Siang itu suasana rumah sangat sepi. Penghuninya sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ayah sedang istirahat di kamar setelah membersihkan kebun belakang pagi tadi. Bunda sedang melanjutkan hobinya berkebun bunga. Mbok Nah mungkin masih menyelesaikan pekerjaannya. Andrea sendiri baru pulang dari studio musik
Andrea berjalan ke kamarnya. Latihan musik tadi cukup menguras tenaganya. Maklum dia memainkan drum sekaligus memberikan komando buat teman-temannya. Pak Hari yang biasa melatih band mereka sedang sakit sehingga mereka harus berlatih sendiri.
Gubrak! Suara benda jatuh terdengar dari kamar Fiska, adiknya. Andrea segera berlari ketika mendengar teriakan dari kamar Fiska. Andrea segera membuka pintu kamar adiknya. Dia melihat tubuh Fiska tergeletak di lantai kamar dengan posisi tertelungkup.
"Fiska!" teriak Andrea sambil mengangkat tubuh adiknya  ke kasur," Fiska, bangun, Dik. Ini abang!"
Andrea memeluk tubuh Fiska yang tak bergeming. Andrea menepuk-nepuk pipi Fiska agar tersadar. Namun tubuh Fiska tetap diam. Tangan dan badannya terasa dingin.
"Ayah! Bunda! Tolong Fiska!". teriakan Andrea menggema di seluruh rumah.
"Andrea! Ada apa?" suara teriakan ayah terdengar dari kamar sebelah.
"Fiska! Ada apa dengan Fiska, Abang?" teriakan bunda terdengar dari arah kebun. Bunda pasti berlari karena suara langkahnya terdengar sangat cepat.
 Kemudian ayah dan bunda muncul di pintu kamar Fiska.
"Fiska!" teriak ayah sambil mendekati Fiska yang sedang dipeluk Andrea.
"Ada yang terjadi dengan Fiska, Bang? Mengapa Fiska bisa ada di bawah?" tanya bunda sambil memeluk Fiska. Andrea melepaskan pelukannya dan membiarkan bunda menggantikannya.
"Abang tidak tahu, Bunda. Tadi Abang mendengar ada benda jatuh dan teriakan dari sini. Saat Abang tiba Fiska sudah tak sadarkan diri," Â ujar Andrea pelan. Suara tangisan bunda pecah saat melihat Fiska tidak sadar-sadar.
"Andrea, siapkan mobil! Kita bawa Fiska ke rumah sakit!" perintah ayah pada Andrea.
Andrea segera menyiapkan mobil dan ayah mengangkat tubuh Fiska yang semakin lemah.
"Non Fiska! Apa yang terjadi?" tiba-tiba Mbok Nah muncul dari arah belakang.
Bunda menyuruh mbok Nah untuk menjaga rumah dan menyiapkan baju-baju Fiska karena mereka akan membawa Fiska ke rumah sakit.
Mereka membawa Fiska ke rumah sakit terdekat. Andrea yang menyetir mobil. Ayah duduk di sampingnya dan bunda memangku Fiska. Tubuh Fiska semakin lemah. Nafasnya terdengar semakin lambat.
"Cepat Andrea! Bunda khawatir dengan keadaan adikmu," ujar bunda panik. Ada kecemasan di wajah bunda saat Andrea melihat dari spion mobil.
"Bunda tenang, ya. Nanti Andrea malah tidak fokus," ujar ayah sambil menoleh ke belakang.
Andrea membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi agar segera tiba di rumah sakit Fatimah. Andrea mengarahkan mobilnya ke instalasi gawat darurat.
Saat tiba di rumah sakit, Ayah langsung mengangkat tubuh Fiska dan segera melarikan ke ruangan IGD diikuti oleh bunda. Andrea memarkirkan mobil tak jauh dari ruang IGD.
Beberapa suster menyambut ayah dan meletakan Fiska di brankar. Mereka membawa Fiska ke ruangan tindakan.
