal... yang akan Anda sampaikan."
"Edmund, katakanlah sendiri apa yang ingin kau katakan!"
"Hah? Ya, yang mulia?" sang pangeran tersentak kaget ketika ayahnya tiba-tiba saja menodong dirinya untuk berbicara di hadapan semua orang yang ada disana.
"Ayo Edmund, bicaralah!"
Pangeran Edmund menghela nafas dan mulai membuka kalimatnya, "Duke Eduardo, Saya.. Saya menyukai anak gadis Anda."
Hening untuk sekian detik.
Nivea membelalakkan kedua matanya, dia semakin ingin pergi dan berlari karena mendengar hal itu.
"Saya berniat untuk... melamar nona Nivea."
"Tidak pangeran!" pertahanan Nivea akhirnya runtuh. Dia sampai lupa diri, sedang berada dimana dirinya sekarang.
"Nivea!" sang ayah melayangkan teguran dengan nada rendah seraya mengedipkan kedua mata birunya kepada anak gadisnya disana.
"Maafkan aku Ayah. Aku hanya belum siap menerima lamaran dari siapapun." dengan gemetar Nivea menanggapi teguran ayahnya.
"Ah, nona Nivea. Saya.. Saya memohon maaf jika perkataan Saya membuat Anda terkejut. Tapi, Saya harap Anda mau memikirkan jawabannya. Karena Saya tidak akan menghentikan niat Saya untuk memperistri Anda, nona."
Nivea berdecih pelan, setengah menggelengkan kepalanya mendengar ucapan pangeran Edmund.
"Maaf... jika Saya harus mengatakan ini, pangeran. Bukankah... calon pendamping Anda harus dipilih secara adil dalam acara pesta para gadis di negeri ini? Rasanya... sikap yang Anda ambil itu, tidak adil bagi banyak orang."
Semuanya terdiam kembali sesaat.
"Ah, kau memang cerdas nona Nivea. Mungkin Edmund lupa akan hal itu... atau dia hanya berpura-pura melupakan pesta para gadis. Tampaknya, dia terburu-buru dengan memilih secara objektif."
Mendengar yang diucapkan ayahnya, pangeran Edmund menahan amarah dan rasa malunya di hadapan yang lain. Dia berusaha menyanggah kalimat ayahnya.
"Aku tidak terburu-buru yang mulia baginda raja, aku sudah cukup lama mengenal nona Nivea."
"Benarkah? Anda sudah cukup lama mengenal Saya? Apa Anda bisa memahami banyak kelemahan dan sifat buruk Saya? Meski mengenal, Saya rasa... banyak hal yang belum Anda ketahui tentang diri Saya."
Duke Eduardo menelan ludah mendengarnya, beliau memilih menghentikan semua kekonyolan yang diperbuat Nivea.
"Lebih baik, kami pergi sekarang yang mulia baginda raja. Saya benar-benar memohon maaf untuk semua yang telah diucapkan oleh anak kami."
"Tidak tidak.. Tidak masalah, tuan Eduardo. Mereka masih begitu muda dan memiliki emosi yang sulit mereka kendalikan. Aku yang seharusnya memohon maaf karena sudah membuat anak Anda terkejut dengan lamaran itu."
8. Â Nivea dan Duke Eduardo
Yang mulia baginda raja menghela nafas, "Seharusnya Edmund lebih dulu mendekati gadis itu. Kenapa dia begitu percaya diri, mengatakan hal semacam itu di hadapan kita semua?" Lelaki bertubuh tinggi tegap itu masih saja mondar-mandir di depan istrinya. Kini keduanya sedang berada di ruang baca istana.
"Bisakah kau tenang dulu, Jacob? Sedari tadi ku lihat kau tidak bisa diam. Duduklah!"
Beliau tak menghiraukan ucapan permaisuri dan masih saja mondar-mandir dengan kedua tangannya terkait di belakang.
"Aku sangat menyayangkan sikap nona Nivea. Sebagai seorang raja, sejujurnya harga diriku terluka. Tapi aku, tak boleh melihat hal ini hanya dari satu sisi. Aku harus melihatnya juga, dari sudut pandang gadis itu. Aku mengerti... dia sangat terkejut dengan semua yang disampaikan Edmund. Hanya saja, nona Nivea... Dia tampak tak bisa menahan diri. Dia sungguh tak bisa berbohong, anak itu terlihat sangat jujur. Dengan telak dia menolak saat Edmund mengatakan akan melamarnya."
