"Aku sedikit bersantai saat bangun tadi. Membuka toko sedikit lebih siang, tampaknya... tidak masalah, Ibu."
"Ya. Baiklah! Ayo kita mulai sarapannya."
"Kenapa kau diam saja, Ayah? Apakah kau... masih marah padaku?"
Lelaki yang duduk di kursi utama itu menyunggingkan senyuman tipis kepada putrinya, "Sudahlah Nivea! Kita lupakan dulu hal itu sejenak. Makanlah! Jika nanti toko rotimu ramai, kau tidak akan bisa makan tepat waktu."
"Hmm. Aku mengerti Ayah."
Nivea memutuskan untuk sarapan bersama orang tuanya pagi ini, sebagai bentuk permohonan maafnya atas kejadian kemarin malam di istana. Meski sebenarnya, setelah merenungi tentang kejadian itu, Nivea tetap tidak merasa bersalah. Dirinya merasa sudah melakukan hal yang paling benar, meski begitu di lain sisi dia menyadari sikapnya yang apa adanya itu telah cukup melukai harga diri orang-orang yang hadir disana. Dan baginya hal itu bukanlah suatu kesalahan.
Gadis itu hanya sebatas menyadari sikapnya yang tidak sopan, tanpa merasa menyesal sedikit pun telah bertindak seperti itu. Sekalipun yang dihadapinya adalah seorang penguasa negeri itu.
Menit demi menit berlalu, Nivea dan Seri telah tiba di toko rotinya. Mentari pagi yang hangat, sinarnya mulai menusuk menyilaukan mata. Nivea mulai membuat adonan roti yang baru, untuk menambah persediaan roti-roti yang sudah tersedia di etalasenya. Dan tentunya roti-roti tersebut memiliki kualitas yang baik sehingga masih pantas dijajakan disana.
Sementara Nivea sibuk dengan adonannya, dia meminta kepada Seri untuk berjaga di meja pemesanan. Karena beberapa menit yang lalu, setelah David selesai membersihkan area meja pelanggan, Nivea langsung membuka operasional tokonya.
"Clara, aku sangat haus. Bisa tolong kau ambilkan aku sebotol limun di depan?"
"Baik nona. Tunggu sebentar." sahut gadis yang mengenakan apron dapur itu. Dirinya sudah menjadi pekerja Nivea sejak awal toko roti itu didirikan.