"Maaf, ibu, bapak silakan tunggu di luar ya. Biarkan dokter memeriksa putri bapak dan ibu," ujar suster lembut. Kemudian dia menutup pintu ruangan dan meninggalkan ayah dan bunda yang merasa cemas.
Andrea datang kemudian. Dia duduk di samping ayah dan bundanya. Andrea melihat ada kegelisahan di mata bunda. Berbeda dengan kondisi ayah yang sangat tenang menghadapi cobaan ini. Mulut ayah berkomat- kamit. Pasti ayah sedang berdzikir dan berdoa. Andrea berusaha untuk tenang juga meskipun hatinya sangat cemas dengan keadaan adik semata wayangnya. Dia sangat dekat dengan adiknya itu.
Mereka menunggu agak lama, hampir satu jam. Kemudian seorang dokter keluar dari kamar tindakan. Ayah dan bunda sontak berdiri dan menghampiri dokter itu.
"Bagaimana dengan kondisi anak saya, Dok?" tanya bunda tak sabar. Ayah segera menghampiri untuk menenangkannya.
"Mari bapak dan ibu ikut ke ruangan saya. Adaa beberapa hal yang akan saya sampaikan," ujar dokter sambil melangkah ke ruangannya.
Andrea menunggu di depan ruangan IGD sedangkan ayah dan bunda mengikuti dokter Rian ke ruangannya. Andrea berdoa untuk kesembuhan adiknya. Dia takut kehilangan adik satu-satunya yang sangat disayanginya.
Dia memang sangat dekat dengan Fiska. Mereka berdua sering berbagi cerita. Fiska adalah pendengar yang baik. Dia sangat setia mendengarkan abangnya yang curhat. Begitu juga dengan Fiska yang tak sungkan menceritakan apapun masalah yang dihadapinya.
Fiska memang anak yang manja apalagi kepada Andrea. Â Gadis itu sangat pandai membuat abangnya gemas. Ada saja tingkah yang membuat Andrea harus geleng-geleng kepala.
Pernah suatu hari Andrea mencari gitar kesayangannya. Biasanya dia menyimpannya di sudut kamar. Namun hari itu gitarnya tak ada di tempatnya.
"Mbok Nah, gitarku di mana? Kok tidak ada di kamar?" tanya Andrea kepada mbok Nah yang sedang menyetrika.
"Tadi pagi mbok masih melihat ada di kamar Abang," jawab mbok Nah heran.
"Tidak ada, Mbok. Apa ada temanku yang datang?"
Mbok Nah menggelengkan kepalanya. Andrea panik karena nanti sore dia akan tampil di Cafe Kenanga. Andrea menanyakan gitar itu kepada ayah dan bunda yang sedang ada di kantornya masing-masing. Jawabannya mereka sama tidak tahu keberadaan gitar itu.
Siang itu Andrea dan mbok Nah dibuat sibuk mencari gitar. Seluruh bagian rumah sudah diperiksa. Saat Andrea ada di teras belakang, dia mendengar ada suara nyanyian wanita sedang diiringi musik gitar.
Andrea mencari arah suara nyanyian itu. Akhirnya dia melihat Fiska sedang duduk di atas genteng sambil membawa gitar yang dicarinya.
"Fiska! Kamu bikin Abang panik. Turun! Gitarnya mau Abang pakai," teriak Andrea.
Tempat itu memang tempat favorit Fiska. Bagian genteng itu sangat sejuk karena di atasnya ada ranting-ranting pohon mangga menutupi genteng dari terik matahari.
Keusilan Fiska memang kadang membuat Andrea kesal namun dia selalu bisa menahan amarah kepada adiknya. Bagi Andrea Fiska adalah adik semata wayang yang sangat dia sayangi.
Tanpa disadari, Andrea senyum-senyum sendiri mengingat tingkah jahil Fiska.