"Edmund menyukai nona Nivea sejak mereka sama-sama mengikuti latihan memanah tiga tahun lalu."
"Apa? Jadi sejak saat itu Edmund menaruh hati padanya?"
"Ya. Kau juga tahu, gadis itu satu-satunya anak perempuan yang mengikuti latihan memanah di halaman konsulat."
"Benar! Aku ingat. Dia memang gadis yang selalu ingin melakukan sesuatu diluar jalurnya. Duke Eduardo juga pernah mengatakan padaku... masa-masa ketika anak gadisnya itu berambisi membuka toko roti dan hendak menjalankannya sendiri."
"Aku rasa, Edmund menyukai nona Nivea karena... Ya, dia gadis yang ceria dan tampak apa adanya."
"Lantas, kenapa tidak sejak dulu Edmund mendekatinya?"
"Gadis itu sangat sulit didekati."
"Apa Edmund benar-benar sudah pernah mencoba mendekatinya?"
"Tentu! Dan... tentu saja tidak berhasil."
"Dan Edmund memanfaatkan posisiku sebagai raja untuk memikat gadis itu? Cih, bagaimana bisa putramu berpikiran sepicik itu?"
"Edmund juga putramu, Jacob!"
"Dalam hal ini aku kecewa padanya. Dimana letak kesalahanku dalam mendidiknya sebagai seorang lelaki?" beliau menggeleng keheranan bertanya pada dirinya sendiri.
Sementara di ruangan berbeda di dalam istana.
"Ada apa Nicole?"
"Kau lihat Kakak, bagaimana gadis itu menjatuhkan harga dirimu? Dia pikir siapa dirinya? Dia hanya putri dari seorang duke. Dan dia berani mempermalukanmu di hadapan kita semua. Sebagai adikmu, aku merasa ikut terinjak."
Tampaknya, seorang tuan putri sedang mengobarkan api amarah di dalam dada kakak laki-lakinya. Sebelum pergi tidur, sempat-sempatnya putri Nicole menghampiri pangeran Edmund di dalam kamarnya. Gadis berambut pirang itu mencari pendukung atas unek-unek yang menyesakkan dadanya sejak makan malam bersama hari ini.
"Hmm! Biarkan saja Nicole. Kita lihat saja nanti, apa yang akan terjadi selanjutnya."
"Kau merencanakan sesuatu, Kakak?"
Pangeran Edmund mengangkat bahunya, "Entahlah! Untuk saat ini aku belum memikirkannya."
"Kau masih menyukainya, meski dia telah menghinamu?"
"Ya. Bagiku, sejak dulu Nivea adalah gadis yang menarik. Dia sangat unik dan... dia memang cukup sulit dimiliki. Dia juga... membuatku menjadi seseorang yang tampak bodoh."
"Cih, lebih baik kita segera mengadakan pesta para gadis untuk memilih pendamping yang cocok untukmu. Aku sudah muak dengan gadismu itu." dengan bersedekap dada, putri Nicole melengos pergi dari kamar sang kakak.
***
"Apa yang kau maksud dengan menjaga martabatku di hadapan baginda raja, Nivea? Kau memang hadir dalam undangan itu tapi kau... tetap saja mempermalukan aku dan Ibumu. Aku menyesal dengan keputusanmu untuk ikut dengan kami, tanpa ku pikirkan lagi seribu kali."
"Kau malu memiliki anak sepertiku, Ayah?"
"Bukan begitu anakku!" duchess Elvira menyanggah pertanyaan itu.
"Sebaiknya kau tidak ikut bicara, Elvira!"
Wanita yang duduk di sofa panjang itu langsung merapatkan bibirnya, memandang lemah kepada putrinya.
"Baiklah! Sekarang kau ingin aku melakukan apa, Ayah? Agar setidaknya kau mau memaafkanku."
Duke Eduardo menggeleng, lalu menopang kepalanya dengan kedua tangan di atas meja kerjanya. Beliau menunduk sesaat tak ingin melihat Nivea yang masih berdiri di hadapannya.
"Pergilah Nivea! Masuk saja ke kamarmu!" ucapnya datar tanpa mendongak kepada Nivea.
Nivea menghela nafas disana, "Baiklah Ayah! Aku benar-benar memohon maaf kepadamu dan kau Ibu. Beginilah adanya diriku. Aku harap kalian dapat memakluminya."
