"Kau selalu membelanya, Elvira!"
"Aku yang melahirkannya. Kalau bukan aku yang membelanya, kepada siapa dia harus meminta perlindungan?"
"Dan kau membela anakmu yang melakukan kecerobohan?"
Duchess Elvira menelan ludah, berpikir sekian detik untuk menjawab pertanyaan itu.
"Aku pikir... Itu bukan kecerobohan. Anak gadismu adalah seorang gadis yang sangat jujur. Bahkan dia tak tahu bagaimana caranya berbohong. Dan aku rasa, dia hanya berusaha jujur untuk mengatakan yang sebenarnya. Tentang apa yang dirasakannya. Meskipun caranya... Ya, aku tahu dia telah mempermalukan pangeran Edmund di hadapan kita semua. Tapi seandainya saja tadi, pangeran tidak membahas soal lamaran. Pasti Nivea, juga tidak akan bersikap seperti itu di hadapan semua orang. Aku juga yakin dirinya sudah berusaha menahan diri, hingga akhirnya dia terkejut saat pangeran mengucapkan kata melamar."
"Aku mengerti Elvira. Kau memang jauh lebih memahami dirinya dibandingkan dengan aku. Terkadang aku merindukan gadis kecilku... yang manis dan penurut."
Kemudian wanita itu menghampiri suaminya, merangkul dan mengusap lembut sebelah bahunya. Berharap sentuhan itu ampuh memberinya sedikit ketenangan. "Beristirahatlah suamiku! Kau bisa sakit kepala kalau terus memikirkan kejadian tadi. Aku rasa baginda raja dapat berpikir bijaksana mengenai kejadian tadi."
Malam kian larut, kini Nivea masih saja berendam dengan air hangat di dalam bathtubnya. Padahal, Seri sudah memanggilnya beberapa kali untuk keluar dari kamar mandi. Tapi percuma saja, Nivea terus menjawab "sebentar lagi" ketika mendengar panggilan Seri.
Pelayan pribadinya itu begitu setia menunggunya, hingga saatnya Nivea telah terlihat keluar dari dalam sana, dia bergegas ke dapur membuatkan nonanya secangkir teh chamomile hangat.
Tak butuh waktu lama, Seri pun telah kembali ke hadapannya.
"Saya harap, Anda tidak merusak sendok teh lagi, nona." seraya meletakkan nampan kayu yang dibawanya ke atas nakas.