"Hai! Kamu kok senyum-senyum sendiri," tanya ayah yang sudah berdiri di hadapanku. Bunda berdiri di samping ayah sambil terus menahan tangisnya.
"Apa kata dokter, Yah?" tanya Andrea penasaran.
"Adikmu koma, Drea. Dia harus dirawat di ICU dalam waktu lama," jawab ayah tenang. Aku salut pada ayah yang selalu mampu tenang menghadapi setiap masalah.
Bunda memeluk Andrea sambil terus menangis. Andrea berusaha menenangkan bunda meskipun jauh di lubuk hatinya kesedihan menerpanya. Betapa tidak, adik yang sangat dicintainya itu terbaring lemah tak berdaya.
"Apa diagnosa dokter, Bun?" tanya Andrea hari-hati. Dia tidak mau membuat bundanya bertambah sedih.
"Dokter masih harus melakukan observasi lebih teliti lagi untuk menentukan sakitnya Fiska. Diagnosa awal penyakit lama adikmu kambuh lagi," jelas ayah sambil menahan suaranya. Andrea tahu ayah sangat sedih dengan sakitnya Fiska.
Seluruh rumah dilanda kesedihan dan kecemasan melihat kondisi Fiska yang kini terbaring lemah di ruang ICU. Tubuh Fiska yang mungil dipenuhi dengan selang infus dan kabel. Hidungnya diberi selang oksigen.
Bunda menangis terus menerus. Dia pasti sangat khawatir dengan kondisi Fiska. Sejak tadi, bunda belum makan apa-apa. Andrea khawatir pada kesehatan bunda.
"Ayah, lebih baik bunda pulang dulu. Andrea tak tega melihat tubuh bunda yang lemas. Biarkan Andrea yang menunggu Fiska," ujar Andrea pada ayah.
Ayah mengangguk dan mengajak bunda untuk pulang dan istirahat dulu. Awalnya bunda menolak namun ayah gigih membujuknya sehingga mau diajak pulang duluan.
Andrea menunggu di sofa yang terletak di depan ruang ICU. Sofa itu memang dikhususkan bagi keluarga pasien. Keluarga pasien tidak boleh masuk ke ruang ICU sehingga hanya melihat dari jendela.
Dret...dret...suara getar handphone disertai suara ringtone terdengar dari saku Andrea. Andrea segera mengambil HP-nya dan rupanya Roni yang menelepon.
"Assalamualaikum, Ron," jawab Andrea pelan. Dia tak.mau mengganggu keluarga pasien lain yang juga sedang istirahat di sofa.
"Bro, kemana saja. Kok belum datang. Jangan lupa kita ada perform di kafe Kenanga," kata Roni.
"Aku off ya. Fiska masuk ICU. Ini aku sedang menungguinya di rumah sakit."
"Fiska masuk ICU? Kenapa bro?" tanya Roni tak percaya.
"Aku belum tahu. Sorry, cari pemain lain dulu ya," ujar Andrea lemas.
"Oke. Tidak masalah. Semoga Fiska cepat sembuh ya," jawab Roni mendoakan," Kamu juga jaga kesehatan."
"Iya.Thanks ya atas doanya," ujar Andrea sambil mengakhiri obrolan dengan Roni.
Andrea mengambil majalah yang terletak di meja. Dia membaca artikel yang membahas tentang kanker otak. Penyakit yang sama yang diderita adiknya saat ini.
Andrea ingat saat adiknya mulai merasakan ada kelainan. Sejak satu yang lalu Fiska sering mual dan muntah. Dia juga sering mengeluh sakit kepala. Malah Fiska sering pingsan jika sakit kepala yang dirasakannya cukup hebat.
Bunda sering mengajak Fiska untuk berobat ke dokter namun Fiska selalu menolak. Dia bilang hanya sakit kepala biasa karena dia terlalu cape.
Setelah dua bulan berlalu, Fiska bertambah sering sakit kepala, pandangannya kabur dan mual muntahnya semakin sering dirasakan.