"Apa anak itu sadar dirinya sudah melukai perasaan banyak orang? Bahkan sikapnya tadi... sama saja dengan menginjak kepalaku." sang ayah kembali membuka mulut ketika Nivea telah menutup kembali pintu ruangan itu dari luar.
"Kau berlebihan Eduardo!"
"Kau selalu membelanya, Elvira!"
"Aku yang melahirkannya. Kalau bukan aku yang membelanya, kepada siapa dia harus meminta perlindungan?"
"Dan kau membela anakmu yang melakukan kecerobohan?"
Duchess Elvira menelan ludah, berpikir sekian detik untuk menjawab pertanyaan itu.
"Aku pikir... Itu bukan kecerobohan. Anak gadismu adalah seorang gadis yang sangat jujur. Bahkan dia tak tahu bagaimana caranya berbohong. Dan aku rasa, dia hanya berusaha jujur untuk mengatakan yang sebenarnya. Tentang apa yang dirasakannya. Meskipun caranya... Ya, aku tahu dia telah mempermalukan pangeran Edmund di hadapan kita semua. Tapi seandainya saja tadi, pangeran tidak membahas soal lamaran. Pasti Nivea, juga tidak akan bersikap seperti itu di hadapan semua orang. Aku juga yakin dirinya sudah berusaha menahan diri, hingga akhirnya dia terkejut saat pangeran mengucapkan kata melamar."
"Aku mengerti Elvira. Kau memang jauh lebih memahami dirinya dibandingkan dengan aku. Terkadang aku merindukan gadis kecilku... yang manis dan penurut."
Kemudian wanita itu menghampiri suaminya, merangkul dan mengusap lembut sebelah bahunya. Berharap sentuhan itu ampuh memberinya sedikit ketenangan. "Beristirahatlah suamiku! Kau bisa sakit kepala kalau terus memikirkan kejadian tadi. Aku rasa baginda raja dapat berpikir bijaksana mengenai kejadian tadi."
Malam kian larut, kini Nivea masih saja berendam dengan air hangat di dalam bathtubnya. Padahal, Seri sudah memanggilnya beberapa kali untuk keluar dari kamar mandi. Tapi percuma saja, Nivea terus menjawab "sebentar lagi" ketika mendengar panggilan Seri.
Pelayan pribadinya itu begitu setia menunggunya, hingga saatnya Nivea telah terlihat keluar dari dalam sana, dia bergegas ke dapur membuatkan nonanya secangkir teh chamomile hangat.
Tak butuh waktu lama, Seri pun telah kembali ke hadapannya.
"Saya harap, Anda tidak merusak sendok teh lagi, nona." seraya meletakkan nampan kayu yang dibawanya ke atas nakas.
"Huh, tenang saja Seri! Bukankah kau bilang... kita masih punya banyak persediaan sendok?"
"Tentu nona! Tapi bukan berarti sendok-sendok itu disediakan untuk Anda rusak."
"Hahaha. Kau sungguh cerdas Seri! Beristirahatlah! Aku juga akan segera tidur setelah menghabiskan teh ini."
"Baiklah nona. Selamat malam."
Setelah menghabiskan secangkir tehnya, tentu saja Nivea berusaha melupakan semua kejadian hari ini. Agar dirinya dapat segera tidur dengan mudah, tanpa harus kesulitan memejamkan matanya.
9. Wajah Pucat Nivea
"Selamat pagi Ayah, Ibu."
Duke Eduardo tertegun mendapati anak gadisnya yang melangkah kian mendekat menghampiri dirinya dan sang istri di meja makan. "Pagi Nivea."
"Selamat pagi, anakku." timpal duchess Elvira.
Dengan mengangkat sedikit bagian depan gaun merah mudanya, Nivea berhati-hati menjatuhkan dirinya di kursi makan.
"Kenapa kau belum berangkat, Nivea?"
"Aku sedikit bersantai saat bangun tadi. Membuka toko sedikit lebih siang, tampaknya... tidak masalah, Ibu."
"Ya. Baiklah! Ayo kita mulai sarapannya."
"Kenapa kau diam saja, Ayah? Apakah kau... masih marah padaku?"
