"Bang, maafkan aku, ya," ujar Fiska pelan sekali. Andrea terpaksa membungkuk agar ucapan Fiska terdengar.
"Ya, De. Abang memaafkanmu," ujar Andrea menahan tangisnya.
"Jagain ayah sama bunda ya, Bang," ujar Fiska bersusah payah berbicara.
"Ade, harus kuat dan sehat. Ade pasti senbuh," ujar Andrea sambil memegang tangan adiknya. Andrea tak kuasa menahan tangisnya. Dia ingin memeluk Fiska namun dokter melarangnya.
Kemudian tiba-tiba alat detak jantung Fiska terhenti dan menunjukkan gambar garis lurus.
"Maaf, mas! Silakan keluar dulu, saya akan mengambil tindakan," ujar dokter memintaku keluar. Beberapa suster membantu dokter menyiapkan automated external defibrillator.
Aku menolak untuk keluar. Aku ingin menemani Fiska yang sedang berjuang. Suster mengizinkan aku berdiri dekat pintu sambil memandang Fiska.
"Innalillahi wa inna ilahi rojiun," ujar dokter sambil menutupkan mata Fiska.
"Ade!" teriakku sambil mendekati Fiska yang terbujur kaku. Aku memeluknya sambil menangis keras.
"Jangan tinggalkan, Abang," teriakku sambil terus memeluk Fiska.
"Sabar, ya, Mas. Ikhlaskan mbak Fiska agar dia pergi dengan tenang," ujar dokter sambil mengangkat tubuhku dari Fiska.