Siang itu Andrea sedang duduk di kursi taman depan rumah sambil membaca modul kuliah. Rumah memang sepi. Ayah dan bunda sedang pergi ke kantor. Hanya ada Andrea, Fiska dan mbok Nah.
"Mas Andrea, tolong mbok Nah!" teriak mbok Nah dari arah dapur. Andrea segera berlari kea rah dapur.
"Ada apa, Mbok?" tanya Andrea setelah tiba di dapur.
"Ini, mbak Fiska pingsan, Mas," ujar mbok Nah yang sedang memangku kepala Fiska.
"De, bangun! Mbok ambilkan kayu putih di kamar Fiska," ujar Andrea sambil mengambil alih Fiska.
Andrea mengangkat tubuh Fiska dan membaringkannya di sofa ruang keluarga.
"Ini, Mas. Mbok ambil minum dulu ya sama kompresnya," ujar mbok Nah sambil kembali ke arah dapur.
Andrea segera mengoleskan minyak kayu putih ke leher dan dahi Fiska. Dia juga memberikan olesan sedikit di hidung Fiska.
"De, ayo bangun," ujarku sambil mengelus dahi Fiska.
"Mas...aku kok ada di sini?" tanya Fiska saat siuman.
"Alhamdulillah, kamu siuman. Tadi kamu pingsan di dapur. Mbok Nah yang menemukanmu di sana," ujarku sambil membantu Fiska duduk.
"Tadi aku mau ambil minum, Mas. Tiba-tiba kepalaku sangat pusing dan berputar-putar rasanya. Aku tidak sempat duduk jadi aku jatuh dan tak sadarkan diri, ya," jelas Fiska.
"Ya sudah. Biar mbok Nah yang mengambilkan minummu," ujar Andrea," Sekarang kamu masuk ke kamar, istirahat ya."
Andrea membantu Fiska kembali ke kamarnya. Kemudian mbok Nah menemani Fiska di kamar.
Kondisi ini membuat Andrea khawatir sehingga dia menelepon ayah dan ibu. Mereka sepakat untuk membawa Fiska ke rumah sakit. Ayah dan bunda meminta izin untuk pulang lebih awal agar dapat membawa Fiska ke dokter.
Fiska menjalani beberapa tes  CT Scan dan MRI dan biopsi untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Aku melihat adikku sangat sabar mengikuti berbagai tes. Wajahnya selalu senyum tak terlihat rasa sedihnya.
Berbeda dengan kami, khususnya bunda yang sangat cemas dengan kondisi Fiska. Bunda berusaha untuk tampak tabah di hadapan Fiska meski hati bunda sangat mengkhawatirkan kondisi putri semata wayangnya.
Saat itu dokter meminta Fiska untuk dirawat inap agar observasi dilakukan dengan lebih cermat.
"Penyakit apa yang diderita Fiska, Dok?" tanya ayah saat kami menemui dokter di ruangannya. Aku dan ayah sengaja tidak mengajak bunda yang sedang menemani Fiska.
"Dari hasil diagnosa dan hasil observasi, Fiska menderita kanker otak bagian depan (Frontal lobe) stadium tiga," ujar dokter hati-hati.
Ucapan dokter yang pelan itu terdengar seperti ledakan bom yang dahsyat buat kami. Andrea melihat wajah ayah yang tegang saat mendengar penjelasan dokter.
"Apakah adik saya dapat disembuhkan, Dok?" tanyaku penasaran.
"Sel kanker di otak Fiska sudah menjalar ke seluruh bagian otak depan. Hal itu memberikan tekanan kepada bagian otak tersebut sehingga Fiska sering merasakan sakit kepala yang luar biasa, muntah dan mual yang terus menerus. Saya juga melihat Fiska sudah merasakan gangguan di penglihatannya. Semoga dia bisa disembuhkan. Saya akan berusaha untuk mengobatinya," ujar dokter menambah rasa kekahawatiran kami.