Lelaki yang duduk di kursi utama itu menyunggingkan senyuman tipis kepada putrinya, "Sudahlah Nivea! Kita lupakan dulu hal itu sejenak. Makanlah! Jika nanti toko rotimu ramai, kau tidak akan bisa makan tepat waktu."
"Hmm. Aku mengerti Ayah."
Nivea memutuskan untuk sarapan bersama orang tuanya pagi ini, sebagai bentuk permohonan maafnya atas kejadian kemarin malam di istana. Meski sebenarnya, setelah merenungi tentang kejadian itu, Nivea tetap tidak merasa bersalah. Dirinya merasa sudah melakukan hal yang paling benar, meski begitu di lain sisi dia menyadari sikapnya yang apa adanya itu telah cukup melukai harga diri orang-orang yang hadir disana. Dan baginya hal itu bukanlah suatu kesalahan.
Gadis itu hanya sebatas menyadari sikapnya yang tidak sopan, tanpa merasa menyesal sedikit pun telah bertindak seperti itu. Sekalipun yang dihadapinya adalah seorang penguasa negeri itu.
Menit demi menit berlalu, Nivea dan Seri telah tiba di toko rotinya. Mentari pagi yang hangat, sinarnya mulai menusuk menyilaukan mata. Nivea mulai membuat adonan roti yang baru, untuk menambah persediaan roti-roti yang sudah tersedia di etalasenya. Dan tentunya roti-roti tersebut memiliki kualitas yang baik sehingga masih pantas dijajakan disana.
Sementara Nivea sibuk dengan adonannya, dia meminta kepada Seri untuk berjaga di meja pemesanan. Karena beberapa menit yang lalu, setelah David selesai membersihkan area meja pelanggan, Nivea langsung membuka operasional tokonya.
"Clara, aku sangat haus. Bisa tolong kau ambilkan aku sebotol limun di depan?"
"Baik nona. Tunggu sebentar." sahut gadis yang mengenakan apron dapur itu. Dirinya sudah menjadi pekerja Nivea sejak awal toko roti itu didirikan.
Lalu setelah mengambilkan sebotol limun dan gelas untuk nonanya, Clara kembali menghampiri Nivea yang sedang berdiri sambil mengaduk adonannya di atas meja.
"Ini limun Anda, nona."
"Letakkan disitu! Terima kasih Clara."
Clara pun mengangguk dengan senyumnya yang tulus. Sekejap saja dirinya menghilang, dia baru ingat untuk membawakan alat pembuka botol untuk Nivea. Namun ketika dirinya kembali dengan alat itu, dia cukup terkejut.
"Ah, nona. Kau sudah meminumnya?" gadis itu melongo mendapati Nivea yang cukup sembrono menenggak langsung limunnya dari dalam botol. Dan kalimatnya itu membuat Nivea tersentak kaget.
"Ah.. Itu. Hahaha. Maaf kalau aku tidak sopan. Aku malas menuangnya ke gelas."
"Hmm.. Tapi, maksud Saya... bukan itu nona. Bagaimana cara Anda membuka tutup botol yang masih bersegel itu? Bukankah botol tadi harus dibuka menggunakan alat? Kita tidak menjual limun dengan model botol yang tutupnya mudah diputar, nona."
Sesaat Nivea terdiam, menelan ludah. "Benarkah? Aku.. Aku juga tidak ingat bagaimana caraku membukanya tadi. Iya.. Aku tidak ingat. Hahaha. Ayolah Clara, kembali pada pekerjaanmu!" Nivea berkacak pinggang.
"Ba.. baik nona." dengan wajah keheranan Clara menjawabnya terbata.
Dua jam kemudian Nivea telah memasuki area depan tokonya sambil membopong nampan kayu berisi beberapa buah roti manis.
"Susun ini, Seri!" titahnya menyerahkan nampan itu ke tangan Seri. Dia pun berdiri di balik meja pemesanan, menggeser Seri yang sejak tadi berada disana.
Ketika pelayan pribadinya itu sedang melakukan perintahnya, Nivea kedatangan pelanggan. Gadis itupun sigap menyambut dan melayani.
"Selamat Siang tuan Matias." seraya sedikit membungkuk menghormati tamunya.
"Ah, siang nona.. Yang cantik."
"Apa? Hahaha. Anda sungguh pandai berbasa-basi tuan."
"Tidak, itu bukan hanya basa-basi nona. Tapi, aku mengatakan yang sebenarnya."
"Benarkah? Baiklah kalau begitu. Kau ingin roti dengan selai cokelat di dalam?"
"Hahaha. Kau membuatku tertawa, nona Nivea."
"Ya? Apa maksud Anda?"
"Kau mulai menghafal roti favoritku."
"Tapi, aku memang cukup hafal roti favorit pelangganku. Hal itu sangat mudah diingat, tuan. Jika seorang pelanggan datang, lalu kembali untuk beberapa kali dengan pesanan yang sama, bukankah... itu artinya mereka menyukai roti tertentu?"
"Ah, tentu nona! Anda tidak salah. Aku hanya... Oh, maaf nona aku merasa wajah Anda sedikit pucat. Apa Anda kurang sehat?"
"Apa??? Ah, itu benar nona! Tampaknya Anda sakit." Seri buru-buru mendekat kepada Nivea ketika mendengar kata pucat terucap dari mulut lelaki itu.
"Ah, tapi aku tidak merasa sakit, Seri."
"Tapi semalam Anda...."
Nivea buru-buru memotong ucapan gadis di hadapannya dengan matanya yang membulat. Sehingga Seri tak berani melanjutkan kalimatnya itu di depan tamu mereka.
"Maaf tuan. Jadi, Anda mau roti yang mana?"
"Hmm. Satu roti berisi selai cokelat dan tiga roti dengan buah berry."
Nivea yang sudah siap dengan nampan dan alat capitnya, sigap mengikuti ucapan lelaki itu meraih roti-roti yang disebutkannya.
"Baiklah! Aku akan membungkusnya untuk Anda."
"Aku membelinya untukku dan adikku."
"Wah, Anda sangat perhatian pada nona Martha."
"Ya. Tentu nona! Dan Anda.. sebaiknya Anda beristirahat dengan cukup nona. Agar Anda tidak jatuh sakit."
Selang beberapa menit, lelaki itu telah keluar dari toko Nivea setelah membayar harga untuk roti-rotinya.
"Nona, Anda benar-benar tampak pucat. Coba lihat wajah Anda!" seraya menyodorkan sebuah cermin ke tangan Nivea.
Dalam beberapa detik Nivea memperhatikan wajahnya dan berkata, "Kau benar Seri! Sepertinya aku hanya kelelahan."
"Tapi semalam Anda berendam terlalu lama, nona." seraya menerima cermin yang kembali disodorkan oleh Nivea kepadanya.
"Kalau begitu sebaiknya, kita pulang sekarang Seri. Biar Clara dan David yang menjaga toko ini."
Seri mengangguk, mengiyakan ucapan nonanya. Keduanya pun bergegas untuk kembali ke kediaman keluarga Del Castano.
Setibanya Nivea disana, sang Ibu menangkap kehadiran putrinya yang melangkah hendak menuju ke kamarnya sendiri. Tanpa Seri mengekor di belakangnya. Pelayan pribadi itu langsung menuju ke dapur untuk membuatkan minuman hangat untuk nonanya.
"Nivea! Tunggu!" duchess Elvira memanggilnya seraya kian mendekat.
"Ya Ibu."
Beliau pun memperhatikan setiap sudut wajah putrinya itu, "Kau sakit, Nak? Aku rasa... kau mulai berkeringat."
"Ah.. Tampaknya aku kurang istirahat, Ibu."
"Aku akan membawakanmu obat penambah darah. Kau sangat pucat, apa kau tidak merasa pusing?"
Nivea menggeleng, "Tidak Ibu. Hanya saja... lidahku terasa cukup pahit."
"Masuklah ke kamarmu! Aku akan menyusul. Ah ya, dimana Seri?"
"Dia ke dapur membuatkan teh untukku."
Selang beberapa menit, Nivea telah menghabiskan secangkir teh hangat yang dibawakan oleh Seri ke kamarnya. Dia juga sudah meminum obat penambah darah yang diberikan oleh sang Ibu. Hari masih sangat terang diluar ketika Nivea yang berkeringat dingin itu, mulai tertidur.
10. Menghindari SeseorangÂ
"Pak Tua! Apa yang Anda lakukan disana?" tanya Nivea yang melihat seorang lelaki tua dari belakang, dengan rambut penuh uban mengenakan topi pet hitam. Lelaki misterius itu tampak duduk di kursi kayu, memandang sebuah lukisan. Namun Nivea tak dapat melihat lukisan itu dengan jelas, karena terhalang sebagian oleh tubuh lelaki tua itu.