Setelah mengikuti berbagai tes akhirnya dokter memberitahukan kepada kami bahwa Fiska memang benar terkena penyakit kanker otak depan stadium tiga. Fiska harus mengikuti terapi kemo dan meminum obat dengan teratur. Penyakit ini harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Jika tidak sel kanker akan kembali tumbuh dan muncul Kembali bahkan akan lebih ganas dibandingnya sebelumnya. Jika terlambat ditangani, penyakit ini akan meyerang muka si penderita.
Saat itu ayah dan bunda bersepakat agar Fiska mengikuti kemoterapi untuk mematikan sel kanker di otaknya. Fiska tetap sabar mengikuti setiap terapi itu meskipun Andrea tahu efek terapi itu sangat menyakitkan buat Fiska. Selain ual dan muntah, tubuh Fiska lemas dan nafsu makannya semakin menurun.
Tubuh Fiska semakin kurus, dan rambutnya mulai rontok. Untung saja Fiska berhijab sehingga perubahan pada rambutnya tidak tampak orang lain.
"Bang, lihat Fiska seperti Upin Ipin ya, kepalanya botak," ujar Fiska suatu hari saat mereka sedang ada di taman bunga bunda. Fiska duduk di kursi roda sedangkan Andrea sedang sibuk membantu bunda menanam bunga mawar merah.
Andrea hanya terdiam. Hatinya ikut teriris mendengar penuturan adiknya. Bunda memandang Fiska dari kejauhan dengan menahan isak tangisnya.
"Fiska sudah tidak cantik lagi ya, Bang. Tubuh Fiska sekarang kurus dan tirus seperti nenek - nenek, " Â ujar Fiska sambil memperlihatkan tangannya yang kurus.
"Makanya kamu harus banyak makan agar cepat pulih seperti sedia kala. Abang tantang kamu lomba gowes. Nanti, Abang mau memberikan uang jajan abang selama seminggu untukmu," ujar Andrea memotivasi Fiska. Fiska tampak tertawa miris.
"Siapa bilang  Fiska tidak cantik lagi. Bagi ayah, bunda dan bang Andrea kamu adalah bidadari tercantik buat kami semua," ujar bunda yang tiba-tiba datang dari arah belakang.
Bunda memeluk Fiska dengan penuh kasih saying. Melihat hal itu Andrea pun ikut-ikutan memeluk Fiska.
"Abang, tanganmu masih kotor oleh lumpur," teriak Fiska yang mendorong Andrea saat ingin ikut berpelukan. Andrea terjatuh di tumpukan tanah kompos di belakangnya.
Serentak kami tertawa bersama. Saat itulah Andrea melihat Fiska tertawa lepas seperti saat dia sehat dulu. Ya Allah, hadirkanlah Kembali tawa ceria itu dalam kehidupan adik terkasihnya, doa Andrea hadir di hatinya.
"Abang menanam apa " tanya Fiska lagi.
"Abang membelikan tanaman mawar merah buat bunda. Mawar merah punya makna perasaan atau emosi yang mendalam berupa rasa cinta, kerinduan, penyesalan, ataupun harapan. Oleh karena itu abang senang membelikan bunda tanaman mawar merah ini. Taman ini akan dipenuhi dengan bunga mawar merah yang akan memberikan harapan untuk kita semua," ujar Andrea sambil berpura-pura memasukan bibit bunga mawar merah ini ke dalam pot. Padahal Andrea berusaha menghindari matanya yang akan mengalirkan bulir-bulir bening di kelopaknya. Andrea tidak mau kesedihannya akan terlihat oleh Fiska.
"Aku mau dong, Bang," pinta Fiska.
"Ya nanti saat tanaman ini mulai berbunga, akan diberikan bunga pertamanya untukmu," jawab bunda sambil memeluk Fiska.
Sejak percakapan itu kondisi Fiska semakin melemah. Fiska harus tetap tidur di atas kasur karena tubuhnya sudah tidak kuat lagi untuk diajak berdiri atau pun duduk. Bunda dan mbok Nah sangat telaten mendampingi Fiska di rumah.
Bunda sengaja resign dari pekerjaannya agar bisa merawat Fiska dengan sepenuh waktu. Bagi bunda, Fiska adalah segalanya sehingga bunda rela kehilangan pekerjaannya hanya untuk merawat Fiska. Sebuah perjuangan dari seorang ibu demi anak-anaknya.
Andrea sendiri menyibukan diri dengan merawat tanaman bunga mawarnya. Dia ingin agar bunga itu dapat segera berbunga. Setelah pulang kuliah, Andrea pasti akan cepat pulang. Dia juga menghentikan latihan bandnya demi menemani adiknya di rumah.
"Dokter Andrian ditunggu di ruang ICU, segera!" suara dari mikrofon rumah sakit terdengar keras dan cukup membuat Andrea tersadar dari lamunan masa lalunya.
Andrea melihat dokter dan beberapa perawat berlari ke arah ruang ICU. Andrea langsung tersentak. Jangan-jangan Fiska..
Andrea segera melihat dari jendela ruang ICU. Biasanya dia melihat kondisi Fiska dari balik jendela itu. Dia melihat beberapa dokter dan beberapa perawat sedang memberikan tindakan kepada Fiska.
"Ya...Allah. Fiska. Apa yang terjadi dengan Fiska?" Andrea berusaha untuk mengetahui apa yang terjadi dengan adiknya.
Dia berusaha masuk ke ruang ICU namun pintunya terkunci. Dia kemudian kembali ke jendela yang sudah tertutup gorden hijau. Andrea tidak bisa melihat apa-apa di dalam. Andrea hanya mampu terduduk di bawah jendela sambil berdoa untuk adiknya.
"Assalamualaikum. Ayah," ujar Andrea pelan saat dia menelepon ayah yang masih ada di rumah. Andrea memutuskan untuk  telepon ayah agar bunda tidak terlalu panik saat mendengar kabar Fiska.
"Ayah, Fiska ...ayah bisa ke rumah sakit?" ujar Andrea pelan.
"Andrea, ada apa dengan Fiska? Apa yang terjadi dengan Fiska?" tanya ayah berusaha tenang.
"Abang tidak tahu, Yah. Tadi bebeapa dokter dan suster mendatangi Fiska dan sedang melakukan tindakan," jelas Andrea," Abang dilarang masuk."
"Ayah dan bunda akan segera ke rumah sakit," ujar ayah kemudian menutup handphonenya.
Andrea memandangi Fiska Kembali dari balik jendela ruang ICU. Dia melihat  dokter sedang menyuntikkan sesuatu ke tangan Fiska. Kemudian dokter menundukan kepalanya kea rah wajah Fiska.
Tak lama kemudian seorang suster datang menemui Andrea.
"Mas Andrea, kan? "tanya suster itu. Andrea menganggukan kepalanya.
"Mari ikut saya, Mas. Mbak Fiska ingin bertemu dengan Anda," ujar suster sambil mempersilakan Andrea masuk ruangan.
Andrea segera masuk ke ruangan ICU setelah sebelumnya menggunakan baju khusus untuk pengunjung. Dia berdiri di samping kanan Fiska yang sudah tampak lemas tak berdaya.
Dokter membuka alat pernafasan Fiska dengan hati-hati.
"Bang, maafkan aku, ya," ujar Fiska pelan sekali. Andrea terpaksa membungkuk agar ucapan Fiska terdengar.
"Ya, De. Abang memaafkanmu," ujar Andrea menahan tangisnya.
"Jagain ayah sama bunda ya, Bang," ujar Fiska bersusah payah berbicara.