Beliau akhirnya menoleh seraya tersenyum lebar kepada Nivea.
"Astaga Kakek!"
"Cucuku yang malang."
"Kenapa kau mengatakan itu lagi Kakek? Dan... Itu.. Lukisan itu?" Nivea membelalak memandang lukisan yang sudah tampak seluruh bagiannya itu. Kini Nivea dapat melihatnya dengan sangat jelas.
"Lelaki inilah yang membuat pelayan kerajaan itu mati, membawa pergi cintanya yang tak terbalas hingga dia mati."
"Tapi kakek, tampaknya aku...."
"Tapi menurutku, lelaki ini memang tampan. Bukankah begitu, cucuku?"
"Tidak! Tidak Kakeeeekkkk!!!!" Nivea menggeleng-gelengkan kepalanya. Dirinya sungguh terkejut mendengar kalimat yang diucapkan sang Kakek. Dia berusaha menepisnya dengan menolak kebenaran itu. Hingga akhirnya mimpi itu membuatnya terbangun di saat hampir tengah malam.
Dengan nafas yang terengah-engah, Nivea bergerak menyandarkan punggungnya pada sandaran dipan.
"Jam berapa ini?" kedua matanya bergerak cepat menangkap jam berukuran besar, yang kokoh berdiri di sudut dekat jendela. "Aku sudah tidur terlalu lama." ucapnya ketika menyadari saat ini menunjukkan pukul sebelas malam. Dirinya tertidur setelah merasakan tubuhnya kurang sehat pada pukul empat sore tadi.
"Kenapa tidak ada yang membangunkanku? Aku malah terbangun karena mimpi... Apa? Mimpi itu? Kakek!" Nivea menghela nafas setelah mengingat kembali beberapa saat, tentang wajah lelaki yang berada dalam lukisan usang yang ditunjukkan kakeknya.
"Aku lelah dengan leluconmu, Kakek! Kau membuatku tampak bodoh. Katakan padaku Kakek, itu hanya lelucon atau memang sungguhan? Apa yang harus aku lakukan jika bertemu dengannya? Beri tahu aku, Kakek!"
Tanpa disadarinya, pelupuk mata itu berkaca-kaca dan air mata mulai merembes membasahi sebelah pipinya. Dengan punggung tangan, gadis itu mengusapnya. Meraih gelas berisi air putih di atas nakas. Dia pun kembali ke posisi tidur terlentang setelah meminumnya.
Dan hingga akhirnya pagi yang cerah telah datang, Nivea tetap terjaga. Dirinya sudah tidur terlalu lama sebelumnya, dan hal itu membuatnya tak dapat kembali tidur setelah mengalami mimpi yang membingungkan itu.
Nivea menjalani paginya dengan normal, seperti biasa. Dia juga melakukan sarapan bersama kedua orang tuanya.
"Kau sudah tampak lebih baik, Nak."
"Ya Ibu. Obat darimu sangat manjur. Dan membuatku tertidur dengan cepat. Bahkan, sangat pulas."
"Apa kau bangun lebih awal, Nivea?"
"Ya Ayah. Bahkan aku terbangun pukul sebelas malam. Dan.. aku tak dapat memejamkan mataku lagi hingga pagi."
"Apa?" kedua orang tuanya itu terkejut dengan bersamaan.
"Jadi, apa yang kau lakukan semalaman?"
Nivea mengangkat kedua bahunya, "Aku sempat membaca beberapa halaman buku, lalu bosan dan kembali berbaring. Memandang langit-langit kamarku dan ya... berpikir tentang banyak hal. Itu saja."
"Harusnya aku membangunkanmu saat petang." ucap duke Eduardo.
"Ayahmu menengok ke dalam kamarmu saat dia tiba di rumah. Tapi setelah melihatmu tertidur sangat pulas, dia tak tega membangunkanmu."
"Jadi begitu, Ayah?" tanyanya dengan kerlingan manja.
"Hmm. Aku rasa kemarin sore kau memang benar-benar tidak sehat. Sehingga tubuhmu pun, menuntut untuk beristirahat lebih lama."
"Tapi, kami tidak menduga kalau akhirnya kau malah terbangun hampir tengah malam dan tidak melakukan apa-apa." timpal Ibunya.