"Ade, harus kuat dan sehat. Ade pasti senbuh," ujar Andrea sambil memegang tangan adiknya. Andrea tak kuasa menahan tangisnya. Dia ingin memeluk Fiska namun dokter melarangnya.
Kemudian tiba-tiba alat detak jantung Fiska terhenti dan menunjukkan gambar garis lurus.
"Maaf, mas! Silakan keluar dulu, saya akan mengambil tindakan," ujar dokter memintaku keluar. Beberapa suster membantu dokter menyiapkan automated external defibrillator.
Aku menolak untuk keluar. Aku ingin menemani Fiska yang sedang berjuang. Suster mengizinkan aku berdiri dekat pintu sambil memandang Fiska.
"Innalillahi wa inna ilahi rojiun," ujar dokter sambil menutupkan mata Fiska.
"Ade!" teriakku sambil mendekati Fiska yang terbujur kaku. Aku memeluknya sambil menangis keras.
"Jangan tinggalkan, Abang," teriakku sambil terus memeluk Fiska.
"Sabar, ya, Mas. Ikhlaskan mbak Fiska agar dia pergi dengan tenang," ujar dokter sambil mengangkat tubuhku dari Fiska.
Beberapa suster membereskan alat-alat kedokteran dan mencabuti selang-selang yang menempel di tubuh Fiska. Dokter Andrian mengajaknya keluar kamar ICU sambil terus menenangkan Andrea.
Tak lama kemudian ayah dan bunda tiba di depan ruang ICU. Andrea segera memeluk mereka. Melihat Andrea menangis bunda segera lari ke dalam ruang ICU.
Bunda memeluk jasad Fiska yang sudah terbujur kaku sambil menangis. Ayah dan Andrea mengikuti bunda yang menangis histeris.
"Fiska, Mengapa kamu meninggalkan bunda. Bangun Fiska," ujar bunda sambil menangis histeris.
"Bunda, ikhlaskan Fiska ya. Biarkan dia pergi dengan tenang. Ayah yakin ini pilihan yang diberikan Allah buat Fiska agar dia bahagia di sana," ujar ayah sambil mengangkat bunda dari tubuh Fiska.
 Seperti biasa ayah tampil dengan ketabahan dan kesabarannya yang luar biasa. Andrea yakin jauh di lubuk hatinya, ayah pun menangisi kepergian Fiska.
Kemudian beberapa suster membawa jasad Fiska ke ruangan jenazah untuk dilakukan pemulasaran. Andrea dan ayah mendampingi bunda yang terus menerus menangis.
Kepergian Andrea diiringi mentari yang tiba-tiba meredup. Alam seolah ikut berduka atas kepergian Andrea.
Siang itu juga jenazah Fiska dibawa pulang ke rumah. Saat mobil jenazah tiba, beberapa tetangga datang membantu untuk mengurus prosesi pemakaman Fiska.
Tubuh Fiska diletakkan di ruang keluarga yang luas. Beberapa ibu sedang mengaji untuk mendoakan kepergian Fiska. Rumah dan halaman dipenuhi oleh orang yang sedang takziah.
Mbok Nah tampak mondar-mandir untuk menyiapkan peralatan dibantu oleh beberapa ibu. Ayah pun sedang meminta bantuan pak RT untuk menyiapkan segala macam kebutuhan pemakaman. Alhamdulillah semua tetanggaku membantu kami.
Bunda terbaring di kamar karena dia tidak kuat menahan kesedihan. Bunda menangis terus menerus sehingga tubuhnya lemas. Bunda ditemani oleh bu RT.
Andrea menuju taman bunga. Bunga-bunga mawar yang tempo hari ditanamnya mulai berbunga. Kemudian dia mengambil beberapa pohon bunga mawar. Dia akan menanamnya di pusara Fiska nanti.
Bunga mawar merah yang pernah diminta oleh Fiska tak lagi dapat dilihatnya. Pergilah adikku...jadilah bidadari surge-Nya. Keharuman mawar ini akan menemani kepergianmu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H