"Dan apa sekarang... kau merasa sudah benar-benar lebih baik, Nivea? Apa tidak sebaiknya kalau kau... tidak pergi dulu ke toko hari ini?"
"Tidak Ayah! Aku sudah merasa lebih baik." jawabnya dibarengi senyuman.
"Ah, begitu ya. Baiklah! Terserah kau saja."
***
Seri memandang ke sisi kiri jalan dan sesekali menoleh kepada nonanya di sebelah kanan. "Anda yakin sudah lebih baik, nona?"
"Hmm. Tenanglah Seri! Aku tak akan menyulitkanmu."
"Ah, bukan begitu nona. Saya sama sekali tidak pernah merasa Anda menyulitkan Saya. Hanya saja Saya khawatir jika Anda belum sehat dan memaksakan diri ke toko, bisa-bisa sakit Anda bertambah parah."
"Kemarin aku hanya kelelahan."
"Maaf nona, sebaiknya Anda jangan berpikir terlalu berat."
"Terima kasih untuk perhatianmu, Seri. Aku sangat menghargainya."
Beberapa jam hari ini telah terlewati. Teriknya matahari siang, tak memudarkan semangat Nivea untuk terus melayani pelanggan toko rotinya dengan sebaik mungkin. Dengan gaun bernuansa biru langit, dirinya tampak sangat cerah. Lengkungan di sudut bibir yang diciptakannya beberapa kali saat berhadapan dengan pelanggan, membuat keelokan wajahnya kian terpancar.
Hingga akhirnya saat seorang pelanggan wanita berlalu pergi meninggalkan tokonya, dari jauh Nivea menangkap kehadiran lelaki berjas abu-abu itu sedang berjalan mengarah ke tokonya. Dia yang seorang diri di balik meja pemesanan, secepatnya berlari ke belakang dan menghampiri Seri disana.
"Seri! Kalau dia mencariku, katakan padanya aku tidak datang kemari."
"Hah? Siapa nona?"
"Cepat! Kau ke depan sekarang!"
Seri yang masih tampak tak mengerti dengan ucapan nonanya, langsung melangkah cepat ke belakang meja pemesanan. Lagi-lagi gadis itu terkejut, mendapati Matias yang sudah berdiri di hadapannya. Kini dia mengerti maksud ucapan Nivea.
"Ah, selamat siang tuan. Maaf, Saya membuat Anda menunggu."
"Tidak masalah nona! Tampaknya... Anda sangat sibuk di dalam sana."
"Benar tuan! Hari ini Anda ingin roti yang mana?"
"Dua roti dengan selai cokelat di dalam."
"Baiklah tuan! Apa Anda ingin duduk disini sekaligus memesan limun?"
"Tidak nona! Tolong kau bungkus saja rotinya. Hmm.. Tapi, dimana nona Nivea? Apa dia benar-benar sakit? Kemarin dia terlihat sangat pucat."
"Nona tidak datang hari ini tuan. Beliau sedang... butuh istirahat yang cukup di rumah."
"Ah, baiklah. Saya mengerti. Bisakah.. Anda menyampaikan salam dari Saya untuknya?" seraya menerima kantung kertas berwarna cokelat dari tangan Seri.
"Tentu tuan. Saya akan menyampaikannya."
"Dan tolong katakan padanya, semoga.. dia selalu dalam keadaan sehat."
Setelah membayar kepada Seri, lelaki itu melangkah ragu-ragu meninggalkan toko itu. Dirinya merasa ada yang kurang, jika datang ke toko itu tanpa melihat keberadaan gadis yang disukainya disana.
"Saya rasa... dia kecewa nona."
"Apa yang dikatakannya padamu?"
"Dia bertanya apa Anda sakit? Lalu Saya mengatakan Anda hanya sedang beristirahat di rumah."
"Kemudian?"
"Dia ingin Saya menyampaikan salam untuk Anda dan mengatakan pada Anda semoga... Anda selalu dalam keadaan sehat."
Nivea menghela nafas.
"Ada apa nona?"
"Ah, tidak Seri. Kembalilah membantu David mengupas buah! Aku akan kembali melayani pelanggan." ucapnya datar seraya berlalu meninggalkan Seri yang mematung.
Kali ini Nivea merasa cukup tidak tenang berdiri di balik meja pemesanan itu. Dia berharap-harap cemas, bagaimana jika lelaki yang ingin dihindarinya itu malah kembali lagi di saat dirinya sedang lengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H